Istri saya sakit. Asmanya kambuh. Wajahnya terlihat layu, sebentar tidur sebentar bangun. Sebenarnya, Prit sudah tidak enak badan sejak dua hari yang lalu. Badannya panas, dia mimpi aneh-aneh. Demam. Saya memberinya pengobatan tradisional, kerokan dan kompres. Setelah demamnya reda, sekarang gantian asmanya yang kambuh. Saya tanya ke Prit, "Pingin apa?" Dia menggeleng lemah.
Praktis, kami lebih banyak menghabiskan waktu di atas kasur, tidur sebantal dan saling bicara.
Prit tiga bersaudara. Dia anak pertama. Dilahirkan di Tuban, 21 Juni 1986. Orang tuanya memberinya nama Zuhana Anibuddin Zuhro, panggilannya Hana. Ketika Hana duduk di bangku SD kelas 5 (di SDN Rengel 1 Tuban), Naimmatus Sa'adah, nama Ibunya Hana, melahirkan anak kedua, laki-laki. Dia diberi nama Kun Baehaqi Almas, dengan nama panggilan Haqi. As'ad An-Nawawi, lelaki yang oleh Hana biasa dipanggil Bob, tampak bahagia. Kini dia telah memiliki dua orang anak, Hana dan Haqi. Dua tahun kemudian, lahirlah Ashfiyatul Baroroh, si bungsu dengan panggilan kesayangan Fiya. Lengkap sudah kebahagiaan pasangan As'ad An-Nawawi dan Naimmatus Sa'adah.
Sekarang Kun Baehaqi Almas tercatat sebagai Mahasiswa di Fakultas Sendratasik (Seni Drama Tari Musik) Universitas Negeri Surabaya. Dia mendalami Pantomim. Si bungsu Ashfiyatul Baroroh, tercatat sebagai Mahasiswi Bimbingan Konseling Islami di UIN Sunan Ampel Surabaya.
"Bob lima bersaudara, dia nomor empat. Saudara bungsunya, Amir El Rahman, adalah saudara kembar Bob. Saudara Bob yang nomor dua, perempuan, meninggal dunia ketika masih kecil. Jadi, Bob punya dua kakak. Yang pertama laki-laki, bernama Atieq An-Nawawi, meninggal dunia tiga tahun yang lalu oleh serangan jantung. Berikutnya, perempuan. Namanya Robi'atus Sa'adah. Orang tua Bob bernama Malik An-Nawawi dan Muriati."
Senang sekali melihat Prit yang lancar bercerita, meskipun kondisi badannya masih lemah. Dia juga bertutur tentang saudara-saudara Ibunya, Naimmatus Sa'adah.
"Ibu sembilan bersaudara, dia nomor lima. Tepat di bawah Ibu (saudara nomor enam) meninggal dunia sejak kecil. Namanya Ummi Kulsum. Nomor satu namanya Abu Dardak, lalu Navi'ah, kemudian Andi Syuhada' dan Siti Aisyah, baru kemudian Ibu dan Almarhummah Ummi Kulsum. Saudara Ibu nomor tujuh namanya Ali Mascoer Musa, kemudian Achmad, dan yang bungsu bernama Abdul Andhim. Mereka dilahirkan dari pasangan Amin dan Widji.
Di bulan Januari 2005, Zuhana Anibuddin Zuhro tercatat sebagai salah satu peserta DIKLATSAR XXIII SWAPENKA, sebuah Organisasi Pencinta Kelestarian Alam di Fakultas Sastra Universitas Jember yang berdiri sejak 15 Maret 1982. Dari sini, dia mendapat nama rimba yaitu Prit. Bunyi peluit, itu artinya. Nama 'Prit' tetap lestari sampai hari ini, karena saya juga memanggilnya begitu. Prit. Singkat, padat, dan mesra.
