Quantcast
Channel: acacicu
Viewing all 205 articles
Browse latest View live

#5BukuDalamHidupku: Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya

$
0
0
Ini adalah hari yang romantis untuk saya dan istri. Kami menikmatinya dengan menyanyikan lagu-lagu ciptaan sendiri diiringi gitar bolong hadiah dari Jalbil, segelas kopi, dan rintik gerimis di luar sana.
Aku hanya ingin kita, tinggal di desa dan tua bersama..
Sekecil apapun rumah kita, aku jadikan seluas cinta.
Penggalan lirik lagu (yang hingga kini enggan saya record) tersebut cukuplah membuat hati kami terhibur. Wajah istri saya nampak sumringah. Dia seperti tidak takut lagi pada potensi gerimis yang kapan saja bisa menjelma menjadi hujan yang lebat. Itu artinya, kami harus bersegera menyiapkan tadahan di beberapa sudut rumah yang bocor.

Saat lagi enak-enaknya memetik gitar itulah, tiba-tiba pandangan saya tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di atas karpet warna merah. Buku sederhana, dengan sampul yang juga sederhana. Dalam sampul itu hanya ada foto seorang laki-laki berkopiah hitam yang sudah menua, sementara di sampingnya nampak seorang perempuan dengan kebaya warna merah muda bermotif bunga. Benar-benar sederhana, tapi mereka 'tua bersama' dan terbukti, tanpa nada tanpa kata-kata.

Mereka adalah pasangan Bapak Soemarno Sosroatmodjo beserta istri, Ibu Armistiani.

Saya teringat proyek mudik ke blog yang digagas oleh Irwan Bajang. Pas! Buku otobiografi Dr. H. Soemarno Sastroatmodjo yang berjudul Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya ini memiliki pengaruh pada beberapa hal di hidup saya. Baiklah, untuk #5BukuDalamHidupku di hari keempat, saya menulis ini saja.


Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya

Apa menariknya menulis otobiografi seseorang yang namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit di Kabupaten Kapuas - Kalimantan Tengah, dan diabadikan sebagai nama Jalan di kawasan Cakung Jakarta Timur ini? Seiring perkembangan dunia teknologi, mudah bagi kita mencari tahu tentang siapa beliau. Tapi santai saja, saya tidak hendak menuliskan panjang lebar semua isi buku setebal 462 halaman ini. Hanya berkisar pada kisah-kisah percintaan mereka berdua saja. Terdengar sangat ngepop. Tapi tidak apa-apalah, resiko ditanggung supir, hehe.

Ohya, sebelum saya lupa. Orang di balik layar yang membantu pengerjaan otobiografi Dr. H. Soemarno Sastroatmodjo adalah Sugiarta. Saya menemukan namanya di catatan Ajib Rosidi (Mengenang hidup orang lain: sejumlah obituari). Sedangkan dalam otobiografi itu sendiri tak saya temukan nama Sugiarta.

Pada Mulanya

Waktu itu menjelang September 1928, Soemarno muda masih berusia 17 tahun. Itu adalah awal kisah cinta seorang lelaki muda kelahiran Rambipuji, Jember, 24 April 1911, yang kelak akan mencicipi jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua periode, yaitu pada periode 1960 - 1964 dan periode 1965 - 1966.

Pada malam menjelang September 1928 tersebut, Soemarno menikmati malam api unggun bersama teman putrinya, seseorang yang akrab dipanggil Armis. Sepulangnya, Soemarno memberanikan diri bertanya pada Armis, apakah ia menaruh hati kepadanya, sebagaimana Soemarno menaruh hati kepada Armis. Di menit-menit kemudian, segalanya terlihat jauh lebih indah. Soemarno Sosroatmodjo dan Armistiani, sepasang insan yang terlebih dahulu mengukir sejarah, sebulan sebelum Hari Sumpah Pemuda.

Dalam Kebimbangan Ketika Hendak Melanjutkan Sekolah

Usai sudah malam api unggun yang dirayakan mereka berdua, bersama dengan rekan-rekan kepanduan Margo Upoyo (Malang). Saatnya Soemarno harus kembali memikirkan sekolah apa yang harus ia tempuh setamat dari MULO Tanjung (di Malang) yang dulu terletak di Wilhelmina Straat (Sekarang Jl. Dr. Cipto). Iya, ujian penghabisan MULO telah dilalui oleh Soemarno. Itu adalah ujian pertama yang diselenggarakan oleh Batavia. Sebelumnya, kelulusan siswa cukup dilihat dari nilai raport masing-masing sekolah. Sejak April 1928 ujian penghabisan (MULO) disamakan di seluruh Hindia Belanda, pada waktu dan hari yang sama pula. Mungkin embrio UN sekarang dimulai dari sini.

Sesungguhnya Soemarno muda ingin menjadi dokter, tapi STOVIA sudah ditutup tahun 1927. Adapun Ayah Soemarno (Manghoeroedin Sosroatmodjo) sebenarnya ingin putranya mengikuti jejaknya menjadi anggota korps Pangreh Praja. Sayang sekali, waktu itu rasa nasionalisme sudah berkembang dalam diri Soemarno. Tentu saja dia tidak tertarik untuk menjadi anggota korps Pangreh Praja, mengikuti trend nasionalisme di masanya.

Sebelumnya..

Masih lekat dalam ingatan Soemarno ketika dia tamat dari HIS (Hollands Inlandse School) Jember, ketika dia masih tinggal di rumah Bibinya di Wetan Kantor sejak kira-kira tahun 1918 hingga dia menyelesaikan studinya, antara 1924 - 1925. Ayahnya ingin Soemarno melanjutkan di OSVIA, Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pendidikan bagi Pegawai Bumiputera, di Probolinggo. Menurut anggapan politik saat itu, Pangreh Praja merupakan antek kekuasaan kolonial Belanda. Banyak anggota Binnenlands Bestuur (demikian sebutannya dalam Bahasa Belanda) tidak mau lagi berkecimpung dengan kalangannya.

Dalam kesempatan itu, Ayahanda Soemarno mengajak diskusi Pak Purbo dalam memikirkan kemana sebaiknya Soemarno melanjutkan sekolah. Pak Purbo adalah saudara sepupu Ayahanda Soemarno yang bekerja sebagai Komis SS, Staats Spoor, jawatan kereta api di jaman Hindia Belanda. Ia sangat lancar berbahasa Belanda karena lulusan Kweekschool sehingga sering dimintai pertimbangan dan pendapat di lingkungan keluarga, terlebih mengenai dunia pendidikan.

Hasilnya tetap sama, Soemarno disarankan untuk melanjutkan di OSVIA. Soemarno masih sangat belia, baru tamat HIS. Tentunya itu bukan merupakan sebuah persoalan baginya. Diapun berusaha hendak mengikuti ujian masuk OSVIA. Namun nasib berkata lain. Ternyata sejak tahun itu OSVIA tidak menerima murid dari HIS lagi, karena sudah dirubah menjadi MOSVIBA, Middlebare Opleidings School voor Inlandsche Bestuurs Ambtenaren. Jadi yang diterima sebagai siswa ialah lulusan MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah dasar yang lebih luas.

