Quantcast
Channel: acacicu
Viewing all articles
Browse latest Browse all 205

Always Anggur Kolesom

$
0
0
Sedianya hari ini saya hendak menuliskan sebuah narasi yang panjang. Ya, sudah jauh-jauh saya memikirkannya. Hari ini saya harus menulis tentang seseorang bernama Mochammad Sroedji, setidaknya untuk mengenang pertempuran hebat di sudut Kota Jember pada enam puluh lima tahun yang lalu. Sudah ada secangkir kopi dan segala hal yang saya butuhkan. Tentu, saya juga sudah melengkapi diri dengan data.

Untuk mempersegar suasana, berkumandanglah sebuah lagu berjudul Always yang dilantunkan Bon Jovi. Tak dinyana, lagu ini menciptakan masalah baru. Saya tidak jadi menulis. Buku-buku dan lembar catatan yang berserakan saya biarkan begitu saja. Banyak diantara buku itu yang masih dalam keadaan terbuka. Saya terbang kemana hati membawa, sebentar selonjor sebentar merebah sebentar bangkit lagi memandang laptop yang masih menyala. Ah, seandainya rokok tidak menjadikan sensitif bagi beberapa kalangan, untuk memperkuat tulisan, pastilah akan saya sertakan juga berapa batang yang telah saya habiskan. Sementara melayang, lagu itu sengaja saya putar berulang-ulang.

Tiba-tiba saya merindukan masa-masa yang telah lewat.

Saya butuh menulis, tentu saja saya menolak ada di situasi hati yang sentimentil. Lalu lagu tersebut saya matikan. Dan apakah saya berhasil? Sialnya, saya malah terperangkap dalam hening. Tak ada tombol off untuk kenangan yang menyeruak.

Saya merindukan Ibu.

Iya saya tahu, lagu yang dinyanyikan Bon Jovi tidak sedang bercerita tentang sosok Ibu. Ia lebih luas dari itu. Tentang sebuah rasa bernama cinta, tentang kesendirian, rindu, dengan sedikit sentuhan kata-kata yang merajuk.

When you say your prayers try to understand
I've made mistakes, i'm just a man


Di suatu sore yang hujan, saya baru saja bangun tidur. Lapar, tidak ada makanan di rumah, yang ada malah sesuatu yang memuakkan. Bapak dan Ibu, mereka bertengkar hebat layaknya bocah. Ada adegan saling melempar perabot rumah. Ketika melihat Kakak perempuan saya ndepis ketakutan di sudut ruang tengah, saya menghampirinya, tapi saya hanya berusaha ada di dekatnya dan tak berbuat apa-apa. Kami dua bersaudara, tidak ada pelindung lagi baginya. Saya hanya berharap, ketika saya ada di dekatnya maka dia akan merasa baik-baik saja. Entahlah saya tidak tahu, waktu itu saya hanyalah seorang bocah SMP Negeri 7 Jember yang sedang bersiap menghadapi EBTANAS.

Beberapa menit berlalu dan segalanya tidak menjadi lebih baik. Dengan mata yang berkaca-kaca, saya melangkah ke lompongan sebelah rumah, meraih BMX merk Oyama, lalu bergegas menerabas hujan. Saya marah. Ketika Ibu berteriak memanggil nama saya, kaki ini semakin kencang mengayuh pedal.

Rumah Nenek di Kreongan, itu tujuan saya. Jaraknya dari rumah antara lima sampai enam kilometer. Sesampainya di sana saya berganti pakaian, makan, lalu menghempaskan tubuh di ranjang. Nenek diam saja memandang tingkah cucu kesayangannya. Dia membuatkan saya segelas teh hangat. Sejak kepergian Kakek dua tahun lalu, Nenek tampak semakin sabar. Suaminya tercinta, Sura'i, ia meninggal dunia oleh kabel telanjang bertegangan 110 volt. Ketika itu Nenek ada tak jauh darinya. Barangkali kejadian itulah yang menempa Nenek untuk menjadi lebih bijaksana. Selain itu, wajahnya memang sudah menggurat keriput.

Ada radio kecil di dekat ranjang. Saya meraihnya, mencari gelombang radio yang sekiranya sedang memutar lagu. Yess! Saya berhasil. Sambil leyeh-leyeh saya dengarkan sebuah lagu yang sedang hits kala itu, Always by Bon Jovi. Dengan kekuatan imajinasi, saya membuat video klip sendiri. Lalu mata saya sembab. Saya teringat beberapa saat sebelumnya, ketika Ibu memanggil nama saya dalam derai hujan. Saya mengerti, ia sedang mencoba menahan anak lelakinya pergi. Semisal Ibu seorang Lady Rocker, mungkin ia juga akan menyanyikan lagu yang sama.

It's been raining since you left me
Now I'm drowning in the flood
You see I've always been a fighter
But without you I give up

Hujan telah berganti menjadi gerimis ketika saya memutuskan untuk segera pulang ke Patrang. Nenek diam saja. Tidak seperti Ibu, ia tak berusaha menahan saya pergi. Rupanya ia mengerti, saat itu saya sedang ingin menatap wajah Ibu apapun yang terjadi.