"Kata Bob, 'Mbah Nang dan Mbah Dok,' orang tuanya Bob (Malik An-Nawawi dan Muriati), juga punya asma. Parah. Ibu juga. Itulah kenapa saya dan Haqi punya asma. Hanya Fiya yang tidak memiliki asma. Jadi, ini hanya masalah genetis. Dunia akan tetap indah meskipun kita bersahabat dengan asma."
Saya senang melihat cara Prit dalam memandang hidup. Tapi ada sedihnya juga. Orang asma tidak baik jika ada dalam kondisi kaget, dingin, terpressing, dan dibentak. Kadang, meskipun hanya di dalam hati, saya ingin menjadi laki-laki antagonis seperti dalam film. Membentak-bentak, berbuat semaunya, dan segala hal yang menyebalkan lainnya. Tapi saya tidak bisa.
"Mas sudah pernah kok kayak gitu. Waktu itu Kota Jember lagi rame. Kawan-kawan UKM Kesenian Universitas Jember sedang menggelar acara Festival Musik Patrol, 2005. Tiba-tiba Mas datang, marah-marah, bentak-bentak nggak jelas. Banyak pasang mata yang lihat kita. Malu, takut, bingung, campur jadi satu. Asma kumat. Akhirnya Mas juga yang bingung."
Oh, iya ding. Peran seperti itu sudah saya lakoni. Ngapain diulang lagi? Mohon maaf Prit, waktu itu khilaf dan sama sekali tidak direncanakan. Tapi keren juga ya, ternyata kita pernah bertengkar hebat dan lama tidak saling bicara, padahal itu baru kenal. Belum lagi setahun.
"Saya sempat menjadi 'anak semata wayang' hingga kelas lima SD. Nangis sedikit diperhatikan, apalagi ketika asma datang. Oleh Bob, biasanya saya diberi obat oksigen semprot dan diajak jalan-jalan keluar, menghirup udara segar. Kalau asma bercampur dengan isak tangis, Bob sibuk berdongeng. Apa saja dia dongengkan hanya agar saya tenang. Kadang, saya sampai tertidur di pelukan Bob."
Dari Prit saya tahu, Bob sering bercerita tentang macan. Begini dongengnya. Ada macan masuk ke desa, dengan kondisi kelaparan. Dia selalu mecari-cari bocah yang belum tidur di larut malam. Hingga akhirnya, macan itu menemukan bocah yang tidak pernah tidur, lalu dibawa masuk ke hutan dan tak pernah kembali. Ketika Bob mendongengkan cerita macan, Prit selalu bertanya, "Kenapa macan itu selalu membawa anak kecil yang tidak bisa tidur? Kenapa tidak yang lain saja? Orang dewasa misalnya?" Bob selalu tertawa ketika Prit menanyakan itu, dan tidak pernah menjawabnya. Dongeng lain yang sering Bob tuturkan adalah tentang Jack dan kacang ajaib. Gara-gara dongeng Jack dan kacang ajaib, suatu hari Prit pernah benar-benar melemparkan kacang di bawah jendela. Lalu dia menungguinya, berharap kacang itu tumbuh menjadi pohon yang tinggi seperti dalam dongeng. Hari demi hari Prit habiskan dengan menengok biji kacang di bawah jendela, tapi kacang itu tak pernah tumbuh menjulang ke langit. Kelak, Prit mengerti bahwa itu hanya dongeng pengantar tidur.
Ada sebuah dongeng dari Bob yang tak sekedar dongeng.
"Saya punya buyut, namanya buyut Nawawi. Beliau adalah kakeknya Bob dari Malik An-Nawawi. Suatu hari Bob berkisah, buyut Nawawi pernah tenggelam di laut. Ketika buyut sudah ada di kondisi yang amat lelah, tiba-tiba ada seekor ikan yang menghampirinya. Ikan itu mengambil posisi di bawah, menopang tubuh buyut Nawawi. Singkat cerita, ikan tersebut membawa buyut Nawawi hingga ke daratan dan selamat. Menurut penuturan buyut yang disampaikan turun menurun, ikan tersebut adalah ikan cucut. Sejak saat itu, buyut Nawawi bersumpah untuk tidak mengkonsumsi daging ikan cucut. Hal ini diikuti juga oleh anak turunnya, termasuk saya. Padahal tidak ada seorang pun yang memaksa saya untuk tidak makan daging ikan cucut."