Masa pendidikan di MULO bagi lulusan HIS ialah selama empat tahun, tapi buat lulusan ELS hanya tiga tahun karena tidak perlu duduk di Voorklas dulu. Memang ada kesempatan buat sekolah-sekolah tertentu untuk menempuh ujian memasuki MULO langsung ke kelas satu.

Tak ada jalan lain bagi Soemarno untuk berusaha mendapatkan tempat di MULO, di Malang atau Surabaya. Pilihan kemudian jatuh pada MULO tanjung di Malang.

Lalu, setelah akhirnya Soemarno berhasil menamatkan pendidikannya di MULO, apakah rencana akan tetap sama? Apakah OSVIA (berubah nama menjadi MOSVIBA) menjadi satu-satunya pilihan agar dia bisa menjadi anggota korps Pangreh Praja? Tidak, rencana berubah. Soemarno semakin bertumbuh. Pertumbuhannya juga dibarengi dengan perkembangan negeri ini oleh sebab adanya proses menuju Sumpah Pemuda 1928. Kali ini berbeda, MOSVIBA bukan satu-satunya pandangan yang ada di kepala Soemarno. Atau mungkin, dia sudah sama sekali tidak memikirkannya.

Namun begitu, ada saja teman Soemarno yang berencana hendak melanjutkan ke MOSVIBA, yang lazim disebut sebagai sekolah Candidaat, yang dalam pandangan masyarakat dianggap tinggi, lebih tinggi daripada Middelbare landbouw School (Sekolah Pertanian Menengah) dan Middelbare Technische School (Sekolah Teknik Menengah Atas). Konon MOSVIBA juga dianggap lebih terpandang daripada HKS, Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas).

MOSVIBA menjadi tujuan favorit bagi orang tua para siswa yang de doorsnee priyayi.

Waktu itu di Hindia Belanda hanya terdapat tiga buah sekolah tinggi: Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia, Medische Hooge School (Sekolah Tinggi Kedokteran) juga di Batavia, dan Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Bagi orang pribumi ketiga sekolah tinggi ini biayanya terlalu mahal, masa pendidikannya pun terlalu lama. Sebab bagi siswa lulusan MULO terlebih dahulu harus ke AMS. Baru kemudian jika beruntung bisa diterima di salah satu perguruan tinggi tersebut.

Dalam kebimbangannya, Soemarno terus menimbang-nimbang hendak kemanakah ia melanjutkan studinya. Pertimbangannya sangat lama dan berbelit-belit, namun saya suka menikmati alurnya. Itulah kenapa saya menuliskannya kembali dengan bahasan yang cukup panjang untuk catatan dalam blog.

Pada akhirnya, Soemarno memilih untuk melanjutkan studinya di NIAS (Sekolah Dokter Hindia Belanda) yang bertempat di Surabaya. Segera dia menemui Administratur NIAS, mengisi beberapa formulir, juga menandatangani formulir yang isinya mengenai ikatan dinas. Formulir ini kelak membuatnya mendapat tunjangan F 57,50,- sebulan. Ini jauh lebih banyak dibanding dengan uang saku yang diterimanya di MULO yang hanya F 10,-. Tapi ada satu syarat yang harus dipenuhi Soemarno. Dia harus tinggal pada keluarga Belanda yang ditunjuk oleh NIAS. Dan itu tidak gratis. Uang pondokannya sebulan adalah F 40,- Itu artinya, uang bulanan Soemarno tinggal F 15,- padahal dia harus hidup di Surabaya. Bukan sesuatu yang mudah untuk bertahan hidup. Apalagi jika harus dihitung dengan iuran Niasclub, Indonesia Muda, KBI dan Schermclub atau perkumpulan anggar. Duh!

Tamasya Bersama Armis

Hari pertama Soemarno duduk di sekolah NIAS adalah pada 1 Agustus 1929. Menurut Akte van Bekendheid usia Soemarno 18 tahun. Soemarno memanfaatkan waktu sebelum 1 Agustus 1929 untuk mengunjungi Armis. Dengan naik kereta api Surabaya - Malang, Soemarno meluncur ke kediaman teman putrinya (dulu masih belum ada istilah pacar).

Selama di perjalanan, ingatan Soemarno melayang ke masa silam. Masa dimana untuk pertama kalinya dia berkenalan dengan Armis. Waktu itu Soemarno duduk di kelas dua MULO, sedang Armis masih duduk di kelas tertinggi Sekolah Kartini - Malang. Yang Soemarno kenang akan Armis adalah ketika dia melihatnya bermain bola tangan di halaman sekolah. Armis tetap bermain meskipun hujan turun dengan derasnya.

Suatu hari, tiba-tiba saja Armis muncul di kelas satu MULO tanpa melalui voorklas. Dari sinilah benih-benih perkenalan bermula.

Kereta api tiba di stasiun Malang, Soemarno segera meluncur ke rumah Armis. Sesampainya di sana, Soemarno mendapat sambutan hangat. Ayahanda Armis melempar sebuah pertanyaan, berapa lama pendidikan Soemarno di Surabaya? Soemarno menjawab tujuh tahun, meskipun dalam kontrak dia terikat untuk delapan tahun.

Alangkah senangnya hati Soemarno manakala dia mendapat ijin untuk mengajak Armis jalan-jalan ke Jatibanteng, Besuki. Beberapa hari kemudian, setelah mendapat uang kiriman dari Besuki, berangkatlah Soemarno dan Armis ke Jatibanteng.

"Ini seperti impianku," pekik Armis. Lalu dia menceritakan impiannya tentang jalan yang kadang berkelok, naik dan turun bukit, sementara di sebelah kanan Gunung Argopuro menjulang tinggi dengan lereng-lerengnya yang hijau dan landai, sementara di sebelah kirinya adalah lautan membiru.

Terbuai oleh mimpi-mimpi yang dikisahkan oleh Armis, membawa Soemarno turut larut oleh kenangan masa silam, ketika dia masih bocah.

Kembali ke Masa Kecil

Soemarno lahir di Curahsuko (Rambipuji - Jember) pada 24 April 1911 di rumah Kakek (RP Pringgoseputro) yang bekerja sebagai pembantu opziener (pengawas) gudang tembakau Curahsuko, sebuah perkebunan tembakau di luar Kota Rambipuji. Untuk bepergian ke Curahsuko terlebih dahulu harus menyeberangi sungai dengan perahu. Jembatan tidak ada. Bila ke rumah Kakek Soemarno, harus berjalan pula melalui semak-semak dan naungan pepohonan. Rumah itu terbuat dari bilik, tapi bersih dan halamannya rindang. Soemarno senang sekali jika diajak Kakeknya ke gudang tembakau dan gudang penganginan yang terbuat dari bambu dan beratap alang-alang. Sebaliknya, Soemarno tidak suka jika diajak ke gudang pengeringan tembakau yang beratap seng. Panas hawanya dan aroma tembakau terlalu keras. Di gudang seng Soemarno tidak dapat berlari-larian seperti di gudang bambu, tempat banyak bibi-bibinya bekerja, yang semuanya bersikap ramah terhadap Soemarno.

