Ini adalah hari yang romantis untuk saya dan istri. Kami menikmatinya dengan menyanyikan lagu-lagu ciptaan sendiri diiringi gitar bolong hadiah dari Jalbil, segelas kopi, dan rintik gerimis di luar sana.
Saat lagi enak-enaknya memetik gitar itulah, tiba-tiba pandangan saya tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di atas karpet warna merah. Buku sederhana, dengan sampul yang juga sederhana. Dalam sampul itu hanya ada foto seorang laki-laki berkopiah hitam yang sudah menua, sementara di sampingnya nampak seorang perempuan dengan kebaya warna merah muda bermotif bunga. Benar-benar sederhana, tapi mereka 'tua bersama' dan terbukti, tanpa nada tanpa kata-kata.
Mereka adalah pasangan Bapak Soemarno Sosroatmodjo beserta istri, Ibu Armistiani.
Saya teringat proyek mudik ke blog yang digagas oleh Irwan Bajang. Pas! Buku otobiografi Dr. H. Soemarno Sastroatmodjo yang berjudul Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya ini memiliki pengaruh pada beberapa hal di hidup saya. Baiklah, untuk #5BukuDalamHidupku di hari keempat, saya menulis ini saja.
Apa menariknya menulis otobiografi seseorang yang namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit di Kabupaten Kapuas - Kalimantan Tengah, dan diabadikan sebagai nama Jalan di kawasan Cakung Jakarta Timur ini? Seiring perkembangan dunia teknologi, mudah bagi kita mencari tahu tentang siapa beliau. Tapi santai saja, saya tidak hendak menuliskan panjang lebar semua isi buku setebal 462 halaman ini. Hanya berkisar pada kisah-kisah percintaan mereka berdua saja. Terdengar sangat ngepop. Tapi tidak apa-apalah, resiko ditanggung supir, hehe.
Ohya, sebelum saya lupa. Orang di balik layar yang membantu pengerjaan otobiografi Dr. H. Soemarno Sastroatmodjo adalah Sugiarta. Saya menemukan namanya di catatan Ajib Rosidi (Mengenang hidup orang lain: sejumlah obituari). Sedangkan dalam otobiografi itu sendiri tak saya temukan nama Sugiarta.
Pada Mulanya
Waktu itu menjelang September 1928, Soemarno muda masih berusia 17 tahun. Itu adalah awal kisah cinta seorang lelaki muda kelahiran Rambipuji, Jember, 24 April 1911, yang kelak akan mencicipi jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua periode, yaitu pada periode 1960 - 1964 dan periode 1965 - 1966.
Pada malam menjelang September 1928 tersebut, Soemarno menikmati malam api unggun bersama teman putrinya, seseorang yang akrab dipanggil Armis. Sepulangnya, Soemarno memberanikan diri bertanya pada Armis, apakah ia menaruh hati kepadanya, sebagaimana Soemarno menaruh hati kepada Armis. Di menit-menit kemudian, segalanya terlihat jauh lebih indah. Soemarno Sosroatmodjo dan Armistiani, sepasang insan yang terlebih dahulu mengukir sejarah, sebulan sebelum Hari Sumpah Pemuda.
Dalam Kebimbangan Ketika Hendak Melanjutkan Sekolah
Usai sudah malam api unggun yang dirayakan mereka berdua, bersama dengan rekan-rekan kepanduan Margo Upoyo (Malang). Saatnya Soemarno harus kembali memikirkan sekolah apa yang harus ia tempuh setamat dari MULO Tanjung (di Malang) yang dulu terletak di Wilhelmina Straat (Sekarang Jl. Dr. Cipto). Iya, ujian penghabisan MULO telah dilalui oleh Soemarno. Itu adalah ujian pertama yang diselenggarakan oleh Batavia. Sebelumnya, kelulusan siswa cukup dilihat dari nilai raport masing-masing sekolah. Sejak April 1928 ujian penghabisan (MULO) disamakan di seluruh Hindia Belanda, pada waktu dan hari yang sama pula. Mungkin embrio UN sekarang dimulai dari sini.
Sesungguhnya Soemarno muda ingin menjadi dokter, tapi STOVIA sudah ditutup tahun 1927. Adapun Ayah Soemarno (Manghoeroedin Sosroatmodjo) sebenarnya ingin putranya mengikuti jejaknya menjadi anggota korps Pangreh Praja. Sayang sekali, waktu itu rasa nasionalisme sudah berkembang dalam diri Soemarno. Tentu saja dia tidak tertarik untuk menjadi anggota korps Pangreh Praja, mengikuti trend nasionalisme di masanya.
Sebelumnya..
Masih lekat dalam ingatan Soemarno ketika dia tamat dari HIS (Hollands Inlandse School) Jember, ketika dia masih tinggal di rumah Bibinya di Wetan Kantor sejak kira-kira tahun 1918 hingga dia menyelesaikan studinya, antara 1924 - 1925. Ayahnya ingin Soemarno melanjutkan di OSVIA, Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pendidikan bagi Pegawai Bumiputera, di Probolinggo. Menurut anggapan politik saat itu, Pangreh Praja merupakan antek kekuasaan kolonial Belanda. Banyak anggota Binnenlands Bestuur (demikian sebutannya dalam Bahasa Belanda) tidak mau lagi berkecimpung dengan kalangannya.
Dalam kesempatan itu, Ayahanda Soemarno mengajak diskusi Pak Purbo dalam memikirkan kemana sebaiknya Soemarno melanjutkan sekolah. Pak Purbo adalah saudara sepupu Ayahanda Soemarno yang bekerja sebagai Komis SS, Staats Spoor, jawatan kereta api di jaman Hindia Belanda. Ia sangat lancar berbahasa Belanda karena lulusan Kweekschool sehingga sering dimintai pertimbangan dan pendapat di lingkungan keluarga, terlebih mengenai dunia pendidikan.
Hasilnya tetap sama, Soemarno disarankan untuk melanjutkan di OSVIA. Soemarno masih sangat belia, baru tamat HIS. Tentunya itu bukan merupakan sebuah persoalan baginya. Diapun berusaha hendak mengikuti ujian masuk OSVIA. Namun nasib berkata lain. Ternyata sejak tahun itu OSVIA tidak menerima murid dari HIS lagi, karena sudah dirubah menjadi MOSVIBA, Middlebare Opleidings School voor Inlandsche Bestuurs Ambtenaren. Jadi yang diterima sebagai siswa ialah lulusan MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah dasar yang lebih luas.