Ikan cucut adalah jenis predator di lautan. Ada yang menyebutnya hiu putih atau Carcharhinus amblyrhynchos. Hanya orang hebat yang bisa bersentuhan dengan ikan cucut, apalagi ditolong, pikir saya. Tapi pikiran itu tak pernah saya katakan langsung ke Prit. Kisah itu mengingatkan saya pada buyut Serimpi, buyutnya Durahem. Dia tidak merestui anak cucunya menjadi tentara. Sampai sekarang belum ada anak cucu buyut Serimpi yang menjadi tentara, padahal semua itu hanya disampaikan pada anak cucu dengan bahasa dongeng, bukan dogma.
"Selepas SD tahun 1998, saya melanjutkan di SMP 1 Rengel. Ketika kelas tiga, saya ikut darmawisata ke Jogja, tahun 2001. Rombongan naik bus Tuban - Jogja. Sepanjang jalan saya mabuk kendaraan. Susi, teman terdekat saya, sibuk merawat saya sepanjang perjalanan. Sesampainya di Jogja, saya lebih banyak tidur. Lemas. Sampai saya tidak tahu Jogja bagian mana yang pernah saya singgahi waktu darmawisata dulu. Asma juga membuat saya sulit menikmati perjalanan. Yang saya ingat hanya satu, saya pernah ke Borobudur. Itu saja."
Prit melanjutkan kisahnya di masa SMA. Dia sekolah di SMAN 1 Rengel, lulus tahun 2004. Waktu kelas tiga, ada tamasya bersama ke Bali. Prit mengulang kisah yang sama, seperti darmawisata jaman dia SMP. Sepanjang perjalanan mabuk berat, asmanya kumat. Sahabat-sahabatnya bingung, gurunya apalagi, pusing tujuh keliling. Mending waktu SMP, dia masih ingat Borobudur. Yang tamasya masa SMA, memorinya tak bisa mengingat apa-apa.
Lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan di Universitas Jember, di tahun yang sama. Kedatangannya ke Jember untuk pertama kali, Prit diantar oleh Bob. Dia mengira jarak Tuban - Jember hanya sekejap mata, tak tahunya lumayan lama. Lebih terasa lama lagi, sebab ketika itu Bob dan Prit naik bus. Prit mabuk berat. Bob malu pada penumpang di sekitarnya.
"Waktu perjalanan Tuban - Jember untuk pertama kalinya, ada penjual koran yang menawarkan dagangannya. Penjual itu memberi koran satu-satu pada seluruh penumpang. Meskipun editor sebuah koran, waktu itu Bob tidak berniat membeli koran. Tapi saya muntah di atas koran itu. Alhasil, Bob membeli koran yang tak perbah dibacanya. Dia nampak malu. Saya tidak peduli. Yang saya rindukan hanya satu, ingin lekas-lekas turun dari bus."
Saya heran, perempuan seperti dia berani mendaftarkan diri di DIKLATSAR pencinta alam. Sebagai salah satu instrukturnya, saya tahu seorang Zuhana Anibuddin Zuhro mengidap penyakit asma. Dia menuliskannya di lembar pendaftaran. Lebih heran lagi, ketika itu Prit masih ketergantungan pada bedak bayi. Dia senang sekali menjilat bedak, kadang sampai bedaknya habis. DIKLATSAR pencinta alam yang dia ikuti, menganut sistem Flying Camp, berpindah dari satu titik ke titik yang lain, setiap hari. Kadang jalan kaki dari pagi hari hingga menjelang senja, dan semua itu dilakukan di dalam hutan, di Taman Nasional Meru Betiri. Di sana tidak ada penjual bedak. Semua barang peserta disita, apalagi ketika masuk materi survival selama dua hari. Untuk beberapa hal, sistem DIKLATSAR bercorak sistem komando, tapi tidak melulu instruktur selalu menang. Peserta boleh mendebat instruktur jika instruksinya dirasa tidak logis. Setidaknya itu sistem yang dijalankan SWAPENKA. Terlihat 'ngawur' tapi logis.