Di tengah lingkungan semacam itulah Soemarno dilahirkan.

Kadang, di keheningan malam Soemarno bertanya pada dirinya sendiri, "Bagaimanakah sesungguhnya wajah Ibu kandungku? cantikkah dia?" Lebih mudah bagi Soemarno mengingat wajah Nenek daripada Ibu, karena Nenek-lah yang lebih lama mengasuh Soemarno. Jika Soemarno mencoba mengingat Ibu, yang terbayang hanyalah punggungnya dan kesibukannya. Wajahnya tak pernah dapat Soemarno bayangkan. Fotonya tak ada. Sebuah kenangan yang masih dapat terbayang ialah tatkala Soemarno hendak diserang oleh induk ayam. Ibu yang sedang disisir rambutnya, entah oleh siapa wanita yang menyisirnya, menghalau induk ayam itu dengan galah. Peristiwa lain yang masih terkenang ialah tatkala Ibu menyuruh pembantu membeli telur di warung seberang jalan. Soemarno ikut pembantu itu. Sebuah telur Soemarno bawa. Terasa telur itu hangat di tangan, rupanya baru saja ditelurkan. Iseng-iseng diciumnya telur itu. Soemarno muntah seketika itu juga, dan masih muntah lagi entah berapa kali. Lama sejak itu Soemarno tak suka makan telur.

Manghoeroedin Sosroatmodjo, Ayahanda Soemarno, tidak bisa menggambarkan secara detai bagaimana perwajahan dari Ibu kandung Soemarno, sebab Ibunda meninggal dunia pada 29 Desember 1914, ketika melahirkan adik (kembar) ketiga Soemarno. Ketika itu Soemarno masih berusia kurang dari 4 tahun. Sakit panas tinggi yang tak kunjung turun itulah yang menyebabkan Ibu kandung Soemarno meninggal. Kemungkinan karena infeksi kandungan.

Konon, sejak Soemarno masuk sekolah, Ayahnya membawa ibu baru ke rumah. Ibu tiri, kata orang. Tapi Soemarno menyebutnya sebagai ibu yang sejati.

Armis mengguncang bahu Soemarno. Ah, rupanya Soemarno terlalu lama larut dalam masa lalu. Tapi ini belum selesai. Beberapa detik kemudian, Armis menodong Soemarno untuk menceritakan kisah masa kecilnya.

Soemarno Berkisah Tentang Karier Ayahnya

Pangkat Asisten Wedana adalah pangkat tertinggi dalam karier Ayahanda(Manghoeroedin Sosroatmodjo). Beliau mengawali kariernya dimulai dari magang di kawedanan Rambipuji. Nah, dari sinilah rupanya Ayah mengenal Ibu. Selesai magang di kawedanan Rambipuji, Ayahanda menjadi adjunct sipir di Gurahmalang, kemudian di Kasiyan Lor. Adjunct sipir adalah sipir pembantu. Adapun sipir penjaranya adalah seorang Belanda. Waktu menjabat sebagai sipir pembantu, Ayahanda berumah di Kasiyan Lor, di depan rumah penjara.

Sepeninggal Ibu, Ayahanda tak lagi kerasan tinggal di Kasiyan Lor. Beliau mengusahakan untuk bisa dipindahkan ke Jember, bahkan rela turun jabatan. Dengan begitu, beliau juga bisa menyekolahkan Soemarno kecil di Jember.

Karena Ayahanda dianggap mumpuni ketika menjabat sebagai sipir pembantu, keinginan beliau dikabulkan, bahkan dengan tidak diturunkan jabatannya. Akhirnya, beliau diangkat menjadi Asisten Wedana di Silo, Distrik Mayang.

Tugas Asisten Wedana waktu itu banyak berhubungan dengan soal-soal ekonomi. Dimana-mana dibangun gudang beras yang baru, dan petani-petani berdatangan hendak menjual padi. Ayahanda sangat disibukkan dengan tugas barunya. Sesuatu yang patut diacungi jempol. Beliau selalu tampil prima, bahkan meskipun menderita penyakit asma.

Ayahanda bertugas di Silo selama sekitar dua tahun lebih. Saat itu, Perang Dunia I masih sedang berkecamuk.

Lagi-lagi, karena dianggap mumpuni dengan jabatannya sebagai Asisten Wedana di Silo, akhirnya beliau dipindahkan ke wilayah yang lebih luas dan makmur, yaitu di Ambulu.

Rupanya, jabatan tertinggi sebagai Asisten Wedana di Ambulu merupakan yang terakhir bagi Ayahanda, sebelum akhirnya beliau tersandung oleh satu cobaan (fitnah oleh pihak Belanda), lalu jabatannya diturunkan secara drastis. Tidak sampai tiga bulan kemudian Ayah dipindahkan ke Sumbermalang (Jatibanteng), di Lereng Gunung Argopuro.

Begitulah, akhirnya beliau dipindahkan ke daerah terpencil, hingga derajatnya turun drastis. Hanya dengan naik kuda, baru kita bisa mencapai daerah Sumbermalang. Apalagi mobil, dokar pun tak sanggup naik ke sana. Dapat dibayangkan betapa terpencilnya wilayah kerja beliau di Sumbermalang.

Setelahnya, beliau pensiun dan tinggal di Wetan Kantor - Jember, di rumah milik sendiri. Rumah itu mulai dibuat sewaktu menjadi Mantri Polisi. Di sinilah beliau menutup mata dan dikebumikan, pada Agustus 1938. Namun sebenarnya beliau tidak benar-benar pensiun. Sebab pada 1933 beliau masih tercatat memiliki aktivitas di Onderdistrik Panji (Situbondo) sebagai Asisten Wedana.

Rambipuji, Kasiyan Lor, Silo, Ambulu, Wetan Kantor, di sanalah kenangan masa kecil Soemarno berceceran. Soemarno bisa menceritakan cukup rinci tentang tempat - tempat itu di akhir era 1910-an dan erak 1920-an.

Lalu Mereka Menikah

Di Sekolah Dokter Hindia Belanda (NIAS) terdapat peraturan yang melarang beristri bagi para siswa yang menerima beasiswa. Itu artinya Soemarno tidak boleh menikah. Tidak ada cara lain selain menikah diam-diam. Dan benar, dengan segala resiko yang ada, pada akhirnya Soemarno dan Armistiani melakukannya. Namun, mereka tidak secara bulat-bulat menikah diam-diam. Dengan segala keberaniannya, Soemarno menemui Direktur NIAS untuk menyatakan niat hendak kawin setelah naik ke tingkat enam. Soemarno tidak minta ijin, melainkan memberitahukan saja. Soemarno mengatakan kepada Direktur NIAS bahwa tidaklah patut dan jujur terhadap istri jika Soemarno menikahinya secara sembunyi-sembunyi.