Masa pendidikan di MULO bagi lulusan HIS ialah selama empat tahun, tapi buat lulusan ELS hanya tiga tahun karena tidak perlu duduk di Voorklas dulu. Memang ada kesempatan buat sekolah-sekolah tertentu untuk menempuh ujian memasuki MULO langsung ke kelas satu.
Tak ada jalan lain bagi Soemarno untuk berusaha mendapatkan tempat di MULO, di Malang atau Surabaya. Pilihan kemudian jatuh pada MULO tanjung di Malang.
Lalu, setelah akhirnya Soemarno berhasil menamatkan pendidikannya di MULO, apakah rencana akan tetap sama? Apakah OSVIA (berubah nama menjadi MOSVIBA) menjadi satu-satunya pilihan agar dia bisa menjadi anggota korps Pangreh Praja? Tidak, rencana berubah. Soemarno semakin bertumbuh. Pertumbuhannya juga dibarengi dengan perkembangan negeri ini oleh sebab adanya proses menuju Sumpah Pemuda 1928. Kali ini berbeda, MOSVIBA bukan satu-satunya pandangan yang ada di kepala Soemarno. Atau mungkin, dia sudah sama sekali tidak memikirkannya.
Namun begitu, ada saja teman Soemarno yang berencana hendak melanjutkan ke MOSVIBA, yang lazim disebut sebagai sekolah Candidaat, yang dalam pandangan masyarakat dianggap tinggi, lebih tinggi daripada Middelbare landbouw School (Sekolah Pertanian Menengah) dan Middelbare Technische School (Sekolah Teknik Menengah Atas). Konon MOSVIBA juga dianggap lebih terpandang daripada HKS, Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas).
MOSVIBA menjadi tujuan favorit bagi orang tua para siswa yang de doorsnee priyayi.
Waktu itu di Hindia Belanda hanya terdapat tiga buah sekolah tinggi: Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia, Medische Hooge School (Sekolah Tinggi Kedokteran) juga di Batavia, dan Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Bagi orang pribumi ketiga sekolah tinggi ini biayanya terlalu mahal, masa pendidikannya pun terlalu lama. Sebab bagi siswa lulusan MULO terlebih dahulu harus ke AMS. Baru kemudian jika beruntung bisa diterima di salah satu perguruan tinggi tersebut.
Dalam kebimbangannya, Soemarno terus menimbang-nimbang hendak kemanakah ia melanjutkan studinya. Pertimbangannya sangat lama dan berbelit-belit, namun saya suka menikmati alurnya. Itulah kenapa saya menuliskannya kembali dengan bahasan yang cukup panjang untuk catatan dalam blog.
Pada akhirnya, Soemarno memilih untuk melanjutkan studinya di NIAS (Sekolah Dokter Hindia Belanda) yang bertempat di Surabaya. Segera dia menemui Administratur NIAS, mengisi beberapa formulir, juga menandatangani formulir yang isinya mengenai ikatan dinas. Formulir ini kelak membuatnya mendapat tunjangan F 57,50,- sebulan. Ini jauh lebih banyak dibanding dengan uang saku yang diterimanya di MULO yang hanya F 10,-. Tapi ada satu syarat yang harus dipenuhi Soemarno. Dia harus tinggal pada keluarga Belanda yang ditunjuk oleh NIAS. Dan itu tidak gratis. Uang pondokannya sebulan adalah F 40,- Itu artinya, uang bulanan Soemarno tinggal F 15,- padahal dia harus hidup di Surabaya. Bukan sesuatu yang mudah untuk bertahan hidup. Apalagi jika harus dihitung dengan iuran Niasclub, Indonesia Muda, KBI dan Schermclub atau perkumpulan anggar. Duh!
Tamasya Bersama Armis
Hari pertama Soemarno duduk di sekolah NIAS adalah pada 1 Agustus 1929. Menurut Akte van Bekendheid usia Soemarno 18 tahun. Soemarno memanfaatkan waktu sebelum 1 Agustus 1929 untuk mengunjungi Armis. Dengan naik kereta api Surabaya - Malang, Soemarno meluncur ke kediaman teman putrinya (dulu masih belum ada istilah pacar).
Selama di perjalanan, ingatan Soemarno melayang ke masa silam. Masa dimana untuk pertama kalinya dia berkenalan dengan Armis. Waktu itu Soemarno duduk di kelas dua MULO, sedang Armis masih duduk di kelas tertinggi Sekolah Kartini - Malang. Yang Soemarno kenang akan Armis adalah ketika dia melihatnya bermain bola tangan di halaman sekolah. Armis tetap bermain meskipun hujan turun dengan derasnya.
Suatu hari, tiba-tiba saja Armis muncul di kelas satu MULO tanpa melalui voorklas. Dari sinilah benih-benih perkenalan bermula.
Kereta api tiba di stasiun Malang, Soemarno segera meluncur ke rumah Armis. Sesampainya di sana, Soemarno mendapat sambutan hangat. Ayahanda Armis melempar sebuah pertanyaan, berapa lama pendidikan Soemarno di Surabaya? Soemarno menjawab tujuh tahun, meskipun dalam kontrak dia terikat untuk delapan tahun.
Alangkah senangnya hati Soemarno manakala dia mendapat ijin untuk mengajak Armis jalan-jalan ke Jatibanteng, Besuki. Beberapa hari kemudian, setelah mendapat uang kiriman dari Besuki, berangkatlah Soemarno dan Armis ke Jatibanteng.
"Ini seperti impianku," pekik Armis. Lalu dia menceritakan impiannya tentang jalan yang kadang berkelok, naik dan turun bukit, sementara di sebelah kanan Gunung Argopuro menjulang tinggi dengan lereng-lerengnya yang hijau dan landai, sementara di sebelah kirinya adalah lautan membiru.
Terbuai oleh mimpi-mimpi yang dikisahkan oleh Armis, membawa Soemarno turut larut oleh kenangan masa silam, ketika dia masih bocah.
Kembali ke Masa Kecil
Soemarno lahir di Curahsuko (Rambipuji - Jember) pada 24 April 1911 di rumah Kakek (RP Pringgoseputro) yang bekerja sebagai pembantu opziener (pengawas) gudang tembakau Curahsuko, sebuah perkebunan tembakau di luar Kota Rambipuji. Untuk bepergian ke Curahsuko terlebih dahulu harus menyeberangi sungai dengan perahu. Jembatan tidak ada. Bila ke rumah Kakek Soemarno, harus berjalan pula melalui semak-semak dan naungan pepohonan. Rumah itu terbuat dari bilik, tapi bersih dan halamannya rindang. Soemarno senang sekali jika diajak Kakeknya ke gudang tembakau dan gudang penganginan yang terbuat dari bambu dan beratap alang-alang. Sebaliknya, Soemarno tidak suka jika diajak ke gudang pengeringan tembakau yang beratap seng. Panas hawanya dan aroma tembakau terlalu keras. Di gudang seng Soemarno tidak dapat berlari-larian seperti di gudang bambu, tempat banyak bibi-bibinya bekerja, yang semuanya bersikap ramah terhadap Soemarno.
