Hai Aldin..
Le, Paklik bukan pendongeng yang hebat. Tapi di hari lahirmu yang perdana ini, Paklik akan mencobanya. Baiklah, sekarang pejamkan matamu. Akan kubawa kau terbang ke tahun 1359 Masehi.
Pada suatu masa, di tanah moyangmu pernah ada sebuah kerajaan bernama Majapahit. Pemimpin demi pemimpin silih berganti menahkodai kerajaan ini. Hingga pada Raja yang ke 14 di abad 14. Dialah Maharaja Sri Rajasanagara atau lebih dikenal dengan nama Hayam Wuruk.
Dilahirkan pada tahun 1334 Masehi, tahun dimana Gajah Mada mengucapkan sumpah pelepahnya. Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana a.k.a Cakradhara. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai Raja Majapahit di usianya yang masih muda, 16 tahun, menggantikan Tribhuwana Tunggadewi.
Sembilan tahun kemudian, ketika Hayam Wuruk berusia 25 tahun, antara bulan September hingga Desember 1359 Masehi, ia mengadakan perjalanan (kunjungan) menuju ujung timur Pulau Jawa. Hayam Wuruk tidak sendirian, melainkan disertai dengan pengikut; beberapa keluarga dan beberapa pejabat tingginya. Hebatnya, semua perjalanannya diabadikan oleh Mpu Prapanca.
Sedikit gambaran tentang sosok Prapanca..
Ia hidup di masa keemasan Majapahit, tepatnya di era Hayam Wuruk. Waktu itu (di abad 14) Gajah Mada mengadakan perluasan wilayah keluar Jawa. Rupanya Gajah Mada terinspirasi oleh kisah kepemimpinan Kertanegara (meninggal pada 1292). Kertanegara adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Singosari sekaligus mertua dari Wijaya yang tidak lain adalah pendiri kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293.
Beberapa sumber mengatakan, saat memoles Nagarakretagama, Prapanca masih belum bergelar Mpu karena masih seorang calon Pujangga. Dia bernama asli Dang Acarya Nada Indra. Ayahnya adalah Mpu Narendra dan memegang jabatan Dharmadyaksa ring kasogatan, atau Ketua dalam urusan agama Budha.
Kita kembali ke kisah perjalanan Hayam Wuruk beserta rombongan. Aldin, ini dia rute perjalanan Majapahit - Patukangan (Panarukan) yang membelah Jember.
Desa-desa di Jember yang dilalui rombongan Hayam Wuruk
Kisah yang panjang. Sebentar ya boy, Pak Lik masih berusaha keras untuk meringkasnya.
Jadi begini. Kita mulai dari sebuah kata di Desa Warnana yang berbunyi Paseban. Semula Pak Lik berasumsi bahwa paseban yang dimaksud adalah paseban yang ada di Kecamatan Kencong - Jember. Sayang sekali, Pak Lik mentok data dan nggak berani menarik kesimpulan.
Kita ambil kisah perjalanannya dari Kunir saja ya. Kunir adalah nama sebuah desa di Lumajang sebelah timur, berbatasan dengan Jember.
Dari Kunir rombongan bergerak ke arah Sadeng (sekarang lebih dikenal dengan nama Puger - Jember). Ada adegan dimana rombongan harus menyeberangi sungai Basini (sekarang Besini). Di tempat ini, mereka menginap beberapa malam menikmati keindahan alam di sekitar Srampwan atau Sarampuan. Pak Lik sendiri masih belum survey dimana tepatnya lokasi Sarampuan itu.
Sekilas Sadeng di masa lalu..
Hayam Wuruk pastilah mengerti, bahwa 28 tahun sebelumnya (yaitu tahun 1331 M, tiga tahun sebelum dia dilahirkan) ada perlawanan hebat dari orang-orang Sadeng terhadap kerajaan besar bernama Majapahit yang sekarang ia pimpin. Jadi, kemungkinan besar dia membawa prajurit-prajurit tangguh. Ya, ini adalah perjalanan kolosal. Apalagi yang dituju adalah Patukangan (Situbondo). Di kawasan tersebut ada kerajaan kecil bernama Keta. Pada 1331 Keta turut melakukan perlawanan (bersama Sadeng) terhadap Majapahit. Meski pada akhirnya perlawanan-perlawanan sengit itu berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada (belum menjadi Patih), setidaknya itu adalah tanda sejarah pada tanah yang di atasnya hidup orang-orang pemberani.