Alhasil, happy ending bagi pasangan Soemarno - Armis. Direktur NIAS membolehkan mereka melaksanakan perkawinan. Sejak saat itu larangan kawin di NIAS tidak terlalu ketat lagi.

Mereka melangsungkan upacara pernikahan di Malang, sangat sederhana. Tentu saja sangat sederhana, karena selain Soemarno masih belajar, Ayahnya baru saja pensiun, bahkan belum menerima uang pensiun dan belum tahu berapa besar jumlah pensiunannya. Rupanya pada jaman kolonial lama juga menunggu keluarnya pensiun.

Seminggu kemudian mereka meluncur ke Jember, untuk menyelenggarakan upacara pernikahan sekedarnya. Sederhana yang alangkah indahnya.

Hari-hari selanjutnya..

Tahun 1935 Soemarno duduk di tingkat enam NIAS dan mulai berkecimpung di klinik. Satu tahun berikutnya, tepatnya pada 18 Januari 1936, pasangan ini dikaruniai anak yang pertama. Laki-laki. Namanya Sidharta Manghoeroedin. Nantinya si sulung ini akrab dipanggil Mamang. Di tahun 1937, Mamang kecil tinggal di Wetan Kantor - Jember, sebab saat itu Soemarno sibuk menjadi co-assistent di bidang kesehatan.

Suatu pagi di akhir bulan Maret 1938, ada sebuah kabar gembira. Soemarno dinyatakan lulus sebagai dokter. Ijasahnya keluar pada 2 April 1938. Seharusnya 1 April 1938. Namun ada satu hal lucu. Kata orang di masa itu, 1 April merupakan hari raya bagi orang-orang yang suka iseng membohongi masyarakat. Ini kebiasaan orang dan pers Belanda maupun Barat untuk menyiarkan berita bohong pada tanggal itu, tanpa khawatir akan terkena tuntutan.

Itulah kenapa ijasah Soemarno dikeluarkan pada 2 April 1938. Pimpinan NIAS khawatir kalau-kalau ijasah Soemarno disangka orang sebagai ijasah palsu.

Soemarno tidak terlalu memikirkan itu. Hatinya masih diletupi oleh perasaan bahagia. Tak lama kemudian Soemarno sekeluarga bersegera meluncur ke Jember. Dia menyempatkan diri untuk sungkem ke Ayahanda, sanak saudara, berziarah ke makam Ibu di Kasiyan Lor, dan makam keluarga di Tegal Bedadung dan Tembakan. Di pemakaman inilah dikuburkan makam leluhur Soemarno - para canggah, buyut dan eyang yang belum pernah Soemarno kenal.

Empat bulan kemudian Ayahanda Soemarno meninggal dunia. Sungguh sedih hati Soemarno, sebab saat itu dia sekeluarga sudah berada di Tanjung Selor, Kalimantan. Dia mengabdikan diri sebagai Dokter di sana.

Soemarno menuliskan kisah yang panjang selama dirinya sekeluarga berada di sana. Berlembar-lembar kisah. Cerita hidup paling menarik adalah ketika istri Soemarno hamil anak kedua, mereka berdua sepakat bahwa proses kelahirannya nanti akan Soemarno atasi sendiri. Benar juga, pada akhirnya Soemarno melaksanakan kata-kata itu. Lahirlah anak kedua mereka di Tanjung Selor. Perempuan. Mereka memberinya nama yang cantik, Sri Soesilorini. Kelak, perempuan mungil yang akrab dipanggil Niniek ini menjelma menjadi pelopor Ketahanan Pangan Nasional. Niniek sempat menjadi anggota Badan Pengawas Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (BPO HKTI) periode 2004-2009. Dia dikenal dengan nama Ir. Hj. Sri Soesilo Rini Soerojo Soemarno.

Pada akhirnya nanti, pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak, juga cucu-cucu yang banyak. Mereka berdua, Soemarno Sosroatmodjo dan Armistiani, telah melewati begitu banyak jaman. Dimulai dari masa Hindia Belanda, masuknya Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, masa-masa revolusi, hingga cerita lain yang ditorehkan oleh Partai Komunis Indonesia. Soemarno hadir di sana, dengan seluruh doa dan cinta Armistiani yang selalu setia menyertainya.

Sedikit Lagi

Sebenarnya otobiografi Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo ini lebih banyak mengulas masalah politik, tentang bagaimana prosesnya selama menjadi dokter dan di ketentaraan, ketegangan di masa revolusi hingga paska Gerakan 30 September PKI, perjumpaannya dengan orang-orang penting di negeri ini, juga tentang sepak terjangnya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tapi saya menemukan sisi lain. Tentang masa kecil Soemarno, bagaimana dia masuk sekolah dengan syarat menjulurkan jari tangan kanan di atas kepala untuk meraih telinga kiri, tentang tahapan sekolah itu sendiri, hari-harinya sebagai manusia biasa, dan tentang betapa kuat dan tak terlihatnya sosok Armistiani dalam menemani hari-hari Soemarno.

Dr. H Soemarno Sosroatmodjo menikmati masa pensiunnya sejak bulan November 1966, satu bulan sebelum kelahiran cucunya yang bernama Bimo Setiawan Al Machzumi (cucu dari putra sulungnya, Mamang, dengan istrinya yang bernama Iffet Veceha). Lelaki dengan istri yang hebat ini meninggal di Jakarta, pada 9 Januari 1991, di usianya yang ke 79 tahun.

Terlepas dari pandangan politik tentang Soemarno yang entah saya sendiri tidak mengerti, saya suka dengan cara Soemarno menuturkan hidupnya. Juga kepada Sugiarta yang telah berhasil memberi sentuhan 'manusia biasa' pada sosok Soemarno. Satu lagi. Di sini karakter Armistiani sangat miskin. Tapi saya rasa dia memang perempuan yang tangguh.

Sudah, saya mau nyruput kopi buatan istri dulu.

#5BukuDalamHidupku: Jalan Seorang Penulis

$
0
0
Bukunya tipis, sampulnya terbuat dari kertas buffalo warna biru, dan semua isinya adalah hasil garapan mesin fotocopy. Kesan pertama, buku ini membosankan. Apalagi di tiap-tiap lembar kertasnya tidak disertai dengan pencantuman halaman. Lalu saya menghitungnya secara manual. Ada 24 lembar. Jadi, 48 halaman. Buku apakah ini? Hanya sebuah buku materi Pelatihan Dasar-Dasar Jurnalistik Tingkat Pencinta Alam Se-Jatim Tahun 2004.