Di tengah lingkungan semacam itulah Soemarno dilahirkan.
Kadang, di keheningan malam Soemarno bertanya pada dirinya sendiri, "Bagaimanakah sesungguhnya wajah Ibu kandungku? cantikkah dia?" Lebih mudah bagi Soemarno mengingat wajah Nenek daripada Ibu, karena Nenek-lah yang lebih lama mengasuh Soemarno. Jika Soemarno mencoba mengingat Ibu, yang terbayang hanyalah punggungnya dan kesibukannya. Wajahnya tak pernah dapat Soemarno bayangkan. Fotonya tak ada. Sebuah kenangan yang masih dapat terbayang ialah tatkala Soemarno hendak diserang oleh induk ayam. Ibu yang sedang disisir rambutnya, entah oleh siapa wanita yang menyisirnya, menghalau induk ayam itu dengan galah. Peristiwa lain yang masih terkenang ialah tatkala Ibu menyuruh pembantu membeli telur di warung seberang jalan. Soemarno ikut pembantu itu. Sebuah telur Soemarno bawa. Terasa telur itu hangat di tangan, rupanya baru saja ditelurkan. Iseng-iseng diciumnya telur itu. Soemarno muntah seketika itu juga, dan masih muntah lagi entah berapa kali. Lama sejak itu Soemarno tak suka makan telur.
Manghoeroedin Sosroatmodjo, Ayahanda Soemarno, tidak bisa menggambarkan secara detai bagaimana perwajahan dari Ibu kandung Soemarno, sebab Ibunda meninggal dunia pada 29 Desember 1914, ketika melahirkan adik (kembar) ketiga Soemarno. Ketika itu Soemarno masih berusia kurang dari 4 tahun. Sakit panas tinggi yang tak kunjung turun itulah yang menyebabkan Ibu kandung Soemarno meninggal. Kemungkinan karena infeksi kandungan.
Konon, sejak Soemarno masuk sekolah, Ayahnya membawa ibu baru ke rumah. Ibu tiri, kata orang. Tapi Soemarno menyebutnya sebagai ibu yang sejati.
Armis mengguncang bahu Soemarno. Ah, rupanya Soemarno terlalu lama larut dalam masa lalu. Tapi ini belum selesai. Beberapa detik kemudian, Armis menodong Soemarno untuk menceritakan kisah masa kecilnya.
Soemarno Berkisah Tentang Karier Ayahnya
Pangkat Asisten Wedana adalah pangkat tertinggi dalam karier Ayahanda(Manghoeroedin Sosroatmodjo). Beliau mengawali kariernya dimulai dari magang di kawedanan Rambipuji. Nah, dari sinilah rupanya Ayah mengenal Ibu. Selesai magang di kawedanan Rambipuji, Ayahanda menjadi adjunct sipir di Gurahmalang, kemudian di Kasiyan Lor. Adjunct sipir adalah sipir pembantu. Adapun sipir penjaranya adalah seorang Belanda. Waktu menjabat sebagai sipir pembantu, Ayahanda berumah di Kasiyan Lor, di depan rumah penjara.
Sepeninggal Ibu, Ayahanda tak lagi kerasan tinggal di Kasiyan Lor. Beliau mengusahakan untuk bisa dipindahkan ke Jember, bahkan rela turun jabatan. Dengan begitu, beliau juga bisa menyekolahkan Soemarno kecil di Jember.
Karena Ayahanda dianggap mumpuni ketika menjabat sebagai sipir pembantu, keinginan beliau dikabulkan, bahkan dengan tidak diturunkan jabatannya. Akhirnya, beliau diangkat menjadi Asisten Wedana di Silo, Distrik Mayang.
Tugas Asisten Wedana waktu itu banyak berhubungan dengan soal-soal ekonomi. Dimana-mana dibangun gudang beras yang baru, dan petani-petani berdatangan hendak menjual padi. Ayahanda sangat disibukkan dengan tugas barunya. Sesuatu yang patut diacungi jempol. Beliau selalu tampil prima, bahkan meskipun menderita penyakit asma.
Ayahanda bertugas di Silo selama sekitar dua tahun lebih. Saat itu, Perang Dunia I masih sedang berkecamuk.
Lagi-lagi, karena dianggap mumpuni dengan jabatannya sebagai Asisten Wedana di Silo, akhirnya beliau dipindahkan ke wilayah yang lebih luas dan makmur, yaitu di Ambulu.
Rupanya, jabatan tertinggi sebagai Asisten Wedana di Ambulu merupakan yang terakhir bagi Ayahanda, sebelum akhirnya beliau tersandung oleh satu cobaan (fitnah oleh pihak Belanda), lalu jabatannya diturunkan secara drastis. Tidak sampai tiga bulan kemudian Ayah dipindahkan ke Sumbermalang (Jatibanteng), di Lereng Gunung Argopuro.
Begitulah, akhirnya beliau dipindahkan ke daerah terpencil, hingga derajatnya turun drastis. Hanya dengan naik kuda, baru kita bisa mencapai daerah Sumbermalang. Apalagi mobil, dokar pun tak sanggup naik ke sana. Dapat dibayangkan betapa terpencilnya wilayah kerja beliau di Sumbermalang.
Setelahnya, beliau pensiun dan tinggal di Wetan Kantor - Jember, di rumah milik sendiri. Rumah itu mulai dibuat sewaktu menjadi Mantri Polisi. Di sinilah beliau menutup mata dan dikebumikan, pada Agustus 1938. Namun sebenarnya beliau tidak benar-benar pensiun. Sebab pada 1933 beliau masih tercatat memiliki aktivitas di Onderdistrik Panji (Situbondo) sebagai Asisten Wedana.
Rambipuji, Kasiyan Lor, Silo, Ambulu, Wetan Kantor, di sanalah kenangan masa kecil Soemarno berceceran. Soemarno bisa menceritakan cukup rinci tentang tempat - tempat itu di akhir era 1910-an dan erak 1920-an.