Sesampainya di rumah, sudah ada sebungkus nasi di meja makan. Kata Kakak, itu untuk saya. Dia mengatakannya dengan wajah yang biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Heran. Lebih heran lagi, rumah terasa sepi. Kemana mereka berdua?

"Bapak Ibu' nyusul Adik nang Kreyongan, goncengan numpak vespa."

Ah, keajaiban apa lagi ini? Bukankah tadi mereka bertengkar hebat? Sekrup sampah di sudut dapur buktinya. Di atas sekrup itu ada terlihat setumpuk pecahan beling.

Kelak barulah saya mengerti. Ketika itu Bapak sedang dalam suasana dompet yang buruk, sementara Ibu sudah tak nyaman dengan pemilik toko pracangan seberang rumah yang kabarnya sulit kulak'an sebab modalnya masih tersendat di beberapa pelanggan. Hmmm, itulah sebabnya kami tidak sarapan. Semua meledak di sore hari, saat hujan turun, ketika saya baru saja bangun tidur.

Di waktu yang lain ketika saya baru saja tercatat sebagai salah satu siswa SMAN 1 Arjasa, seorang saudara sepupu bernama Ees mengajak saya melakukan sesuatu yang menarik. Mabuk! Wew, ini keren, batin saya. Kami segera patungan untuk membeli barang yang dimaksud, Anggur Kolesom Cap Orang Tua. Saya lupa berapakah harganya, mungkin 3.000 rupiah. Harga eceran rokok Bentoel waktu itu 25 rupiah per batang.

Ees dua tahun lebih tua dari saya, dan baru saja naik ke kelas tiga di STM Negeri Jember. Ketika itu ia dan saya sama-sama ingin menikmati suasana mabuk sambil merokok. Anggur satu botol, Bentoel empat batang. Itu target kami meski pada akhirnya kami hanya membeli sebotol anggur saja, tak jadi membeli rokok. Rupanya Ees takut dilempar sapu lagi oleh Nenek.

"Gak usah rokok'an wes, bopong!"

Sesuai informasi dari Ees, kami berdua berjalan kaki dari rumah Nenek menuju sebuah toko di dekat Stasiun Kota Jember. Berhasil, kami pulang sambil membawa sebotol anggur di dalam tas merk Alpina. Jarak antara rumah Nenek dan stasiun sangat dekat, jadi kami sering berpapasan dengan orang-orang yang kami kenal. Setiap kali berpapasan dengan tetangga, setiap kali mereka bertanya 'dari mana,' setiap kali itu pula Ees berkata bangga, "Mari tuku Anggur." Berkebalikan dengan Ees, saya takut salah satu dari mereka menyampaikannya ke Bapak. Habislah saya kalau sampai Bapak tahu. Istilah lokalnya, tompes!

Seperti yang telah diskenariokan, akhirnya kami berdua meneguk anggur tersebut hingga tetes terakhir. Ees parah, dia terlalu banyak eksyen. Belum lagi botol dibuka, jalannya sudah dibuat sempoyongan. Haha, padahal kami sedang ada di kamar yang sempit. Tidak ada sosok lain di dalam kamar selain saya, Ees dan Tuhan.

"Sangar koen, koyok koboi."

Saya tertawa mendengar celoteh Ees.

Selesai. Kami berdua menyimpulkan bahwa kami sudah ada di kondisi mabuk yang hebat. Mata Ees merah, karena dia memang menguceknya. Kepala pusing, mulut saya sebah seperti habis menenggak segelas jamu pahit. Tak menunggu waktu lama, saya tertidur pulas. Esoknya dengan bangga Ees berkoar-koar pada teman sebaya bahwa dia telah mabuk bersama saya. Rumah Nenek ada di sebuah kampung yang padat, gosip lekas sekali menyebar. Ees bangga, saya khawatir berita ini sampai di telinga Bapak di Patrang.

Kemudian datanglah Sigit Edi Maryanto. Dia membawa kabar buruk. Sigit bilang, anggur yang kami minum bukan untuk mabuk-mabukan. Meski memiliki efek memusingkan, tapi mabuk tidak seperti itu.

"Iki kan ombean gawe Ibu-ibu hamil? Haha, mangkane rah ojok ya megaya."

Sambil memegang botol kosong, Sigit mengatakan itu. Dia tertawa keras, terbahak, bahagia melihat wajah melas saya dan Ees, dan entah apa lagi kata yang tepat untuk dapat menggambarkan ekspresi Sigit. Tak menunggu waktu lama, reputasi kami sebagai calon pemabuk hancur berkeping-keping. Sampai beberapa hari berikutnya, kami tak berani nongkrong di bangku dekat Poskamling kampung. Todus!

Seharusnya waktu itu kami tanya dulu mana yang anggur kolesom. Ah!