Iya, membosankan. Isinya seputar teknik-teknik penulisan jurnalistik yang tidak berpihak pada suatu golongan, tidak juga netral, namun berpihak pada lingkungan sekitar. Adalah konyol jika buku ini memiliki pengaruh pada jalan hidup saya. Sayangnya, kita tidak tahu bagaimana cara kerja Semesta dalam menuntun kita pada perubahan.


Jalan Seorang Penulis

Di buku tipis itu, tepatnya di halaman terakhir, ada sebuah artikel pendek yang hanya terdiri dari enam paragraf. Artikel tersebut berjudul; Jalan Seorang Penulis. Fadli Rasyid, itu adalah nama penulisnya.

Hmmm, iya saya mengenal beliau meski hanya satu kali berjumpa. Ketika itu kawan-kawan muda Jember sedang bikin acara pameran lukis di sudut alun-alun kota, tahun 2000. Pameran bertajuk 'Jember Ini Hari' tersebut dihadiri juga oleh Mbah Fadli (begitu biasanya kami memanggil beliau). Semua orang tahu, sewaktu Mbah Fadli mencoba melukis, tangannya tremor. Parah. Tapi beliau tetap melukis di depan kami.

Jalan Seorang Penulis:

Seorang penulis mempertaruhkan hidupnya untuk setiap kata terbaik yang bisa dicapainya. Ia menghayati setiap detik dan setiap inci dari gerak hidupnya, demi gagasan yang hanya mungkin dilahirkan oleh momentum yang dialaminya. Menulis adalah suatu momentum. Tulisan yang dilahirkan satu detik ke belakang atau satu detik ke depan akan lain hasilnya, karena memang ada seribu satu faktor - yang sebenarnya misterius - dalam kelahiran sebuah tulisan.

Meskipun begitu, momentum penulisan bukanlah wahyu. Momentum penulisan selalu mempunyai sumbu sejarah ke masa silam dengan pengertiannya yang paling absolut. Tentu, kita tidak akan pernah tahu persis biang kerok macam apakah yang nangkring di serat-serat dalam sumbu sejarah itu. Namun barangkali saja kita percaya, betapa setiap titik yang terkecil dalam garis perjalanan roh kita, sejak masa entah kapan menuju ke suatu ruang di masa depan, memberikan sumbangannya masing-masing dalam momentum penulisan. Belajar menulis adalah belajar menangkap momen-momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.

Kemudian, yang paling penting bagi seorang penulis, adalah bagaimana ia bisa setia kepada sungai kehidupan yang menghanyutkan, kehidupan seorang penulis itu seperti seorang pengembara yang diarungkan perahu melewati gua-gua dunia fantasi dalam sebuah sungai di bawah tanah. Cuma saja, apa yang disebut fantasi ini sangat boleh jadi bukan fantasi sama sekali. Bisa fantasi bisa tidak. Tepatnya, fantasi atau bukan fantasi, hal itu sudah tidak penting lagi. Masalahnya, kita bisa setia atau tidak kepada realitas apa pun yang kita lewati. Kalau kita memang penulis, maka kita akan menuliskan apa pun yang menyentuh diri kita.

Sehingga memang tidak ada yang terlalu istimewa dengan menjadi seorang penulis. Dengan segenap disiplin yang telah menyatu dalam darahnya, ia menulis seperti bernapas, sama seperti seorang pembalap harus melaju di sirkuit, sama seperti seorang prajurit harus terjun dalam pertempuran, meskipun resikonya kematian, karena itu semua memang merupakan tugas yang diberikan oleh alam. Adapun tugas seorang penulis adalah menulis dengan jujur - meskipun resikonya adalah juga kematian, pada saat yang diperlukan.

Dengan begitu, menulis sebenarnya tidak lebih rendah dan tidak lebih mulia dari bidang tugas apapun yang bisa dipilihkan untuk manusia. Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa - suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas di timbang-timbang.

Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, dimana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha serta kepada hidup itu sendiri - satu-satunya hal yang membuat kita ada.

Jika berkenan, cobalah untuk membaca catatan Almarhum Mbah Fadli yang tersembunyi dalam spoiler di atas. Setidaknya, agar saya tidak merasa konyol oleh sebab tersentuh oleh catatan yang hanya terdiri dari enam paragraf saja. Dan sejujurnya, sampai hari ini saya belum selesai membaca makna-makna yang bertebaran di sana.

Mengenal Sosok Fadli Rasyid

Mudah sekali mengenal sosok Mbah Fadli Rasyid di jaman yang serba tinggal klik ini. Kita hanya butuh akses ke mesin pencari, untuk kemudian mengetikkan kata kunci 'Fadli Rasyid Jember' lalu selesailah sudah.

Lalu kita akan mengerti, seniman kelahiran 7 Juli 1937 ini tak hanya sekedar berkata-kata. Dia melakukannya. Dia melaksanakan kata terlebih dahulu, untuk kemudian semua itu terangkum dalam catatan yang hanya terdiri dari enam paragraf. Betapa itu adalah catatan pendek terpanjang di pemahaman saya.

Lelaki keren ini memejamkan mata pada 15 April 2009 oleh sebab stroke, setelah sebelumnya mendapat perawatan di Rumah Sakit Jember Klinik. Benar, kecintaannya pada dunia seni tak terbantahkan. Bacalah cuplikan puisinya, di detik-detik hidupnya yang terakhir.

Aku dengan Maut
Disini
Di tempat sunyi ini
Hanya aku dengan maut
Ketika kutusuk tembus jantungnya
Aku yang mati


Membaca 'Jalan Seorang Penulis' adalah membaca perjalanan hidup seorang Fadli Rasyid, meski sekali lagi, hanya terdiri dari enam paragraf, 416 kata. Ini memang bukan rangkuman atas apa yang pernah saya tulis sebelumnya dalam #5BukuDalamHidupku, namun praktis semua terangkum dengan sendirinya.

Ketika Mbah Fadli menyentil tentang petualangan hidup, dia mengingatkan saya pada Enid Blyton. Di mata saya, keduanya sama-sama cinta dunia fantasi dan dunia bocah. Tak heran jika di tahun 1970, Mbah Fadli mendirikan majalah anak-anak Kawanku. Dia tidak sendirian saat menggagas majalah Kawanku, melainkan bersama Thoha Mochtar, Julius Siyaranamual, Trim Suteja dan Asmara Nababan.

Kelak sekitar tahun 90-an, ketika majalah Kawanku sudah berubah format menjadi majalah remaja, Mbah Fadli sudah tinggal di tanah kelahirannya, Mumbulsari Jember. Tepatnya, tahun kepulangannya sejak 1983, di saat umur Mbah Fadli sudah mencapai 45 tahun. Mbah Fadli memulai kembali hidupnya. Beliau menikah dengan seorang perempuan anggun bernama Sri Utami yang pada saat itu berumur 25 tahun, hidup bertani, menulis, melukis, mendirikan sanggar, dan pada akhirnya dikaruniai dua orang anak, Bayu Anggun Nilakandi dan Bahana Purwa Kendita.