Lalu Mereka Menikah
Di Sekolah Dokter Hindia Belanda (NIAS) terdapat peraturan yang melarang beristri bagi para siswa yang menerima beasiswa. Itu artinya Soemarno tidak boleh menikah. Tidak ada cara lain selain menikah diam-diam. Dan benar, dengan segala resiko yang ada, pada akhirnya Soemarno dan Armistiani melakukannya. Namun, mereka tidak secara bulat-bulat menikah diam-diam. Dengan segala keberaniannya, Soemarno menemui Direktur NIAS untuk menyatakan niat hendak kawin setelah naik ke tingkat enam. Soemarno tidak minta ijin, melainkan memberitahukan saja. Soemarno mengatakan kepada Direktur NIAS bahwa tidaklah patut dan jujur terhadap istri jika Soemarno menikahinya secara sembunyi-sembunyi.
Alhasil, happy ending bagi pasangan Soemarno - Armis. Direktur NIAS membolehkan mereka melaksanakan perkawinan. Sejak saat itu larangan kawin di NIAS tidak terlalu ketat lagi.
Mereka melangsungkan upacara pernikahan di Malang, sangat sederhana. Tentu saja sangat sederhana, karena selain Soemarno masih belajar, Ayahnya baru saja pensiun, bahkan belum menerima uang pensiun dan belum tahu berapa besar jumlah pensiunannya. Rupanya pada jaman kolonial lama juga menunggu keluarnya pensiun.
Seminggu kemudian mereka meluncur ke Jember, untuk menyelenggarakan upacara pernikahan sekedarnya. Sederhana yang alangkah indahnya.
Hari-hari selanjutnya..
Tahun 1935 Soemarno duduk di tingkat enam NIAS dan mulai berkecimpung di klinik. Satu tahun berikutnya, tepatnya pada 18 Januari 1936, pasangan ini dikaruniai anak yang pertama. Laki-laki. Namanya Sidharta Manghoeroedin. Nantinya si sulung ini akrab dipanggil Mamang. Di tahun 1937, Mamang kecil tinggal di Wetan Kantor - Jember, sebab saat itu Soemarno sibuk menjadi co-assistent di bidang kesehatan.
Suatu pagi di akhir bulan Maret 1938, ada sebuah kabar gembira. Soemarno dinyatakan lulus sebagai dokter. Ijasahnya keluar pada 2 April 1938. Seharusnya 1 April 1938. Namun ada satu hal lucu. Kata orang di masa itu, 1 April merupakan hari raya bagi orang-orang yang suka iseng membohongi masyarakat. Ini kebiasaan orang dan pers Belanda maupun Barat untuk menyiarkan berita bohong pada tanggal itu, tanpa khawatir akan terkena tuntutan.
Itulah kenapa ijasah Soemarno dikeluarkan pada 2 April 1938. Pimpinan NIAS khawatir kalau-kalau ijasah Soemarno disangka orang sebagai ijasah palsu.
Soemarno tidak terlalu memikirkan itu. Hatinya masih diletupi oleh perasaan bahagia. Tak lama kemudian Soemarno sekeluarga bersegera meluncur ke Jember. Dia menyempatkan diri untuk sungkem ke Ayahanda, sanak saudara, berziarah ke makam Ibu di Kasiyan Lor, dan makam keluarga di Tegal Bedadung dan Tembakan. Di pemakaman inilah dikuburkan makam leluhur Soemarno - para canggah, buyut dan eyang yang belum pernah Soemarno kenal.
Empat bulan kemudian Ayahanda Soemarno meninggal dunia. Sungguh sedih hati Soemarno, sebab saat itu dia sekeluarga sudah berada di Tanjung Selor, Kalimantan. Dia mengabdikan diri sebagai Dokter di sana.
Soemarno menuliskan kisah yang panjang selama dirinya sekeluarga berada di sana. Berlembar-lembar kisah. Cerita hidup paling menarik adalah ketika istri Soemarno hamil anak kedua, mereka berdua sepakat bahwa proses kelahirannya nanti akan Soemarno atasi sendiri. Benar juga, pada akhirnya Soemarno melaksanakan kata-kata itu. Lahirlah anak kedua mereka di Tanjung Selor. Perempuan. Mereka memberinya nama yang cantik, Sri Soesilorini. Kelak, perempuan mungil yang akrab dipanggil Niniek ini menjelma menjadi pelopor Ketahanan Pangan Nasional. Niniek sempat menjadi anggota Badan Pengawas Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (BPO HKTI) periode 2004-2009. Dia dikenal dengan nama Ir. Hj. Sri Soesilo Rini Soerojo Soemarno.
Pada akhirnya nanti, pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak, juga cucu-cucu yang banyak. Mereka berdua, Soemarno Sosroatmodjo dan Armistiani, telah melewati begitu banyak jaman. Dimulai dari masa Hindia Belanda, masuknya Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, masa-masa revolusi, hingga cerita lain yang ditorehkan oleh Partai Komunis Indonesia. Soemarno hadir di sana, dengan seluruh doa dan cinta Armistiani yang selalu setia menyertainya.
Sedikit Lagi
Sebenarnya otobiografi Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo ini lebih banyak mengulas masalah politik, tentang bagaimana prosesnya selama menjadi dokter dan di ketentaraan, ketegangan di masa revolusi hingga paska Gerakan 30 September PKI, perjumpaannya dengan orang-orang penting di negeri ini, juga tentang sepak terjangnya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tapi saya menemukan sisi lain. Tentang masa kecil Soemarno, bagaimana dia masuk sekolah dengan syarat menjulurkan jari tangan kanan di atas kepala untuk meraih telinga kiri, tentang tahapan sekolah itu sendiri, hari-harinya sebagai manusia biasa, dan tentang betapa kuat dan tak terlihatnya sosok Armistiani dalam menemani hari-hari Soemarno.
Dr. H Soemarno Sosroatmodjo menikmati masa pensiunnya sejak bulan November 1966, satu bulan sebelum kelahiran cucunya yang bernama Bimo Setiawan Al Machzumi (cucu dari putra sulungnya, Mamang, dengan istrinya yang bernama Iffet Veceha). Lelaki dengan istri yang hebat ini meninggal di Jakarta, pada 9 Januari 1991, di usianya yang ke 79 tahun.
Terlepas dari pandangan politik tentang Soemarno yang entah saya sendiri tidak mengerti, saya suka dengan cara Soemarno menuturkan hidupnya. Juga kepada Sugiarta yang telah berhasil memberi sentuhan 'manusia biasa' pada sosok Soemarno. Satu lagi. Di sini karakter Armistiani sangat miskin. Tapi saya rasa dia memang perempuan yang tangguh.
Sudah, saya mau nyruput kopi buatan istri dulu.