Tidak ada kontak fisik? Tentu saja tidak ada. Kami pencinta alam, bukan tentara. Tugas instruktur adalah meletakkan dasar-dasar berpikir kritis dan terstruktur pada setiap peserta tentang betapa pentingnya mencintai kelestarian alam. SWAPENKA juga tidak mengajarkan makan cacing jika kita tidak bisa mengolahnya dengan benar. Tidak boleh menghina peserta dengan kata-kata yang merendahkan, misal; bodoh, monyet, dan kata-kata umpatan. Jika itu dilakukan, instruktur akan berhadapan dengan Komisi Disiplin. Push Up empat set. Begitu pula sebaliknya dengan peserta. Jika mereka tak bisa mempraktekkan materi yang telah didapat di DIKLAT Ruang (biasanya DIKLAT Ruang berlangsung satu minggu), dia juga akan dikenai sanksi berupa teguran ringan atau teguran keras. Push Up masuk kategori teguran keras.
Kenapa DIKLATSAR pencinta alam identik dengan sanksi? Sebab nantinya kami banyak bersinggungan dengan alam terbuka. Harus banyak praktek, mulai dari membuat bivak alam sebagai tempat berteduh di malam hari, hingga menanam pohon yang sesuai dengan habitatnya. Keliru sedikit saja, akibatnya fatal. Bisa semakin merusak keanekaragaman hayati, bisa pula mengancam nyawa sendiri. Jika PA hanya terbatas pada teori saja, barangkali proses DIKLATSAR tak harus sebegitunya. Tak perlu ada pressing fisik dan mental.
Di Januari 2005, seorang Zuhana Anibuddin Zuhro mengikuti proses masuk SWAPENKA, hari demi hari, bersama delapan rekannya yang lain. Semuanya lulus. Di hari terakhir, ketika scraft warna jingga tlah melingkar di leher, Zuhana Anibuddin Zuhro dianugerahi sebuah nama rimba. Prit namanya. Bunyi peluit, penanda kemenangan. Ya, dia menang dari dirinya sendiri, bisa menghentikan kebiasan makan bedak, dan bisa menjinakkan asmanya sendiri.
"Sejak mengikuti DIKLATSAR SWAPENKA angkatan ke-23, asma mulai jarang mengunjungi saya. Entah kenapa. Sampai sekarang, ketika masuk hutan, rasanya segar. Di tempat yang sesegar itu, saya tidak takut dengan ancaman asma. Dalam pelukan hutan, saya merasa terlindungi."
Hening. Di luar sana, hujan mengguyur kota Jember sedari sore. Tak terdengar suara terompet, padahal sekarang 31 Desember 2013. Malam tahun baru, saya dan Prit masih asyik di atas kasur, saling bicara. Prit sudah terlihat semakin membaik, tak sepucat sebelumnya.
"Sana Mas, baca-baca aja gih," ujar Prit.
Saya manut. Lalu saya membuka naskah hasil karya Mbak Irma Devita, 198 halaman. Sudah saya baca, tapi saya butuh membacanya kembali. Kemarin saya terkesan membacanya dengan agak tergesa-gesa. Maklum, dibarengi dengan penjurian lomba blog, menulis, dan beberapa hal lain yang harus saya kerjakan. Tiba-tiba saya teringat Kursus Jurnalisme Sastrawi XXII. Materinya banyak, dan saya belum sinau.
Niat untuk menghabiskan waktu di depan monitor saya gagalkan sendiri. Biarlah. Hari ini saya hanya ingin menemani Prit, tidur sebantal dan saling bicara.