Oke Aldin, kita lanjutkan..
Setelah puas menikmati pesona Sadeng, Raja Hayam Wuruk beserta rombongan kembali bergerak menuju Kutha Bacok (sekarang dikenal dengan Watu Ulo). Tampak tergambar dalam catatan, dia begitu menikmati pantai Kutha Bacok.
Ketika Hayam Wuruk beserta rombongan ada di Kutha Bacok, sang rakawi tidak ikut berkunjung di sana (Bacok), melainkan mengambil jalur sendiri.
Ini dia jalur sang rakawi alias Mpu Prapanca
Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka. Segera berjumpa lagi (dengan rombongan) dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya.
Perjalanan dilanjutkan kembali.
Melalui Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ bermalam, segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya, yang segera dituruni sampai jurang.
Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab berlanggar. Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan dan Bangkong, dua desa tanpa cerita. Terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin refresh. Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang ilalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan.
Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.
Ah, sayang sekali Aldin, banyak nama-nama kuno yang Pak Lik belum pahami. Memang, beberapa daerah sulit teridentifikasi, baik dari cara penuturan Prapanca maupun dari rentang waktu yang berjarak 654 tahun (1359 - 2013). Berdirinya NV. LMOD di Jember sejak 1859 juga berpengaruh pada pergantian nama-nama kawasan atau pembagian wilayah distrik (padukuhan, kawedanan, hingga kabupaten).
Beberapa nama kawasan yang masih bisa diraba adalah Watangan di Jember Selatan (tidak tertulis di atas, tapi disinggung oleh Prapanca di Desa Warnana), Balung (Itu desanya Pakde Lozz Din), Renes (Wirowongso - Ajung), Pakis Haji (Ini hanya sekedar prakiraan ya, mungkin yang dimaksud adalah daerah Pakusari), Kali Mayang (Mayang), menuju Kalisat dan Sukowono.
Jalur berikutnya yang ditempuh oleh rombongan adalah Tamanan, menuju Pekambangan (Gambang, desa Tlogosari - Bondowoso). Dari sana bergerak ke arah Prajekan Bondowoso, terus hingga menuju Patukangan (Panarukan).
Tumbu, Habet, Galagah, Tampaling, Jayakreta, Wanagriya, Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan, Secang, Jati Gumelar, Silabango, Dewa Rame, Dukun, Pakembangan, Lurah Daya, Palayangan, Bangkong, Sarana, Surabasa, Turayan, ah.. Begitu banyak nama-nama desa yang Pak Lik tak paham. Maaf ya Aldin. Bisa jadi beberapa diantaranya adalah nama-nama desa wilayah Patukangan. Dan itupun masih banyak lagi yang tak tertuliskan di sini.
Ada banyak nama-nama tempat di Patukangan (Situbondo), di masa Adipati Suradikara - 1359, yang tak tertuliskan di sini. Di masa itu, Bondowoso - Situbondo adalah wilayah yang begitu biutipul. Kecantikannya masih terpancar hingga saat ini.
Syandana Aldin Wijaya...
Jika dirasa perlu, sempurnakanlah kisah ini dari berbagai sisi. Katakan salah jika ada yang salah. Pak Lik juga merangkainya dari berbagai sumber.
Baiklah Aldin, sudah waktunya memikirkan bagaimana menyudahi dongeng ini. Pak Lik sudah berusaha merangkumnnya, maaf jika masih memanjang meng-kereta api.
Suatu hari nanti, kau harus menuliskan perjalananmu sendiri.
Catatan Tambahan
Kelak di tahun 1902, seorang ahli penelaah sastra bernama J.L.A. Brandes memberi nama lain pada Desa Warnana, yaitu Nagarakretagama. Nama Mpu Prapanca semakin dikenal, sebab dialah sang pujangga Desa Wardana Nagarakretagama.
Sudah ya Nak, selamat hari lahir.