Aku hanya ingin kita, tinggal di desa dan tua bersama..Penggalan lirik lagu (yang hingga kini enggan saya record) tersebut cukuplah membuat hati kami terhibur. Wajah istri saya nampak sumringah. Dia seperti tidak takut lagi pada potensi gerimis yang kapan saja bisa menjelma menjadi hujan yang lebat. Itu artinya, kami harus bersegera menyiapkan tadahan di beberapa sudut rumah yang bocor.
Sekecil apapun rumah kita, aku jadikan seluas cinta.
Saat lagi enak-enaknya memetik gitar itulah, tiba-tiba pandangan saya tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di atas karpet warna merah. Buku sederhana, dengan sampul yang juga sederhana. Dalam sampul itu hanya ada foto seorang laki-laki berkopiah hitam yang sudah menua, sementara di sampingnya nampak seorang perempuan dengan kebaya warna merah muda bermotif bunga. Benar-benar sederhana, tapi mereka 'tua bersama' dan terbukti, tanpa nada tanpa kata-kata.
Mereka adalah pasangan Bapak Soemarno Sosroatmodjo beserta istri, Ibu Armistiani.
Saya teringat proyek mudik ke blog yang digagas oleh Irwan Bajang. Pas! Buku otobiografi Dr. H. Soemarno Sastroatmodjo yang berjudul Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya ini memiliki pengaruh pada beberapa hal di hidup saya. Baiklah, untuk #5BukuDalamHidupku di hari keempat, saya menulis ini saja.
Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya
Apa menariknya menulis otobiografi seseorang yang namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit di Kabupaten Kapuas - Kalimantan Tengah, dan diabadikan sebagai nama Jalan di kawasan Cakung Jakarta Timur ini? Seiring perkembangan dunia teknologi, mudah bagi kita mencari tahu tentang siapa beliau. Tapi santai saja, saya tidak hendak menuliskan panjang lebar semua isi buku setebal 462 halaman ini. Hanya berkisar pada kisah-kisah percintaan mereka berdua saja. Terdengar sangat ngepop. Tapi tidak apa-apalah, resiko ditanggung supir, hehe.
Ohya, sebelum saya lupa. Orang di balik layar yang membantu pengerjaan otobiografi Dr. H. Soemarno Sastroatmodjo adalah Sugiarta. Saya menemukan namanya di catatan Ajib Rosidi (Mengenang hidup orang lain: sejumlah obituari). Sedangkan dalam otobiografi itu sendiri tak saya temukan nama Sugiarta.
Pada Mulanya
Waktu itu menjelang September 1928, Soemarno muda masih berusia 17 tahun. Itu adalah awal kisah cinta seorang lelaki muda kelahiran Rambipuji, Jember, 24 April 1911, yang kelak akan mencicipi jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua periode, yaitu pada periode 1960 - 1964 dan periode 1965 - 1966.
Pada malam menjelang September 1928 tersebut, Soemarno menikmati malam api unggun bersama teman putrinya, seseorang yang akrab dipanggil Armis. Sepulangnya, Soemarno memberanikan diri bertanya pada Armis, apakah ia menaruh hati kepadanya, sebagaimana Soemarno menaruh hati kepada Armis. Di menit-menit kemudian, segalanya terlihat jauh lebih indah. Soemarno Sosroatmodjo dan Armistiani, sepasang insan yang terlebih dahulu mengukir sejarah, sebulan sebelum Hari Sumpah Pemuda.
Dalam Kebimbangan Ketika Hendak Melanjutkan Sekolah
Usai sudah malam api unggun yang dirayakan mereka berdua, bersama dengan rekan-rekan kepanduan Margo Upoyo (Malang). Saatnya Soemarno harus kembali memikirkan sekolah apa yang harus ia tempuh setamat dari MULO Tanjung (di Malang) yang dulu terletak di Wilhelmina Straat (Sekarang Jl. Dr. Cipto). Iya, ujian penghabisan MULO telah dilalui oleh Soemarno. Itu adalah ujian pertama yang diselenggarakan oleh Batavia. Sebelumnya, kelulusan siswa cukup dilihat dari nilai raport masing-masing sekolah. Sejak April 1928 ujian penghabisan (MULO) disamakan di seluruh Hindia Belanda, pada waktu dan hari yang sama pula. Mungkin embrio UN sekarang dimulai dari sini.
Sesungguhnya Soemarno muda ingin menjadi dokter, tapi STOVIA sudah ditutup tahun 1927. Adapun Ayah Soemarno (Manghoeroedin Sosroatmodjo) sebenarnya ingin putranya mengikuti jejaknya menjadi anggota korps Pangreh Praja. Sayang sekali, waktu itu rasa nasionalisme sudah berkembang dalam diri Soemarno. Tentu saja dia tidak tertarik untuk menjadi anggota korps Pangreh Praja, mengikuti trend nasionalisme di masanya.
Sebelumnya..
Masih lekat dalam ingatan Soemarno ketika dia tamat dari HIS (Hollands Inlandse School) Jember, ketika dia masih tinggal di rumah Bibinya di Wetan Kantor sejak kira-kira tahun 1918 hingga dia menyelesaikan studinya, antara 1924 - 1925. Ayahnya ingin Soemarno melanjutkan di OSVIA, Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pendidikan bagi Pegawai Bumiputera, di Probolinggo. Menurut anggapan politik saat itu, Pangreh Praja merupakan antek kekuasaan kolonial Belanda. Banyak anggota Binnenlands Bestuur (demikian sebutannya dalam Bahasa Belanda) tidak mau lagi berkecimpung dengan kalangannya.
Dalam kesempatan itu, Ayahanda Soemarno mengajak diskusi Pak Purbo dalam memikirkan kemana sebaiknya Soemarno melanjutkan sekolah. Pak Purbo adalah saudara sepupu Ayahanda Soemarno yang bekerja sebagai Komis SS, Staats Spoor, jawatan kereta api di jaman Hindia Belanda. Ia sangat lancar berbahasa Belanda karena lulusan Kweekschool sehingga sering dimintai pertimbangan dan pendapat di lingkungan keluarga, terlebih mengenai dunia pendidikan.
Hasilnya tetap sama, Soemarno disarankan untuk melanjutkan di OSVIA. Soemarno masih sangat belia, baru tamat HIS. Tentunya itu bukan merupakan sebuah persoalan baginya. Diapun berusaha hendak mengikuti ujian masuk OSVIA. Namun nasib berkata lain. Ternyata sejak tahun itu OSVIA tidak menerima murid dari HIS lagi, karena sudah dirubah menjadi MOSVIBA, Middlebare Opleidings School voor Inlandsche Bestuurs Ambtenaren. Jadi yang diterima sebagai siswa ialah lulusan MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah dasar yang lebih luas.