Di luar sana, rintik hujan masih berdendang, mengiringi suara kodok yang bernyanyi mesra. Selamat menikmati penghujung 2013.
Salam dari kami, pasangan bulan sebelas..
Praktis, kami lebih banyak menghabiskan waktu di atas kasur, tidur sebantal dan saling bicara.
Prit tiga bersaudara. Dia anak pertama. Dilahirkan di Tuban, 21 Juni 1986. Orang tuanya memberinya nama Zuhana Anibuddin Zuhro, panggilannya Hana. Ketika Hana duduk di bangku SD kelas 5 (di SDN Rengel 1 Tuban), Naimmatus Sa'adah, nama Ibunya Hana, melahirkan anak kedua, laki-laki. Dia diberi nama Kun Baehaqi Almas, dengan nama panggilan Haqi. As'ad An-Nawawi, lelaki yang oleh Hana biasa dipanggil Bob, tampak bahagia. Kini dia telah memiliki dua orang anak, Hana dan Haqi. Dua tahun kemudian, lahirlah Ashfiyatul Baroroh, si bungsu dengan panggilan kesayangan Fiya. Lengkap sudah kebahagiaan pasangan As'ad An-Nawawi dan Naimmatus Sa'adah.
Sekarang Kun Baehaqi Almas tercatat sebagai Mahasiswa di Fakultas Sendratasik (Seni Drama Tari Musik) Universitas Negeri Surabaya. Dia mendalami Pantomim. Si bungsu Ashfiyatul Baroroh, tercatat sebagai Mahasiswi Bimbingan Konseling Islami di UIN Sunan Ampel Surabaya.
"Bob lima bersaudara, dia nomor empat. Saudara bungsunya, Amir El Rahman, adalah saudara kembar Bob. Saudara Bob yang nomor dua, perempuan, meninggal dunia ketika masih kecil. Jadi, Bob punya dua kakak. Yang pertama laki-laki, bernama Atieq An-Nawawi, meninggal dunia tiga tahun yang lalu oleh serangan jantung. Berikutnya, perempuan. Namanya Robi'atus Sa'adah. Orang tua Bob bernama Malik An-Nawawi dan Muriati."
Senang sekali melihat Prit yang lancar bercerita, meskipun kondisi badannya masih lemah. Dia juga bertutur tentang saudara-saudara Ibunya, Naimmatus Sa'adah.
"Ibu sembilan bersaudara, dia nomor lima. Tepat di bawah Ibu (saudara nomor enam) meninggal dunia sejak kecil. Namanya Ummi Kulsum. Nomor satu namanya Abu Dardak, lalu Navi'ah, kemudian Andi Syuhada' dan Siti Aisyah, baru kemudian Ibu dan Almarhummah Ummi Kulsum. Saudara Ibu nomor tujuh namanya Ali Mascoer Musa, kemudian Achmad, dan yang bungsu bernama Abdul Andhim. Mereka dilahirkan dari pasangan Amin dan Widji.
Di bulan Januari 2005, Zuhana Anibuddin Zuhro tercatat sebagai salah satu peserta DIKLATSAR XXIII SWAPENKA, sebuah Organisasi Pencinta Kelestarian Alam di Fakultas Sastra Universitas Jember yang berdiri sejak 15 Maret 1982. Dari sini, dia mendapat nama rimba yaitu Prit. Bunyi peluit, itu artinya. Nama 'Prit' tetap lestari sampai hari ini, karena saya juga memanggilnya begitu. Prit. Singkat, padat, dan mesra.
"Kata Bob, 'Mbah Nang dan Mbah Dok,' orang tuanya Bob (Malik An-Nawawi dan Muriati), juga punya asma. Parah. Ibu juga. Itulah kenapa saya dan Haqi punya asma. Hanya Fiya yang tidak memiliki asma. Jadi, ini hanya masalah genetis. Dunia akan tetap indah meskipun kita bersahabat dengan asma."