Jika Zlata Filipovic bertahan hidup dari situasi perang dan reruntuhan di Sarajevo, Mbah Fadli memiliki perangnya sendiri. Beliau tak sekedar berkarya, melainkan juga hidup seperti yang dikaryakan.

"Adapun tugas seorang penulis adalah menulis dengan jujur - meskipun resikonya adalah juga kematian, pada saat yang diperlukan."

Ketika Mbah Fadli menuliskan itu, saya teringat akan tulisan Mohammad Hatta di buku Alam Pikiran Yunani. Iya benar, itu adalah kalimat yang kental sekali dengan intisari filosofi, tentang memberi kehormatan pada kebenaran.

"Dengan begitu, menulis sebenarnya tidak lebih rendah dan tidak lebih mulia dari bidang tugas apapun yang bisa dipilihkan untuk manusia."

Aha, Mbah Fadli juga menyegarkan kembali ingatan saya tentang sebuah gagasan bernama setara. Itu juga mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul; Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya. Di sana diceritakan tentang sepak terjang Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo, seorang Dokter Tentara yang sebenarnya enggan berkecimpung di dunia politik namun Presiden menghendakinya.

Okelah, saya sedang tidak ingin mengupas tentang bagaimana ketika Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo menjadi Gubernur DKI Jakarta, beliau bisa merealisasikan pembangunan Monas, meneruskan gagasan Pemimpin Jakarta sebelumnya, juga prestasi-prestasi lainnya, sebab itu hanya berdasar pada pembangunan yang terlihat. Ada yang lebih menarik dalam buku itu. Akan coba saya ceritakan dengan bahasa saya.

Begini. Mengenai gagasan setara jika dihubungkan dengan kita sebagai warga negara, pun semisal sebagai bagian dari penyelenggara negara, bahwa sama-sama kuat itu penting. Jika masyarakatnya kuat dan berdaya, dengan penyelenggara negara yang juga tidak lemah, maka mudah tercipta dialog yang baik, santun, seimbang, dan sama-sama saling menguatkan. Inilah sebenarnya yang dicita-citakan Pancasila, tentang suatu keadaan yang merdeka dan sejahtera.

Semisal salah satunya lemah sedangkan yang lain kuat, maka akan terjadi hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah. Jika negara kuat masyarakatnya lemah, maka potensi totaliter akan menganga lebar-lebar. Pahit rasanya ketika kepentingan masyarakat sama sekali tidak terhiraukan. Coba buka kembali lembar sejarah, kita mengalami pengalaman buruk tentang itu.

Sebaliknya, bagaimana jika masyarakatnya yang kuat sedangkan negaranya lemah syahwat? Maka akan kacau. Tidak ada kepastian hukum, kata 'adil' hanyalah tinggal cerita. Itu mengingatkan kita pada penggalan sejarah di bulan Mei 1998.

Apabila negaranya lemah dan masyarakatnya juga lemah, apa yang terjadi? Maka bubarnya negara tinggal menunggu waktu saja. Entah menjadi kisah yang baru, entah adanya penguasaan asing atas negara dan bangsa.

Duh, sepertinya saya ngelantur!

Setara itu indah, seindah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bedanya hanya di dalam peran hidup saja. Tentang peran-peran seperti siapa yang melahirkan, siapa yang menggali sumur atau membetulkan genting, siapa yang begini dan begitu. Terlepas dari itu, semuanya setara. Dalam hal ini, Mbah Fadli mampu merangkul semuanya meski hanya lewat kata yang sederhana. Setidaknya, itu menurut pembacaan saya.

Setara yang dimaksud Mbah Fadli adalah setara yang memiliki etika. Ini juga berlaku pada gagasan yang lain seperti kemerdekaan, kebebasan, hingga menjadi penulis. Harus ada sentuhan etika. Sebab bagi Mbah Fadli, menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa - suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana.

Sedikit Lagi

Saya juga ingin memperlakukan hidup sebagaimana Fadli Rasyid pernah melaksanakannya, meski dengan cara yang tidak sama. Saya juga ingin memberi kehormatan pada kebenaran, meski saya sendiri sering tersandung salah, meski entah apakah selama perjalanannya nanti, saya bisa atau tidak. Saya tidak tahu.

Saya tidak tahu apa warna kesukaan Mbah Fadli, berapa ukuran sepatunya, apa yang dia cita-citakan ketika masih berumur 7 tahun, dan masih banyak lagi. Yang saya mengerti hanya satu. Bahwa ketika tangannya tremor, beliau masih saja menikmati prosesnya sebagai pelukis. Suatu hari di sudut alun-alun Jember, tahun 2000. Iya saya tahu. Saya melihatnya sendiri. Lelaki lain yang ada di seberang saya, yang berdiri tak jauh dari Mbah Fadli melukis, matanya berkaca-kaca.

"Setia pada proses," mungkin pesan itu yang ingin disampaikan oleh seorang Fadli Rasyid.

Dulu sekali, ada saya dengar bahwa Mbah Fadli memelihara mimpi membuat monumen untuk Letkol Moch. Sroedji. Mbah Fadli merasa, mimpinya sesuai dengan kebutuhan, untuk melawan lupa dan untuk pengenalan sejarah bagi generasi muda di kota kecil Jember. Konon kabarnya, mimpi inilah yang belum sempat beliau realisasikan hingga ajal menjemput, 15 April 2009.

Ah, Mbah Fadli Rasyid. Sosok yang keren.

Untuk Almarhum Mas Bibin Bintariadi, terima kasih telah menghadirkan Catatan Mbah Fadli di buku materi jurnalistik lingkungan yang tipis ini, yang sampulnya terbuat dari kertas buffalo. Selalu ada doa dan cinta untuk kalian.

***

Membaca tulisan Fadli Rasyid, saya jadi tidak percaya apabila ada yang berkata bahwa hidup hanya selama kita bernapas saja. Bahkan ketika beliau telah tiada, aksaranya tetap memberi kehormatan pada kebenaran.

Sudah.

Salam saya, RZ Hakim

Kisah dari Putri Dokter Soebandi

$
0
0

Letkol dr. Soebandi

Dimulai ketika saya SD. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang sama. Siapa Letkol dr. Soebandi? Mengapa namanya dijadikan nama Rumah Sakit di Jember? Siapa pula Letkol Moch. Sroedji? Kenapa patungnya ada di pelataran Pemkab Jember? Kenapa pula nama keduanya diabadikan menjadi nama jalan?