Masa pendidikan di MULO bagi lulusan HIS ialah selama empat tahun, tapi buat lulusan ELS hanya tiga tahun karena tidak perlu duduk di Voorklas dulu. Memang ada kesempatan buat sekolah-sekolah tertentu untuk menempuh ujian memasuki MULO langsung ke kelas satu.
Tak ada jalan lain bagi Soemarno untuk berusaha mendapatkan tempat di MULO, di Malang atau Surabaya. Pilihan kemudian jatuh pada MULO tanjung di Malang.
Lalu, setelah akhirnya Soemarno berhasil menamatkan pendidikannya di MULO, apakah rencana akan tetap sama? Apakah OSVIA (berubah nama menjadi MOSVIBA) menjadi satu-satunya pilihan agar dia bisa menjadi anggota korps Pangreh Praja? Tidak, rencana berubah. Soemarno semakin bertumbuh. Pertumbuhannya juga dibarengi dengan perkembangan negeri ini oleh sebab adanya proses menuju Sumpah Pemuda 1928. Kali ini berbeda, MOSVIBA bukan satu-satunya pandangan yang ada di kepala Soemarno. Atau mungkin, dia sudah sama sekali tidak memikirkannya.
Namun begitu, ada saja teman Soemarno yang berencana hendak melanjutkan ke MOSVIBA, yang lazim disebut sebagai sekolah Candidaat, yang dalam pandangan masyarakat dianggap tinggi, lebih tinggi daripada Middelbare landbouw School (Sekolah Pertanian Menengah) dan Middelbare Technische School (Sekolah Teknik Menengah Atas). Konon MOSVIBA juga dianggap lebih terpandang daripada HKS, Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas).
MOSVIBA menjadi tujuan favorit bagi orang tua para siswa yang de doorsnee priyayi.
Waktu itu di Hindia Belanda hanya terdapat tiga buah sekolah tinggi: Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia, Medische Hooge School (Sekolah Tinggi Kedokteran) juga di Batavia, dan Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Bagi orang pribumi ketiga sekolah tinggi ini biayanya terlalu mahal, masa pendidikannya pun terlalu lama. Sebab bagi siswa lulusan MULO terlebih dahulu harus ke AMS. Baru kemudian jika beruntung bisa diterima di salah satu perguruan tinggi tersebut.
Dalam kebimbangannya, Soemarno terus menimbang-nimbang hendak kemanakah ia melanjutkan studinya. Pertimbangannya sangat lama dan berbelit-belit, namun saya suka menikmati alurnya. Itulah kenapa saya menuliskannya kembali dengan bahasan yang cukup panjang untuk catatan dalam blog.
Pada akhirnya, Soemarno memilih untuk melanjutkan studinya di NIAS (Sekolah Dokter Hindia Belanda) yang bertempat di Surabaya. Segera dia menemui Administratur NIAS, mengisi beberapa formulir, juga menandatangani formulir yang isinya mengenai ikatan dinas. Formulir ini kelak membuatnya mendapat tunjangan F 57,50,- sebulan. Ini jauh lebih banyak dibanding dengan uang saku yang diterimanya di MULO yang hanya F 10,-. Tapi ada satu syarat yang harus dipenuhi Soemarno. Dia harus tinggal pada keluarga Belanda yang ditunjuk oleh NIAS. Dan itu tidak gratis. Uang pondokannya sebulan adalah F 40,- Itu artinya, uang bulanan Soemarno tinggal F 15,- padahal dia harus hidup di Surabaya. Bukan sesuatu yang mudah untuk bertahan hidup. Apalagi jika harus dihitung dengan iuran Niasclub, Indonesia Muda, KBI dan Schermclub atau perkumpulan anggar. Duh!
Tamasya Bersama Armis
Hari pertama Soemarno duduk di sekolah NIAS adalah pada 1 Agustus 1929. Menurut Akte van Bekendheid usia Soemarno 18 tahun. Soemarno memanfaatkan waktu sebelum 1 Agustus 1929 untuk mengunjungi Armis. Dengan naik kereta api Surabaya - Malang, Soemarno meluncur ke kediaman teman putrinya (dulu masih belum ada istilah pacar).
Selama di perjalanan, ingatan Soemarno melayang ke masa silam. Masa dimana untuk pertama kalinya dia berkenalan dengan Armis. Waktu itu Soemarno duduk di kelas dua MULO, sedang Armis masih duduk di kelas tertinggi Sekolah Kartini - Malang. Yang Soemarno kenang akan Armis adalah ketika dia melihatnya bermain bola tangan di halaman sekolah. Armis tetap bermain meskipun hujan turun dengan derasnya.
Suatu hari, tiba-tiba saja Armis muncul di kelas satu MULO tanpa melalui voorklas. Dari sinilah benih-benih perkenalan bermula.
Kereta api tiba di stasiun Malang, Soemarno segera meluncur ke rumah Armis. Sesampainya di sana, Soemarno mendapat sambutan hangat. Ayahanda Armis melempar sebuah pertanyaan, berapa lama pendidikan Soemarno di Surabaya? Soemarno menjawab tujuh tahun, meskipun dalam kontrak dia terikat untuk delapan tahun.
Alangkah senangnya hati Soemarno manakala dia mendapat ijin untuk mengajak Armis jalan-jalan ke Jatibanteng, Besuki. Beberapa hari kemudian, setelah mendapat uang kiriman dari Besuki, berangkatlah Soemarno dan Armis ke Jatibanteng.
"Ini seperti impianku," pekik Armis. Lalu dia menceritakan impiannya tentang jalan yang kadang berkelok, naik dan turun bukit, sementara di sebelah kanan Gunung Argopuro menjulang tinggi dengan lereng-lerengnya yang hijau dan landai, sementara di sebelah kirinya adalah lautan membiru.
Terbuai oleh mimpi-mimpi yang dikisahkan oleh Armis, membawa Soemarno turut larut oleh kenangan masa silam, ketika dia masih bocah.
Kembali ke Masa Kecil
Soemarno lahir di Curahsuko (Rambipuji - Jember) pada 24 April 1911 di rumah Kakek (RP Pringgoseputro) yang bekerja sebagai pembantu opziener (pengawas) gudang tembakau Curahsuko, sebuah perkebunan tembakau di luar Kota Rambipuji. Untuk bepergian ke Curahsuko terlebih dahulu harus menyeberangi sungai dengan perahu. Jembatan tidak ada. Bila ke rumah Kakek Soemarno, harus berjalan pula melalui semak-semak dan naungan pepohonan. Rumah itu terbuat dari bilik, tapi bersih dan halamannya rindang. Soemarno senang sekali jika diajak Kakeknya ke gudang tembakau dan gudang penganginan yang terbuat dari bambu dan beratap alang-alang. Sebaliknya, Soemarno tidak suka jika diajak ke gudang pengeringan tembakau yang beratap seng. Panas hawanya dan aroma tembakau terlalu keras. Di gudang seng Soemarno tidak dapat berlari-larian seperti di gudang bambu, tempat banyak bibi-bibinya bekerja, yang semuanya bersikap ramah terhadap Soemarno.
