Quantcast
Channel: acacicu
Viewing all articles
Browse latest Browse all 205

Nda Yatuk dan Tragedi Gerbong Maut

$
0
0
Ketika saya masih kecil, sering saya lihat sosok lelaki sepuh dengan seragam Pramuka lengkap, berkacamata, bersepatu, dan menjalani aktifitas layaknya PKS atau Patroli Keamanan Sekolah. Iya benar, lelaki tua itu senang sekali membantu orang (siswa-siswi SD) untuk menyeberang jalan.

Siapakah lelaki sepuh tersebut? Beliau adalah Bapak Hidayatullah. Tapi tak banyak orang Jember yang mengenali nama aslinya, sebab beliau lebih dikenal dengan nama Nda Yatuk.

Bapak pernah bercerita, Pak Hidayatullah disebut dengan nama Nda Yatuk, sebab beliau adalah senior kepanduan (Pramuka). Nda adalah penggalan dari Kanda. Mungkin, awal sebutan beliau adalah Kanda Yatuk. Mengenai 'Yatuk' sendiri, terus terang saya tidak tahu artinya. Pernah beberapa kali saya menanyakan ini, namun belum ada jawaban.

Masih menurut Bapak, di setiap acara persami (perkemahan sabtu malam minggu), atau di acara renungan malam yang diselenggarakan oleh Pramuka, seringkali Nda Yatuk merubah dirinya menjadi Harimau Loreng. Cukup koprol tiga kali, maka berubahlah sosok Nda Yatuk menjadi macan. Setidaknya, itu yang Bapak dongengkan pada saya, dulu ketika saya masih bocah.

Anehnya, hampir seluruh tetangga Nda Yatuk di wilayah Kreongan, dekat Pabrik Es (di seberang toko narto), mengamini kisah tersebut.

Cerita yang lain tentang Nda Yatuk, tidak lain adalah kisah heroiknya selama bertahan hidup di dalam gerbong sempit (kelak kisah tahun 1947 ini lebih dikenal dengan nama tragedi gerbong maut). Menurut Ibu saya, dulu ketika Nda Yatuk ada di dalam gerbong, dia menemukan lubang kecil seukuran lubang jarum. Dari lubang itulah Nda Yatuk menghirup udara. Nda Yatuk menyelesaikan dahaganya dengan mengumpulkan air liurnya sendiri di kedua telapak tangannya, untuk kemudian diminumnya kembali. Memang terdengar jorok, tapi itu kisah yang saya dapatkan dari Ibu.

TENTANG TRAGEDI GERBONG MAUT

Tragedi ini terjadi pada 23 November 1947. Dalam buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan di Jawa Timur, dikisahkan tentang penuturan Koeswari, seorang Komandan Ranting Kepolisian RI daerah Maesan - Bondowoso. Koeswari adalah salah seorang pejuang yang ditangkap oleh Belanda (berkat bantuan orang-orang Indonesia yang menjadi kaki tangan Belanda).

Setelah ditangkap Belanda, pada 14 November 1947 Koeswari dibawa ke kantor VDMB di Jalan Jember (nama sebuah jalan di Bondowoso). Keesokan harinya (15 November), ia dan teman-temannya dibawa ke penjara Bondowoso. Setelah tujuh hari di penjara Bondowoso, pada 23 November 1947, ia dan 99 orang tawanan lainnya mengalami peristiwa sejarah, tragedi gerbong maut.

Foto diambil dari google, dengan keyword gerbong maut

Jadi begini ceritanya. Pada hari sabtu 22 November 1947, sesudah makan sore Pak Koeswari dan kawan-kawannya telah dipindahkan dari sel mereka masing-masing ke kamar nomor 10.

Keesokan harinya (minggu, 23 November 1947 pukul 05.15) atas perintah komandan VDMB Van Dorper, ke-100 orang tawanan tersebut disuruh keluar dan berbaris empat-empat di muka penjara Bondowoso. Sesudah itu mereka diperintahkan berbaris menuju stasiun Bondowoso. Sambil menunggu datangnya kereta api dari Situbondo, mereka telah dimasukkan ke dalam tiga gerbong barang (yang terbuat dari bahan seng) yaitu:

1. Gerbong No. GR. 1052 berisi 38 orang (yang kemudian disebut dengan gerbong III karena ditempatkan di bagian paling belakang)

2. Gerbong No. GR. 4416 yang berisi 30 orang (yang kemudian disebut gerbong nomor II , karena ditempatkan ditengah).

3. Gerbong No. GR 5769 yang berisi 32 orang (yang kemudian disebut gerbong nomer I, karena tempatnya paling depan).

Setelah itu, gerbong-gerbong itu dikunci dari luar oleh anggota KNIL yang mengawal mereka. Hmmm, bisa dibayangkan betapa gelap dan pengapnya di dalam gerbong kecil berbahan seng tersebut.

Kira-kira pukul 07.00 WIB setelah iringan ketiga gerbong tersebut digandengkan dengan kereta api yang datang dari Situbondo, mereka diberangkatkan menuju suatu titik yang tidak mereka ketahui. Ada juga yang menduga bahwa mereka akan dipindahkan ke penjara Bubutan di Surabaya.

Singkat cerita, pada pukul 19.15 WIB kereta api maut tsb berhenti di stasiun stasiun Wonokromo - Surabaya, dan perjalanan mereka berakhir di situ. Para pengawal mulai membuka pintu ketiga gerbong tersebut. Dan inilah yang terjadi.

- Gerbong nomor III (GR. 1052), dari ke-38 orang, tidak ada satupun yang hidup. Semuanya meninggal dunia.

- Gerbong tengah nomor II (GR. 4416), dari 30 orang, meninggal 8 orang.

- Gerbong nomor I (GR. 5769), dari 32 orang, semuanya hidup tapi dalam keadaan yang sungguh sangat mengenaskan.

Totalnya adalah: 46 meninggal dunia, 44 hidup dengan catatan, 8 orang sakit parah (termasuk Pak Koeswari). Mereka yang sakit parah akhirnya dibawa ke RS Karang Menjangan.

Pada akhirnya, tawanan yang masih hidup (44 orang) dibawa ke kamp BUBUTAN dan ditempatkan didalam los tersendiri (los nomor 6). Selama satu setengah bulan mereka diasingkan dan tidak boleh berkumpul dengan tawanan lainnya. Jika ada diantara mereka yang berani mendekat pada jarak 10 meter, maka akan ditembak oleh penjaga penjara.

Demikianlah nasib para tawanan gerbong maut yang masih hidup. Sedangkan korban gerbong maut yang berjumlah 46 orang itu kemudian dikebumikan di salah satu makam di Sidoarjo. Atas prakarsa suatu panitia, pada 10 November 1960, kerangka para para pahlawan tersebut dipindahkan ke TMP Bondowoso.

Begitulah ceritanya. Diantara mereka yang hidup, salah satunya bernama Pak Hidayatullah a.k.a Nda Yatuk.

Kabar lain tentang Tragedi Gerbong Maut bisa dibaca juga di koran lawas, Pelita Rakjat edisi 18 November 1948, halaman 3. Silahkan meluncur di sini.

Penutup

Kini Nda Yatuk telah tiada. Yang tertinggal hanyalah teladan dan kenangannya saat membantu siswa-siswi SD menyeberang jalan menuju sekolahnya, mengajari anak-anak dalam ilmu kepanduan tanpa meminta imbalan apapun, dan sepenggal kisah akan Harimau Loreng.

Doa saya untuk Nda Yatuk, semoga diterima di sisi-Nya. Amin Ya Robbal Alamin.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 205