Mata saya selalu berbinar ketika mendapati uang logam 100 rupiah tahun 1978. Dibanding koin keluaran sebelumnya, 1973, bentuknya memang lebih tipis, dengan gambar rumah gadang dan gunungan wayang yang dilingkari tulisan, "Hutan Untuk Kesejahteraan." Kadang istri saya bertanya, buat apa menyimpan uang logam itu? Saya tahu, ini adalah koin yang sudah tak laku lagi. Tapi saya suka, atas nama kenangan, dan atas nama pesan yang dibawanya.
Dulu, saya menggunakan sekeping uang ini untuk membeli bakso di warung Pak Misdi, semangkuknya 50 rupiah. Pak Misdi adalah seorang tukang kebun di SDN Patrang 1 Jember yang rumahnya di dalam areal sekolah. Kadang kalau beruntung, saya bisa makan bakso sambil mendengar lagu Isabella dari radio milik keluarga Misdi. Ketika itu, rasanya tak ada dari kami yang tak suka menyanyikan Isabella.
"Dia Isabella lambang cinta yang lara.."
Ada sederet kisah antara saya dengan koin 100 rupiah berbahan Cupro Nikel ini. Di usia SD saya telah paham apa itu hutan, dan secara kasar mengerti akan arti sejahtera. Namun saya tidak benar-benar tahu apa arti dari kalimat, hutan untuk kesejahteraan.
Hingga masuk SMA kelas satu, hubungan saya dengan koin ini semakin dekat. Waktu itu tiket angkot untuk pelajar 100 rupiah. Setahun berikutnya Indonesia diterjang krismon, berdampak pada harga angkot Lin dan Bus DAMRI di Jember. Naik seratus persen. Tentu, saya masih akrab dengan si koin, namun belum berpikir luas pada pesan yang dibawanya.
Tahun berikutnya, proses kelulusan saya di SMA diwarnai dengan kisah lengsernya Pak Harto. Ketika itu saya menontonnya di rumah Pakde Jumali, Kreongan. Para Mahasiswa bersorak. Ada yang tertangkap kamera sedang menitikkan air mata.
Berkumpul bersama para tetangga di kampung Kreongan sambil menatap layar televisi 12 inchi, tiba-tiba saya merasa bodoh. Ada apa dengan Indonesia? Memang, sedari awal Maret hingga Mei 1998, saya mendengar adanya sederet kejadian di Jakarta, namun saya tidak berpikir lebih jauh. Saya rasa, pendidikan yang saya dapat sedari SD hingga SMA tak serta merta membuat saya berpikir kritis, memikirkan bangsa ini.
Sepertinya ada yang salah dengan cara saya belajar.
Hari berganti, saya tumbuh bersama sang waktu. Kini, saya senang mengingat kisah tentang nostalgia bakso Pak Misdi, lagu Isabella, kenangan ketika naik Bus DAMRI dalam kota, hingga koin kesayangan.
"Jadi, dulu Mas sering bawa koin ke telepon umum cuma untuk request lagu di radio?"
Istri saya tersenyum saat saya menceritakannya. Kepadanya, saya ceritakan juga tentang sekotak mesin game bernama dingdong.
Hutan Untuk Kesejahteraan
Kalimat yang pernah merakyat. Ia benar-benar ada di tangan rakyat, berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, tapi tak semua rakyat tergugah kesadaran kritisnya. Uang dilempar sebelum tercipta infrastruktur yang kuat, atau sudah kuat tapi dipelintir, seperti dipelintirnya statement Gus Dur perihal 'hutan untuk rakyat.'
Sebagian hutan di Indonesia menjelma menjadi kebun dan tambang, sebab manfaat ekonominya tidak dikelola secara benar. Penyakitnya masih sama, mental korupsi dan buruknya tata kelola hutan.
Lalu saya teringat wejangan dari Profesor Rato.
"Nenek moyang kita tinggalnya di hutan, sedang Belanda tidak memiliki hutan. Mereka mengadopsi UU Kehutanan dari Jerman, padahal karakter hutannya tidak sama. Hutan di Indonesia bisa ditinggali, sementara di sana tidak. Begitu UU itu diterapkan, maka kacau. Corak UU tersebut sangat kapitalistik, sementara adat-adat di Indonesia lebih filosofis."
Ah, kita hanya menambal sulam UU Kehutanan yang sedari awal sudah kacau.
Nilai penting hutan tergeser oleh pertimbangan ekonomi semata, tak lagi berfilosofi Protect Paradise. Lihat saja cara Indonesia memperlakukan perkebunan kelapa sawit. Di satu sisi bangga bisa memproduksi bahan bakar nabati berkarbon rendah, di sisi lain itu berawal dari penggundulan hutan yang justru menjadi sumber emisi terbesar di Indonesia.
Penanganan hutan secara keliru tentu berdampak pada hak dasar manusia yang paling vital, oksigen. Setelah oksigen, air menduduki peringkat berikutnya. Hak asasi manusia atas air merupakan prasyarat untuk realisasi hak dasar lainnya. Tentu, air sangat berkaitan erat dengan fungsi hutan sebagai water regulator.
Penutup
Tak sedikit dongeng kuno yang mengkisahkan bahwa hutan adalah tempat bagi para pendekar untuk menempa diri. Ketika telah tiba saatnya, ia akan keluar dari hutan dan menumpas kejahatan. Kini hutan menjadi semakin sempit, dimana para pendekar-pendekar itu?