Di tengah lingkungan semacam itulah Soemarno dilahirkan.
Kadang, di keheningan malam Soemarno bertanya pada dirinya sendiri, "Bagaimanakah sesungguhnya wajah Ibu kandungku? cantikkah dia?" Lebih mudah bagi Soemarno mengingat wajah Nenek daripada Ibu, karena Nenek-lah yang lebih lama mengasuh Soemarno. Jika Soemarno mencoba mengingat Ibu, yang terbayang hanyalah punggungnya dan kesibukannya. Wajahnya tak pernah dapat Soemarno bayangkan. Fotonya tak ada. Sebuah kenangan yang masih dapat terbayang ialah tatkala Soemarno hendak diserang oleh induk ayam. Ibu yang sedang disisir rambutnya, entah oleh siapa wanita yang menyisirnya, menghalau induk ayam itu dengan galah. Peristiwa lain yang masih terkenang ialah tatkala Ibu menyuruh pembantu membeli telur di warung seberang jalan. Soemarno ikut pembantu itu. Sebuah telur Soemarno bawa. Terasa telur itu hangat di tangan, rupanya baru saja ditelurkan. Iseng-iseng diciumnya telur itu. Soemarno muntah seketika itu juga, dan masih muntah lagi entah berapa kali. Lama sejak itu Soemarno tak suka makan telur.
Manghoeroedin Sosroatmodjo, Ayahanda Soemarno, tidak bisa menggambarkan secara detai bagaimana perwajahan dari Ibu kandung Soemarno, sebab Ibunda meninggal dunia pada 29 Desember 1914, ketika melahirkan adik (kembar) ketiga Soemarno. Ketika itu Soemarno masih berusia kurang dari 4 tahun. Sakit panas tinggi yang tak kunjung turun itulah yang menyebabkan Ibu kandung Soemarno meninggal. Kemungkinan karena infeksi kandungan.
Konon, sejak Soemarno masuk sekolah, Ayahnya membawa ibu baru ke rumah. Ibu tiri, kata orang. Tapi Soemarno menyebutnya sebagai ibu yang sejati.
Armis mengguncang bahu Soemarno. Ah, rupanya Soemarno terlalu lama larut dalam masa lalu. Tapi ini belum selesai. Beberapa detik kemudian, Armis menodong Soemarno untuk menceritakan kisah masa kecilnya.
Soemarno Berkisah Tentang Karier Ayahnya
Pangkat Asisten Wedana adalah pangkat tertinggi dalam karier Ayahanda(Manghoeroedin Sosroatmodjo). Beliau mengawali kariernya dimulai dari magang di kawedanan Rambipuji. Nah, dari sinilah rupanya Ayah mengenal Ibu. Selesai magang di kawedanan Rambipuji, Ayahanda menjadi adjunct sipir di Gurahmalang, kemudian di Kasiyan Lor. Adjunct sipir adalah sipir pembantu. Adapun sipir penjaranya adalah seorang Belanda. Waktu menjabat sebagai sipir pembantu, Ayahanda berumah di Kasiyan Lor, di depan rumah penjara.
Sepeninggal Ibu, Ayahanda tak lagi kerasan tinggal di Kasiyan Lor. Beliau mengusahakan untuk bisa dipindahkan ke Jember, bahkan rela turun jabatan. Dengan begitu, beliau juga bisa menyekolahkan Soemarno kecil di Jember.
Karena Ayahanda dianggap mumpuni ketika menjabat sebagai sipir pembantu, keinginan beliau dikabulkan, bahkan dengan tidak diturunkan jabatannya. Akhirnya, beliau diangkat menjadi Asisten Wedana di Silo, Distrik Mayang.
Tugas Asisten Wedana waktu itu banyak berhubungan dengan soal-soal ekonomi. Dimana-mana dibangun gudang beras yang baru, dan petani-petani berdatangan hendak menjual padi. Ayahanda sangat disibukkan dengan tugas barunya. Sesuatu yang patut diacungi jempol. Beliau selalu tampil prima, bahkan meskipun menderita penyakit asma.
Ayahanda bertugas di Silo selama sekitar dua tahun lebih. Saat itu, Perang Dunia I masih sedang berkecamuk.
Lagi-lagi, karena dianggap mumpuni dengan jabatannya sebagai Asisten Wedana di Silo, akhirnya beliau dipindahkan ke wilayah yang lebih luas dan makmur, yaitu di Ambulu.
Rupanya, jabatan tertinggi sebagai Asisten Wedana di Ambulu merupakan yang terakhir bagi Ayahanda, sebelum akhirnya beliau tersandung oleh satu cobaan (fitnah oleh pihak Belanda), lalu jabatannya diturunkan secara drastis. Tidak sampai tiga bulan kemudian Ayah dipindahkan ke Sumbermalang (Jatibanteng), di Lereng Gunung Argopuro.
Begitulah, akhirnya beliau dipindahkan ke daerah terpencil, hingga derajatnya turun drastis. Hanya dengan naik kuda, baru kita bisa mencapai daerah Sumbermalang. Apalagi mobil, dokar pun tak sanggup naik ke sana. Dapat dibayangkan betapa terpencilnya wilayah kerja beliau di Sumbermalang.
Setelahnya, beliau pensiun dan tinggal di Wetan Kantor - Jember, di rumah milik sendiri. Rumah itu mulai dibuat sewaktu menjadi Mantri Polisi. Di sinilah beliau menutup mata dan dikebumikan, pada Agustus 1938. Namun sebenarnya beliau tidak benar-benar pensiun. Sebab pada 1933 beliau masih tercatat memiliki aktivitas di Onderdistrik Panji (Situbondo) sebagai Asisten Wedana.
Rambipuji, Kasiyan Lor, Silo, Ambulu, Wetan Kantor, di sanalah kenangan masa kecil Soemarno berceceran. Soemarno bisa menceritakan cukup rinci tentang tempat - tempat itu di akhir era 1910-an dan erak 1920-an.