Berganti masa SMP. Saya punya guru sejarah yang sabar, namanya Bu Jua. Selalu saja Bu Jua menganjurkan siswa siswinya untuk gemar mencatat materi sejarah. Saya tidak suka mencatat. Tapi saya tetap mencatat, hanya agar Bu Jua tidak menegur. Akhirnya saya terbiasa mencatat beberapa momen sejarah yang saya sukai. Tentunya dengan cara saya sendiri. Ketika Bu Jua mengharuskan untuk mencatat perang Diponegoro 1925 - 1930, saya mencatat sebuah pertanyaan. Apakah Diponegoro senang berpetualang dengan kudanya?

Iya, aneh. Tapi Bu Jua tidak pernah marah, sebab tak pernah sekalipun saya menunjukkan catatan-catatan aneh itu.

Masa SMA dan selanjutnya kita lewati saja ya.

Sampai pada suatu masa, saya membuat artikel tentang seorang dokter perang bernama Soebandi, di blog rame-rame kompasiana. Saya seperti menulis perang Diponegoro, 1925 - 1930. Seperti otobiografi, haha. Ini yang saya tuliskan.

Dokter Soebandi lahir di Klakah - Lumajang, pada 17 Agustus 1917. Putra pertama dari dua bersaudara ini adalah lelaki beruntung di jamannya, karena bisa mengenyam pendidikan yang tinggi. Dimulai dari Hollands Inlandse School, lalu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah dasar yang lebih luas, kemudian NIAS, Sekolah Dokter Hindia Belanda. Setamat dari NIAS, Soebandi kembali melanjutkan studinya di Ika Daigoku, sekolah kedokteran yang didirikan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Lulus dari Ika Daigoku pada 12 November 1943. Dan, apakah sudah selesai? Belum. Beliau masih melanjutkan lagi, kali ini beliau mengikuti pendidikan PETA. Setelah tamat, dokter Soebandi mulai bertugas sebagai tentara sekaligus sebagai seorang dokter tentara.

Cerita mulai berganti, dari satu penempatan tugas ke penempatan tugas yang lain.

Penempatan pertama di Lumajang. Ketika PETA dibubarkan pada 19 Agustus 1945, Soebandi ditugaskan sebagai dokter di Rumah Sakit Probolinggo. Penugasan berikutnya adalah di Malang. Di sini dokter Soebandi menjadi salah satu instruktur yang bertugas mendidik dan melahirkan tenaga-tenaga kesehatan baru, baik untuk lapangan maupun untuk rumah sakit. Bertempat di Rumah Sakit Divisi VII Malang. Dokter Soebandi tidak sendirian ketika menjadi instruktur. Ada juga Letnan Djojoprawiro, Kadar, Sersan Mayor Ismail, Kepala Juru Rawat Gondosukarto, Letnan Muda Te Gwi, dan Letnan Muda Siam.

Sesudah reorganisasi kemiliteran pada pertengahan tahun 1946, dokter-dokter resimen waktu itu (dalam lingkungan Divisi VII) ialah dokter Soebandi untuk Resimen Damarwulan, dokter Sudjono untuk Resimen Menak Koncar, dan dokter Ibnu Mahun untuk Resimen Kartanegara.

***

Seperti itulah yang saya tuliskan. Saya bahagia, namun itu belum menjawab pertanyaan masa kecil. Tentang pertanyaan siapakah dokter Soebandi, dengan hasil jawaban yang tidak seperti di atas. Saya ingin jawaban yang lebih sederhana. Dan, kemarin, satu persatu jawaban itu mulai saya temukan.

Di jejaring sosial, Mbak Irma Devita (cucu dari Letkol Moch. Sroedji) memberi info sederhana tapi cukup menyirami. Dia mengirim foto masa muda dokter Soebandi berdua dengan istri, Rr Soekesi, dengan keterangan seperti ini; konon Ibu Rr Soekesi adalah perawat yang mengagumi Bapak Soebandi. Nah, sederhana bukan? Tapi itu cukup membantu saya dalam mengimajinasikan sebuah momen sejarah yang romantis.

Ada lagi. Saya menemukan kisah unik tentang dokter Soebandi di otobiografi Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo yang berjudul dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.

Dokter Soebandi ingin punya anak laki-laki..

Cerita dimulai pasca Perjanjian Linggarjati. Naskah perundingan sudah diparaf oleh kedua belah pihak tanggal 15 November 1946, tapi Belanda ingkar. Maka terjadi ketegangan antara pihak Belanda dengan TRI dengan gerakan gerilya yang dibantu oleh rakyat Karawang. Adalah Hamid Roesdi yang sebelumnya dianggap berhasil melucuti tentara Jepang, ditugaskan menyelesaikan pertempuran di Karawang. Pada saat itu, dokter Soebandi yang berpangkat Mayor juga turut berangkat ke Karawang, menyertai Batalyon Hamid Roesdi.

Ini yang dituliskan oleh dr. Soemarno Sosroatmodjo dalam bukunya:
Saya masih ingat pesan dr. Soebandi ketika hendak berangkat (menuju Karawang) dari stasiun Malang. "Eh Kang," katanya, "istri saya akan melahirkan. Tolong ya. Saya minta anak laki-laki." Tangannya melambai-lambai dan suaranya tertelan oleh deru lokomotif yang mempercepat jalannya.

Tanggal 1 Desember 1946, anaknya lahir.... puteri.

Ketika dr. Soebandi pulang dari tugas, ia menganggap kami dokter-dokter tidak becus, karena anaknya yang lahir bukan laki-laki seperti permintaannya. Tapi alangkah bahagianya, andaikata Letkol dr. Soebandi sekarang masih ada di antara kita dan melihat ketiga anaknya - semua perempuan - maju dalam penghidupannya berkat asuhan istrinya yang setia. Ia gugur sebagai kusuma bangsa dalam pertempuran di Karangkedawung - Jember, tanggal 8 Februari 1949. Ia gugur bersama komandannya Letnan Kolonel Moch. Sroedji.

Dan enam belas tahun kemudian, ketika saya menjadi Menteri Dalam Negeri sedang turne ke Cirebon, di Stasiun Cirebon secara tak terduga saya bertemu dengan Ny. Soebandi. Salah seorang puterinya, Tuti, sudah lulus dari SMA tapi belum sempat melanjutkan pelajaran. Saya minta Tuti agar ikut saya di ibukota. Dia mau dan ibunya mengijinkan dengan segala senang hati. Di Jakarta Tuti saya masukkan menjadi mahasiswa AKAP, Akademi Pertamanan. Baru dua bulan ia menjadi mahasiswa, saya tidak menjadi menteri lagi. Rupanya anak itu perasa; ia minta pulang agar tidak menjadi beban. Istri saya berhasil menahannya. Tuti terus belajar dan selanjutnya bekerja.
Cerita selanjutnya..