Sial, akhirnya sampai juga berita itu di telinga Bapak. Sebelum Bapak tiba di Kreongan, saya sudah packing beberapa baju, mempersiapkan hal paling buruk. Aneh, ia tidak marah. Kala itu Bapak hanya bilang, "Ibumu menangis." Seketika itu juga mata saya sembab. Tapi tentunya saya menyembunyikan itu dari pandangan Bapak.

Lalu saya pulang.

Dua tahun kemudian, Indonesia diterjang krismon. Diawali pada 1 Agustus 1997, ketika kurs rupiah terhadap kurs dollar Amerika semakin melemah. Ini berdampak pada kepercayaan Internasional terhadap Indonesia yang juga ikut menurun. Di kampung, tiba-tiba kami sudah akrab dengan kata likuidasi. Semakin mendekati tahun baru 1998, persediaan barang Nasional menipis menjadikan harga naik tak terkendali dan biaya hidup semakin tinggi. Harga rokok lekas berganti. Rokok Surya eceran yang tadinya sama dengan harga Bentoel, naik jadi seratus rupiah untuk tiga batang, lalu naik lagi menjadi lima puluh rupiah perbatang, sebelum akhirnya kembali naik menjadi satos rupiah. Kata Harto teman saya sekampung, harga anggur kolesom turut melonjak menjadi enam ribu rupiah. Saya ingin bertanya tentang harga anggur untuk Ibu hamil, tapi urung sebab saya tahu akan akibatnya. Mereka para peminum sejati pasti akan kembali tertawa bahagia sebahagianya.

Jasik!

Hari berganti, saya tumbuh semakin dewasa. Tak semua yang saya lewati adalah sesuatu yang benar. Ketika telah melewati yang benar, kadangkala saya tidak berhasil melaluinya. Kemudian saya kembali mencoba, begitu seterusnya. Tentu saya tidak menyesal, toh kita tak bisa me-reset waktu layaknya sebuah recording. Saya setuju ketika Tan Malaka bilang, tugas kita bukanlah untuk berhasil melainkan untuk mencoba.

Ada banyak kenakalan-kenakalan kecil yang pernah saya lakukan. Ada soundtrack lagu yang berbeda di setiap adegannya. Dan saat ini, entah kenapa saya merangkum banyak adegan masa lalu ke dalam satu lagu saja, Always.

Pada 24 Mei 2008, ketika saya sedang ada di dekat ruang Stroke Rumah Sakit dr Soebandi Jember, di luar sana orang-orang sedang sibuk menghujat tidak stabilnya harga BBM. Saya tidak peduli. Saat itu saya hanya ingin mengatakan satu kata pada Ibu. Maaf. Ya, Maaf. Tapi sudah tiga hari ini Ibu ada di kondisi koma. Hingga senja tiba, ketika Ibu menghembuskan napas untuk terakhir kalinya, tak sekalipun ia terbangun. Itu artinya tak sekalipun kata maaf saya ucapkan pada saat ia terjaga.

Detik terus berdetak. Seperti ilalang yang tak pernah lelah bertumbuh, saya mengikuti iramanya, detik demi detik. Kecuali saya sedang menciptakan lagu atau suasana saat berhadapan dengan penghulu, jarang-jarang saya terjebak romansa sentimentil seperti ini.

Mengingat Ibu adalah mengingat vas bunga di sudut ruang tamu, mengingat budaya berkumpul di meja makan, dan sejuta kata 'gak ilok' yang dulu selalu saya remehkan. Kini saya merindukannya. Saya juga merindukan sebuah vas berisi air segar yang dihiasi oleh bunga-bunga liar hasil memetik sendiri di belakang rumah.

Tentu, saya merindukan suasana hangat ketika mengelilingi meja makan.

Sudah lama sekali saya tak merasakan sarapan pagi, makan siang dan malam, yang kesemuanya dilakukan di meja makan. Kemarin saat di Jakarta, ketika saya menginap di rumah keluarga Mochammad Sroedji, mereka selalu mengajak saya makan bersama di meja bundar yang atasnya bisa diputar. Ah, bukankah itu meja impian Almarhummah?

Suatu hari ketika saya tak menghabiskan makanan di meja makan, Ibu Pudji Redjeki Irawati --putri bungsu Letkol Moch. Sroedji-- menegur saya. Tidak baik tak menuntaskan makanan. Saat itu juga saya kembali melahap sisa makanan hingga piring nampak mengkilat. Ketika itu pula saya merindukan seseorang. Ibu Pudji Redjeki Irawati, ia sama persis seperti Ibu saya yang tak suka melihat anaknya tak menghabiskan makanan.

"Gak ilok, mengko pithik'e mati."

Terlalu banyak kenangan menyeruak di pagi ini. Sudah. Saya akan leyeh-leyeh dulu sambil mendengar Bon Jovi mendendangkan lagu berjudul Always, dan sambil mentertawakan kebodohan saya ketika mabuk minum anggur untuk Ibu hamil.

Salam saya, RZ Hakim.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 205