Saya senang melihat cara Prit dalam memandang hidup. Tapi ada sedihnya juga. Orang asma tidak baik jika ada dalam kondisi kaget, dingin, terpressing, dan dibentak. Kadang, meskipun hanya di dalam hati, saya ingin menjadi laki-laki antagonis seperti dalam film. Membentak-bentak, berbuat semaunya, dan segala hal yang menyebalkan lainnya. Tapi saya tidak bisa.
"Mas sudah pernah kok kayak gitu. Waktu itu Kota Jember lagi rame. Kawan-kawan UKM Kesenian Universitas Jember sedang menggelar acara Festival Musik Patrol, 2005. Tiba-tiba Mas datang, marah-marah, bentak-bentak nggak jelas. Banyak pasang mata yang lihat kita. Malu, takut, bingung, campur jadi satu. Asma kumat. Akhirnya Mas juga yang bingung."
Oh, iya ding. Peran seperti itu sudah saya lakoni. Ngapain diulang lagi? Mohon maaf Prit, waktu itu khilaf dan sama sekali tidak direncanakan. Tapi keren juga ya, ternyata kita pernah bertengkar hebat dan lama tidak saling bicara, padahal itu baru kenal. Belum lagi setahun.
"Saya sempat menjadi 'anak semata wayang' hingga kelas lima SD. Nangis sedikit diperhatikan, apalagi ketika asma datang. Oleh Bob, biasanya saya diberi obat oksigen semprot dan diajak jalan-jalan keluar, menghirup udara segar. Kalau asma bercampur dengan isak tangis, Bob sibuk berdongeng. Apa saja dia dongengkan hanya agar saya tenang. Kadang, saya sampai tertidur di pelukan Bob."
Dari Prit saya tahu, Bob sering bercerita tentang macan. Begini dongengnya. Ada macan masuk ke desa, dengan kondisi kelaparan. Dia selalu mecari-cari bocah yang belum tidur di larut malam. Hingga akhirnya, macan itu menemukan bocah yang tidak pernah tidur, lalu dibawa masuk ke hutan dan tak pernah kembali. Ketika Bob mendongengkan cerita macan, Prit selalu bertanya, "Kenapa macan itu selalu membawa anak kecil yang tidak bisa tidur? Kenapa tidak yang lain saja? Orang dewasa misalnya?" Bob selalu tertawa ketika Prit menanyakan itu, dan tidak pernah menjawabnya. Dongeng lain yang sering Bob tuturkan adalah tentang Jack dan kacang ajaib. Gara-gara dongeng Jack dan kacang ajaib, suatu hari Prit pernah benar-benar melemparkan kacang di bawah jendela. Lalu dia menungguinya, berharap kacang itu tumbuh menjadi pohon yang tinggi seperti dalam dongeng. Hari demi hari Prit habiskan dengan menengok biji kacang di bawah jendela, tapi kacang itu tak pernah tumbuh menjulang ke langit. Kelak, Prit mengerti bahwa itu hanya dongeng pengantar tidur.
Ada sebuah dongeng dari Bob yang tak sekedar dongeng.
"Saya punya buyut, namanya buyut Nawawi. Beliau adalah kakeknya Bob dari Malik An-Nawawi. Suatu hari Bob berkisah, buyut Nawawi pernah tenggelam di laut. Ketika buyut sudah ada di kondisi yang amat lelah, tiba-tiba ada seekor ikan yang menghampirinya. Ikan itu mengambil posisi di bawah, menopang tubuh buyut Nawawi. Singkat cerita, ikan tersebut membawa buyut Nawawi hingga ke daratan dan selamat. Menurut penuturan buyut yang disampaikan turun menurun, ikan tersebut adalah ikan cucut. Sejak saat itu, buyut Nawawi bersumpah untuk tidak mengkonsumsi daging ikan cucut. Hal ini diikuti juga oleh anak turunnya, termasuk saya. Padahal tidak ada seorang pun yang memaksa saya untuk tidak makan daging ikan cucut."