Le, Paklik bukan pendongeng yang hebat. Tapi di hari lahirmu yang perdana ini, Paklik akan mencobanya. Baiklah, sekarang pejamkan matamu. Akan kubawa kau terbang ke tahun 1359 Masehi.
Pada suatu masa, di tanah moyangmu pernah ada sebuah kerajaan bernama Majapahit. Pemimpin demi pemimpin silih berganti menahkodai kerajaan ini. Hingga pada Raja yang ke 14 di abad 14. Dialah Maharaja Sri Rajasanagara atau lebih dikenal dengan nama Hayam Wuruk.
Dilahirkan pada tahun 1334 Masehi, tahun dimana Gajah Mada mengucapkan sumpah pelepahnya. Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana a.k.a Cakradhara. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai Raja Majapahit di usianya yang masih muda, 16 tahun, menggantikan Tribhuwana Tunggadewi.
Sembilan tahun kemudian, ketika Hayam Wuruk berusia 25 tahun, antara bulan September hingga Desember 1359 Masehi, ia mengadakan perjalanan (kunjungan) menuju ujung timur Pulau Jawa. Hayam Wuruk tidak sendirian, melainkan disertai dengan pengikut; beberapa keluarga dan beberapa pejabat tingginya. Hebatnya, semua perjalanannya diabadikan oleh Mpu Prapanca.
Sedikit gambaran tentang sosok Prapanca..
Ia hidup di masa keemasan Majapahit, tepatnya di era Hayam Wuruk. Waktu itu (di abad 14) Gajah Mada mengadakan perluasan wilayah keluar Jawa. Rupanya Gajah Mada terinspirasi oleh kisah kepemimpinan Kertanegara (meninggal pada 1292). Kertanegara adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Singosari sekaligus mertua dari Wijaya yang tidak lain adalah pendiri kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293.
Beberapa sumber mengatakan, saat memoles Nagarakretagama, Prapanca masih belum bergelar Mpu karena masih seorang calon Pujangga. Dia bernama asli Dang Acarya Nada Indra. Ayahnya adalah Mpu Narendra dan memegang jabatan Dharmadyaksa ring kasogatan, atau Ketua dalam urusan agama Budha.
Kita kembali ke kisah perjalanan Hayam Wuruk beserta rombongan. Aldin, ini dia rute perjalanan Majapahit - Patukangan (Panarukan) yang membelah Jember.
Desa-desa di Jember yang dilalui rombongan Hayam Wuruk
Kisah yang panjang. Sebentar ya boy, Pak Lik masih berusaha keras untuk meringkasnya.
Jadi begini. Kita mulai dari sebuah kata di Desa Warnana yang berbunyi Paseban. Semula Pak Lik berasumsi bahwa paseban yang dimaksud adalah paseban yang ada di Kecamatan Kencong - Jember. Sayang sekali, Pak Lik mentok data dan nggak berani menarik kesimpulan.
Kita ambil kisah perjalanannya dari Kunir saja ya. Kunir adalah nama sebuah desa di Lumajang sebelah timur, berbatasan dengan Jember.
Dari Kunir rombongan bergerak ke arah Sadeng (sekarang lebih dikenal dengan nama Puger - Jember). Ada adegan dimana rombongan harus menyeberangi sungai Basini (sekarang Besini). Di tempat ini, mereka menginap beberapa malam menikmati keindahan alam di sekitar Srampwan atau Sarampuan. Pak Lik sendiri masih belum survey dimana tepatnya lokasi Sarampuan itu.
Sekilas Sadeng di masa lalu..
Hayam Wuruk pastilah mengerti, bahwa 28 tahun sebelumnya (yaitu tahun 1331 M, tiga tahun sebelum dia dilahirkan) ada perlawanan hebat dari orang-orang Sadeng terhadap kerajaan besar bernama Majapahit yang sekarang ia pimpin. Jadi, kemungkinan besar dia membawa prajurit-prajurit tangguh. Ya, ini adalah perjalanan kolosal. Apalagi yang dituju adalah Patukangan (Situbondo). Di kawasan tersebut ada kerajaan kecil bernama Keta. Pada 1331 Keta turut melakukan perlawanan (bersama Sadeng) terhadap Majapahit. Meski pada akhirnya perlawanan-perlawanan sengit itu berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada (belum menjadi Patih), setidaknya itu adalah tanda sejarah pada tanah yang di atasnya hidup orang-orang pemberani.