Kembali saya menatap koin kenangan, uang logam 100 rupiah tahun 1978. Ia adalah lambang cinta yang lara.
Salam saya, RZ Hakim.
Dulu, saya menggunakan sekeping uang ini untuk membeli bakso di warung Pak Misdi, semangkuknya 50 rupiah. Pak Misdi adalah seorang tukang kebun di SDN Patrang 1 Jember yang rumahnya di dalam areal sekolah. Kadang kalau beruntung, saya bisa makan bakso sambil mendengar lagu Isabella dari radio milik keluarga Misdi. Ketika itu, rasanya tak ada dari kami yang tak suka menyanyikan Isabella.
"Dia Isabella lambang cinta yang lara.."
Ada sederet kisah antara saya dengan koin 100 rupiah berbahan Cupro Nikel ini. Di usia SD saya telah paham apa itu hutan, dan secara kasar mengerti akan arti sejahtera. Namun saya tidak benar-benar tahu apa arti dari kalimat, hutan untuk kesejahteraan.
Hingga masuk SMA kelas satu, hubungan saya dengan koin ini semakin dekat. Waktu itu tiket angkot untuk pelajar 100 rupiah. Setahun berikutnya Indonesia diterjang krismon, berdampak pada harga angkot Lin dan Bus DAMRI di Jember. Naik seratus persen. Tentu, saya masih akrab dengan si koin, namun belum berpikir luas pada pesan yang dibawanya.
Tahun berikutnya, proses kelulusan saya di SMA diwarnai dengan kisah lengsernya Pak Harto. Ketika itu saya menontonnya di rumah Pakde Jumali, Kreongan. Para Mahasiswa bersorak. Ada yang tertangkap kamera sedang menitikkan air mata.
Berkumpul bersama para tetangga di kampung Kreongan sambil menatap layar televisi 12 inchi, tiba-tiba saya merasa bodoh. Ada apa dengan Indonesia? Memang, sedari awal Maret hingga Mei 1998, saya mendengar adanya sederet kejadian di Jakarta, namun saya tidak berpikir lebih jauh. Saya rasa, pendidikan yang saya dapat sedari SD hingga SMA tak serta merta membuat saya berpikir kritis, memikirkan bangsa ini.
Sepertinya ada yang salah dengan cara saya belajar.
Hari berganti, saya tumbuh bersama sang waktu. Kini, saya senang mengingat kisah tentang nostalgia bakso Pak Misdi, lagu Isabella, kenangan ketika naik Bus DAMRI dalam kota, hingga koin kesayangan.
"Jadi, dulu Mas sering bawa koin ke telepon umum cuma untuk request lagu di radio?"
Istri saya tersenyum saat saya menceritakannya. Kepadanya, saya ceritakan juga tentang sekotak mesin game bernama dingdong.
Hutan Untuk Kesejahteraan
Kalimat yang pernah merakyat. Ia benar-benar ada di tangan rakyat, berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, tapi tak semua rakyat tergugah kesadaran kritisnya. Uang dilempar sebelum tercipta infrastruktur yang kuat, atau sudah kuat tapi dipelintir, seperti dipelintirnya statement Gus Dur perihal 'hutan untuk rakyat.'
Sebagian hutan di Indonesia menjelma menjadi kebun dan tambang, sebab manfaat ekonominya tidak dikelola secara benar. Penyakitnya masih sama, mental korupsi dan buruknya tata kelola hutan.
Lalu saya teringat wejangan dari Profesor Rato.
"Nenek moyang kita tinggalnya di hutan, sedang Belanda tidak memiliki hutan. Mereka mengadopsi UU Kehutanan dari Jerman, padahal karakter hutannya tidak sama. Hutan di Indonesia bisa ditinggali, sementara di sana tidak. Begitu UU itu diterapkan, maka kacau. Corak UU tersebut sangat kapitalistik, sementara adat-adat di Indonesia lebih filosofis."
Ah, kita hanya menambal sulam UU Kehutanan yang sedari awal sudah kacau.
Nilai penting hutan tergeser oleh pertimbangan ekonomi semata, tak lagi berfilosofi Protect Paradise. Lihat saja cara Indonesia memperlakukan perkebunan kelapa sawit. Di satu sisi bangga bisa memproduksi bahan bakar nabati berkarbon rendah, di sisi lain itu berawal dari penggundulan hutan yang justru menjadi sumber emisi terbesar di Indonesia.
Penanganan hutan secara keliru tentu berdampak pada hak dasar manusia yang paling vital, oksigen. Setelah oksigen, air menduduki peringkat berikutnya. Hak asasi manusia atas air merupakan prasyarat untuk realisasi hak dasar lainnya. Tentu, air sangat berkaitan erat dengan fungsi hutan sebagai water regulator.
Penutup
Tak sedikit dongeng kuno yang mengkisahkan bahwa hutan adalah tempat bagi para pendekar untuk menempa diri. Ketika telah tiba saatnya, ia akan keluar dari hutan dan menumpas kejahatan. Kini hutan menjadi semakin sempit, dimana para pendekar-pendekar itu?
Kembali saya menatap koin kenangan, uang logam 100 rupiah tahun 1978. Ia adalah lambang cinta yang lara.
Salam saya, RZ Hakim.