Ikan cucut adalah jenis predator di lautan. Ada yang menyebutnya hiu putih atau Carcharhinus amblyrhynchos. Hanya orang hebat yang bisa bersentuhan dengan ikan cucut, apalagi ditolong, pikir saya. Tapi pikiran itu tak pernah saya katakan langsung ke Prit. Kisah itu mengingatkan saya pada buyut Serimpi, buyutnya Durahem. Dia tidak merestui anak cucunya menjadi tentara. Sampai sekarang belum ada anak cucu buyut Serimpi yang menjadi tentara, padahal semua itu hanya disampaikan pada anak cucu dengan bahasa dongeng, bukan dogma.
"Selepas SD tahun 1998, saya melanjutkan di SMP 1 Rengel. Ketika kelas tiga, saya ikut darmawisata ke Jogja, tahun 2001. Rombongan naik bus Tuban - Jogja. Sepanjang jalan saya mabuk kendaraan. Susi, teman terdekat saya, sibuk merawat saya sepanjang perjalanan. Sesampainya di Jogja, saya lebih banyak tidur. Lemas. Sampai saya tidak tahu Jogja bagian mana yang pernah saya singgahi waktu darmawisata dulu. Asma juga membuat saya sulit menikmati perjalanan. Yang saya ingat hanya satu, saya pernah ke Borobudur. Itu saja."
Prit melanjutkan kisahnya di masa SMA. Dia sekolah di SMAN 1 Rengel, lulus tahun 2004. Waktu kelas tiga, ada tamasya bersama ke Bali. Prit mengulang kisah yang sama, seperti darmawisata jaman dia SMP. Sepanjang perjalanan mabuk berat, asmanya kumat. Sahabat-sahabatnya bingung, gurunya apalagi, pusing tujuh keliling. Mending waktu SMP, dia masih ingat Borobudur. Yang tamasya masa SMA, memorinya tak bisa mengingat apa-apa.
Lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan di Universitas Jember, di tahun yang sama. Kedatangannya ke Jember untuk pertama kali, Prit diantar oleh Bob. Dia mengira jarak Tuban - Jember hanya sekejap mata, tak tahunya lumayan lama. Lebih terasa lama lagi, sebab ketika itu Bob dan Prit naik bus. Prit mabuk berat. Bob malu pada penumpang di sekitarnya.
"Waktu perjalanan Tuban - Jember untuk pertama kalinya, ada penjual koran yang menawarkan dagangannya. Penjual itu memberi koran satu-satu pada seluruh penumpang. Meskipun editor sebuah koran, waktu itu Bob tidak berniat membeli koran. Tapi saya muntah di atas koran itu. Alhasil, Bob membeli koran yang tak perbah dibacanya. Dia nampak malu. Saya tidak peduli. Yang saya rindukan hanya satu, ingin lekas-lekas turun dari bus."
Saya heran, perempuan seperti dia berani mendaftarkan diri di DIKLATSAR pencinta alam. Sebagai salah satu instrukturnya, saya tahu seorang Zuhana Anibuddin Zuhro mengidap penyakit asma. Dia menuliskannya di lembar pendaftaran. Lebih heran lagi, ketika itu Prit masih ketergantungan pada bedak bayi. Dia senang sekali menjilat bedak, kadang sampai bedaknya habis. DIKLATSAR pencinta alam yang dia ikuti, menganut sistem Flying Camp, berpindah dari satu titik ke titik yang lain, setiap hari. Kadang jalan kaki dari pagi hari hingga menjelang senja, dan semua itu dilakukan di dalam hutan, di Taman Nasional Meru Betiri. Di sana tidak ada penjual bedak. Semua barang peserta disita, apalagi ketika masuk materi survival selama dua hari. Untuk beberapa hal, sistem DIKLATSAR bercorak sistem komando, tapi tidak melulu instruktur selalu menang. Peserta boleh mendebat instruktur jika instruksinya dirasa tidak logis. Setidaknya itu sistem yang dijalankan SWAPENKA. Terlihat 'ngawur' tapi logis.