Lalu Mereka Menikah
Di Sekolah Dokter Hindia Belanda (NIAS) terdapat peraturan yang melarang beristri bagi para siswa yang menerima beasiswa. Itu artinya Soemarno tidak boleh menikah. Tidak ada cara lain selain menikah diam-diam. Dan benar, dengan segala resiko yang ada, pada akhirnya Soemarno dan Armistiani melakukannya. Namun, mereka tidak secara bulat-bulat menikah diam-diam. Dengan segala keberaniannya, Soemarno menemui Direktur NIAS untuk menyatakan niat hendak kawin setelah naik ke tingkat enam. Soemarno tidak minta ijin, melainkan memberitahukan saja. Soemarno mengatakan kepada Direktur NIAS bahwa tidaklah patut dan jujur terhadap istri jika Soemarno menikahinya secara sembunyi-sembunyi.
Alhasil, happy ending bagi pasangan Soemarno - Armis. Direktur NIAS membolehkan mereka melaksanakan perkawinan. Sejak saat itu larangan kawin di NIAS tidak terlalu ketat lagi.
Mereka melangsungkan upacara pernikahan di Malang, sangat sederhana. Tentu saja sangat sederhana, karena selain Soemarno masih belajar, Ayahnya baru saja pensiun, bahkan belum menerima uang pensiun dan belum tahu berapa besar jumlah pensiunannya. Rupanya pada jaman kolonial lama juga menunggu keluarnya pensiun.
Seminggu kemudian mereka meluncur ke Jember, untuk menyelenggarakan upacara pernikahan sekedarnya. Sederhana yang alangkah indahnya.
Hari-hari selanjutnya..
Tahun 1935 Soemarno duduk di tingkat enam NIAS dan mulai berkecimpung di klinik. Satu tahun berikutnya, tepatnya pada 18 Januari 1936, pasangan ini dikaruniai anak yang pertama. Laki-laki. Namanya Sidharta Manghoeroedin. Nantinya si sulung ini akrab dipanggil Mamang. Di tahun 1937, Mamang kecil tinggal di Wetan Kantor - Jember, sebab saat itu Soemarno sibuk menjadi co-assistent di bidang kesehatan.
Suatu pagi di akhir bulan Maret 1938, ada sebuah kabar gembira. Soemarno dinyatakan lulus sebagai dokter. Ijasahnya keluar pada 2 April 1938. Seharusnya 1 April 1938. Namun ada satu hal lucu. Kata orang di masa itu, 1 April merupakan hari raya bagi orang-orang yang suka iseng membohongi masyarakat. Ini kebiasaan orang dan pers Belanda maupun Barat untuk menyiarkan berita bohong pada tanggal itu, tanpa khawatir akan terkena tuntutan.
Itulah kenapa ijasah Soemarno dikeluarkan pada 2 April 1938. Pimpinan NIAS khawatir kalau-kalau ijasah Soemarno disangka orang sebagai ijasah palsu.
Soemarno tidak terlalu memikirkan itu. Hatinya masih diletupi oleh perasaan bahagia. Tak lama kemudian Soemarno sekeluarga bersegera meluncur ke Jember. Dia menyempatkan diri untuk sungkem ke Ayahanda, sanak saudara, berziarah ke makam Ibu di Kasiyan Lor, dan makam keluarga di Tegal Bedadung dan Tembakan. Di pemakaman inilah dikuburkan makam leluhur Soemarno - para canggah, buyut dan eyang yang belum pernah Soemarno kenal.
Empat bulan kemudian Ayahanda Soemarno meninggal dunia. Sungguh sedih hati Soemarno, sebab saat itu dia sekeluarga sudah berada di Tanjung Selor, Kalimantan. Dia mengabdikan diri sebagai Dokter di sana.
Soemarno menuliskan kisah yang panjang selama dirinya sekeluarga berada di sana. Berlembar-lembar kisah. Cerita hidup paling menarik adalah ketika istri Soemarno hamil anak kedua, mereka berdua sepakat bahwa proses kelahirannya nanti akan Soemarno atasi sendiri. Benar juga, pada akhirnya Soemarno melaksanakan kata-kata itu. Lahirlah anak kedua mereka di Tanjung Selor. Perempuan. Mereka memberinya nama yang cantik, Sri Soesilorini. Kelak, perempuan mungil yang akrab dipanggil Niniek ini menjelma menjadi pelopor Ketahanan Pangan Nasional. Niniek sempat menjadi anggota Badan Pengawas Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (BPO HKTI) periode 2004-2009. Dia dikenal dengan nama Ir. Hj. Sri Soesilo Rini Soerojo Soemarno.
Pada akhirnya nanti, pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak, juga cucu-cucu yang banyak. Mereka berdua, Soemarno Sosroatmodjo dan Armistiani, telah melewati begitu banyak jaman. Dimulai dari masa Hindia Belanda, masuknya Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, masa-masa revolusi, hingga cerita lain yang ditorehkan oleh Partai Komunis Indonesia. Soemarno hadir di sana, dengan seluruh doa dan cinta Armistiani yang selalu setia menyertainya.
Sedikit Lagi
Sebenarnya otobiografi Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo ini lebih banyak mengulas masalah politik, tentang bagaimana prosesnya selama menjadi dokter dan di ketentaraan, ketegangan di masa revolusi hingga paska Gerakan 30 September PKI, perjumpaannya dengan orang-orang penting di negeri ini, juga tentang sepak terjangnya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tapi saya menemukan sisi lain. Tentang masa kecil Soemarno, bagaimana dia masuk sekolah dengan syarat menjulurkan jari tangan kanan di atas kepala untuk meraih telinga kiri, tentang tahapan sekolah itu sendiri, hari-harinya sebagai manusia biasa, dan tentang betapa kuat dan tak terlihatnya sosok Armistiani dalam menemani hari-hari Soemarno.
Dr. H Soemarno Sosroatmodjo menikmati masa pensiunnya sejak bulan November 1966, satu bulan sebelum kelahiran cucunya yang bernama Bimo Setiawan Al Machzumi (cucu dari putra sulungnya, Mamang, dengan istrinya yang bernama Iffet Veceha). Lelaki dengan istri yang hebat ini meninggal di Jakarta, pada 9 Januari 1991, di usianya yang ke 79 tahun.
Terlepas dari pandangan politik tentang Soemarno yang entah saya sendiri tidak mengerti, saya suka dengan cara Soemarno menuturkan hidupnya. Juga kepada Sugiarta yang telah berhasil memberi sentuhan 'manusia biasa' pada sosok Soemarno. Satu lagi. Di sini karakter Armistiani sangat miskin. Tapi saya rasa dia memang perempuan yang tangguh.
Sudah, saya mau nyruput kopi buatan istri dulu.