Oke Aldin, kita lanjutkan..
Setelah puas menikmati pesona Sadeng, Raja Hayam Wuruk beserta rombongan kembali bergerak menuju Kutha Bacok (sekarang dikenal dengan Watu Ulo). Tampak tergambar dalam catatan, dia begitu menikmati pantai Kutha Bacok.
Ketika Hayam Wuruk beserta rombongan ada di Kutha Bacok, sang rakawi tidak ikut berkunjung di sana (Bacok), melainkan mengambil jalur sendiri.
Ini dia jalur sang rakawi alias Mpu Prapanca
Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka. Segera berjumpa lagi (dengan rombongan) dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya.
Perjalanan dilanjutkan kembali.
Melalui Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ bermalam, segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya, yang segera dituruni sampai jurang.
Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab berlanggar. Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan dan Bangkong, dua desa tanpa cerita. Terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin refresh. Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang ilalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan.
Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.
Ah, sayang sekali Aldin, banyak nama-nama kuno yang Pak Lik belum pahami. Memang, beberapa daerah sulit teridentifikasi, baik dari cara penuturan Prapanca maupun dari rentang waktu yang berjarak 654 tahun (1359 - 2013). Berdirinya NV. LMOD di Jember sejak 1859 juga berpengaruh pada pergantian nama-nama kawasan atau pembagian wilayah distrik (padukuhan, kawedanan, hingga kabupaten).
Beberapa nama kawasan yang masih bisa diraba adalah Watangan di Jember Selatan (tidak tertulis di atas, tapi disinggung oleh Prapanca di Desa Warnana), Balung (Itu desanya Pakde Lozz Din), Renes (Wirowongso - Ajung), Pakis Haji (Ini hanya sekedar prakiraan ya, mungkin yang dimaksud adalah daerah Pakusari), Kali Mayang (Mayang), menuju Kalisat dan Sukowono.
Jalur berikutnya yang ditempuh oleh rombongan adalah Tamanan, menuju Pekambangan (Gambang, desa Tlogosari - Bondowoso). Dari sana bergerak ke arah Prajekan Bondowoso, terus hingga menuju Patukangan (Panarukan).
Tumbu, Habet, Galagah, Tampaling, Jayakreta, Wanagriya, Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan, Secang, Jati Gumelar, Silabango, Dewa Rame, Dukun, Pakembangan, Lurah Daya, Palayangan, Bangkong, Sarana, Surabasa, Turayan, ah.. Begitu banyak nama-nama desa yang Pak Lik tak paham. Maaf ya Aldin. Bisa jadi beberapa diantaranya adalah nama-nama desa wilayah Patukangan. Dan itupun masih banyak lagi yang tak tertuliskan di sini.
Ada banyak nama-nama tempat di Patukangan (Situbondo), di masa Adipati Suradikara - 1359, yang tak tertuliskan di sini. Di masa itu, Bondowoso - Situbondo adalah wilayah yang begitu biutipul. Kecantikannya masih terpancar hingga saat ini.
Syandana Aldin Wijaya...
Jika dirasa perlu, sempurnakanlah kisah ini dari berbagai sisi. Katakan salah jika ada yang salah. Pak Lik juga merangkainya dari berbagai sumber.
Baiklah Aldin, sudah waktunya memikirkan bagaimana menyudahi dongeng ini. Pak Lik sudah berusaha merangkumnnya, maaf jika masih memanjang meng-kereta api.
Suatu hari nanti, kau harus menuliskan perjalananmu sendiri.
Catatan Tambahan
Kelak di tahun 1902, seorang ahli penelaah sastra bernama J.L.A. Brandes memberi nama lain pada Desa Warnana, yaitu Nagarakretagama. Nama Mpu Prapanca semakin dikenal, sebab dialah sang pujangga Desa Wardana Nagarakretagama.
Sudah ya Nak, selamat hari lahir.