Tidak ada kontak fisik? Tentu saja tidak ada. Kami pencinta alam, bukan tentara. Tugas instruktur adalah meletakkan dasar-dasar berpikir kritis dan terstruktur pada setiap peserta tentang betapa pentingnya mencintai kelestarian alam. SWAPENKA juga tidak mengajarkan makan cacing jika kita tidak bisa mengolahnya dengan benar. Tidak boleh menghina peserta dengan kata-kata yang merendahkan, misal; bodoh, monyet, dan kata-kata umpatan. Jika itu dilakukan, instruktur akan berhadapan dengan Komisi Disiplin. Push Up empat set. Begitu pula sebaliknya dengan peserta. Jika mereka tak bisa mempraktekkan materi yang telah didapat di DIKLAT Ruang (biasanya DIKLAT Ruang berlangsung satu minggu), dia juga akan dikenai sanksi berupa teguran ringan atau teguran keras. Push Up masuk kategori teguran keras.
Kenapa DIKLATSAR pencinta alam identik dengan sanksi? Sebab nantinya kami banyak bersinggungan dengan alam terbuka. Harus banyak praktek, mulai dari membuat bivak alam sebagai tempat berteduh di malam hari, hingga menanam pohon yang sesuai dengan habitatnya. Keliru sedikit saja, akibatnya fatal. Bisa semakin merusak keanekaragaman hayati, bisa pula mengancam nyawa sendiri. Jika PA hanya terbatas pada teori saja, barangkali proses DIKLATSAR tak harus sebegitunya. Tak perlu ada pressing fisik dan mental.
Di Januari 2005, seorang Zuhana Anibuddin Zuhro mengikuti proses masuk SWAPENKA, hari demi hari, bersama delapan rekannya yang lain. Semuanya lulus. Di hari terakhir, ketika scraft warna jingga tlah melingkar di leher, Zuhana Anibuddin Zuhro dianugerahi sebuah nama rimba. Prit namanya. Bunyi peluit, penanda kemenangan. Ya, dia menang dari dirinya sendiri, bisa menghentikan kebiasan makan bedak, dan bisa menjinakkan asmanya sendiri.
"Sejak mengikuti DIKLATSAR SWAPENKA angkatan ke-23, asma mulai jarang mengunjungi saya. Entah kenapa. Sampai sekarang, ketika masuk hutan, rasanya segar. Di tempat yang sesegar itu, saya tidak takut dengan ancaman asma. Dalam pelukan hutan, saya merasa terlindungi."
Hening. Di luar sana, hujan mengguyur kota Jember sedari sore. Tak terdengar suara terompet, padahal sekarang 31 Desember 2013. Malam tahun baru, saya dan Prit masih asyik di atas kasur, saling bicara. Prit sudah terlihat semakin membaik, tak sepucat sebelumnya.
"Sana Mas, baca-baca aja gih," ujar Prit.
Saya manut. Lalu saya membuka naskah hasil karya Mbak Irma Devita, 198 halaman. Sudah saya baca, tapi saya butuh membacanya kembali. Kemarin saya terkesan membacanya dengan agak tergesa-gesa. Maklum, dibarengi dengan penjurian lomba blog, menulis, dan beberapa hal lain yang harus saya kerjakan. Tiba-tiba saya teringat Kursus Jurnalisme Sastrawi XXII. Materinya banyak, dan saya belum sinau.
Niat untuk menghabiskan waktu di depan monitor saya gagalkan sendiri. Biarlah. Hari ini saya hanya ingin menemani Prit, tidur sebantal dan saling bicara.
Di luar sana, rintik hujan masih berdendang, mengiringi suara kodok yang bernyanyi mesra. Selamat menikmati penghujung 2013.
Salam dari kami, pasangan bulan sebelas..