Ngobrol Dengan Putri dr. Soebandi

Minggu sore, 17 November 2013. Saya diingatkan istri, "Mas jangan lupa nanti malam keluarga tamasya band ada acara rutin di RRI Prosatu Jember, CLBK on air." Oh iya, nanti malam waktunya cangkruk'an di radio, batin saya. Sampai detik itu, saya belum ada rencana hendak membicarakan apa di CLBK on air. Lalu saya online, ngobrol dengan Mbak Irma Devita. Oleh Mbak Irma, saya didongengi tentang kisah sehari sebelumnya, silaturrahmi antar keluarga yaitu keluarga Letkol Moch. Sroedji dengan keluarga dokter Soebandi yang di Bandung, di kediaman Ibu Widyastuti, 16 November 2013.

Jadi teringat Bunda Joyce Köhler. Dulu beliau bilang, "Widyastuti yang sering datang di kumpulan Jemberan." Lalu Bunda Joyce mencarikan alamat dan No. HP Ibu Tuti.

Dari obrolan itu, terbungkuslah sebuah rencana. Hehe, terima kasih Mbak Irma.

"Kabar baik Mas. Ibu Widyastuti bersedia, asalkan ditanya yang umum saja, sekedar memperkenalkan beliau putri dr. Soebandi. Ibu Widyastuti orangnya ramah banget, cuma katanya suka demam panggung," begitu kata Mbak Irma Devita. Senang sekali mendapat kabar itu, dua jam sebelum on air.

Kemudian on air. Kemudian saya, istri saya, dan Mbak Etty Dharmiyatie (penyiar RRI Jember yang cetar membahenol) sudah terlibat pembicaraan via telepon dengan Ibu Widyastuti. Alami, mengalir begitu saja, dan membahagiakan. Sepertinya, tuntas sudah pertanyaan masa kecil saya.


Ibu Widyastuti - Dokumentasi Irma Devita

Foto di atas adalah dokumentasi Mbak Irma, hasil oleh-oleh silaturrahmi kemarin, 16 November 2013. Tampak dalam foto, Ibu Widyastuti sedang melihat potret infrantrie XXIII yang menewaskan Letkol dr Soebandi dan Letkol Moch. Sroedji. Ups, saya mau nulis tentang ngobrol semalam ding, di CLBK on air.

"Siapa diantara ketiga putri dr. Soebandi yg lahir pada 1 Desember 1946?"

Itu pertanyaan saya untuk Ibu Widyastuti. Lha kok ndilalah ternyata itu hari lahir beliau. Saya cengengesan, tapi kemudian terdiam. teringat kata-kata dr. Soebandi yang dituliskan oleh Kakeknya Bimbim SLANK, Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo. Haha, semoga Ibu Widyastuti tidak tahu bahwa ketika beliau masih dalam kandungan, Ayahandanya ingin yang lahir nanti adalah anak laki-laki.

"Iya Mas, saya putri dr. Soebandi yang nomor dua dari tiga bersaudara. Yang pertama Widyasmani, sudah Almarhumah. Yang bungsu namanya Widorini, dia seorang dokter, mengikuti jejak dokter Soebandi. Sekarang tinggal di Surabaya."

Obrolan berlanjut dengan sedikit-sedikit haha hihi, sama sekali tidak terkesan jika Ibu Widyastuti seorang yang mudah terserang demam panggung. Justru saya yang bingung mau menanyakan apa.

"Saya tidak bisa njawab jika ditanya tentang apa kenangan saya bersama Bapak (dr. Soebandi), sebab waktu beliau gugur di medan pertempuran pada 8 Februari 1949, saya masih kecil, belum lagi tiga tahun. Kakak saya berusia empat tahun, sedangkan Widorini masih setahun. Lagipula, beliau lebih banyak ada di front pertempuran dan jarang sekali pulang"

Saya diam. Semendal. Teringat kisah Ibu Pudji Redjeki Irawati, putri bungsu Letkol Moch. Sroedji. Beliau dilahirkan pada 7 Februari 1948, sedangkan gugurnya Letkol Moch. Sroedji di medan pertempuran adalah pada 8 Februari 1949. Jadi, ketika itu usia Ibu Pudji tepat satu tahun kurang satu hari.

Tidak seperti jaman sekarang yang apa-apa serba mudah, dulu teknologi tak semudah saat ini. Ketika dr. Soebandi gugur, pihak keluarga tidak serta merta mengerti. Setelah dalam waktu yang cukup lama, barulah pihak keluarga (Ibu Rr Soekesi beserta ketiga putrinya yang masih kecil-kecil) mengerti jika dr. Soebandi gugur di tengah pertempuran.

Salut untuk para pejuang negeri ini, mulai dari komandan dan pasukan tempurnya, para tenaga medis, para seniman, kurir, pedagang, kuli bangunan, hingga ke petaninya. Filosofi 'hidup merdeka' mereka adalah teladan bagi kita bunga-bunga bangsa.

Di detik-detik terakhir perbincangan dengan Ibu Widyastuti, kami masih sempat tukar menukar alamat rumah plus nomor kontak, dan itu via on air, hehe. Obrolan yang hangat. Saya bahkan sempat menyinggung sedikit tentang Bunda Joyce Köhler. Kata Ibu Widyastuti, "Bunda Joyce? Oh ya ya, Ibunya Ahmad Dhani ya?"

Terima kasih Ibu Widyastuti.

Setelah ngobrol bareng Ibu Widyastuti, masih tersisa waktu kurang dari sepuluh menit. Kami memanfaatkannya dengan menghubungi nomor Mbak Irma Devita. Tak lama kemudian, kami sudah berhaha hihi di radio. Dia bercerita tentang penggarapan buku tentang Kakeknya, Letkol Moch. Sroedji, yang dibuat dengan gaya penulisan novel sejarah. Meskipun memilih gaya penulisan novel sejarah, tapi Mbak Irma tidak main-main dengan risetnya. Dia benar-benar menikmati perannya sebagai penulis diantara sekian kesibukan sebagai blogger, notaris, dan lain-lain.

"Kalau novelnya sih sudah jadi, tinggal penguatan saja. Makanya saya masih mondar mandir dari satu narasumber ke narasumber yang lain. Ini sudah hampir setahun, pihak penerbit beberapa kali menanyakan, tapi saya masih ingin memperkuat data baik dari pustaka maupun dari sumber lisan yang komprehensif. Dalam waktu dekat, saya juga masih akan ke Surabaya untuk menemui Bapak Mayjen Purn. Soehario K. Padmodiwirio (dengan nama revolusi: Hario Kecik) yang mengenal Letkol Moch. Sroedji secara langsung."

Ah, proses yang keren. Tak sabar menunggu hasilnya.

Sudah, saya mau nyruput kopi dulu.

Terima kasih.

Sehari Tanpa Gadget Vs Sehari Tanpa Beras

$
0
0
Jika sehari tanpa gadget? Kerugian pasti ada. Contoh kecil, saya tidak akan tahu siapa saja orang yang coba menghubungi via hape. Sebaliknya juga begitu, saya tidak bisa menghubungi siapapun. Yang kedua, akan ada ketimpangan pada peran saya sebagai seorang blogger. Ohya satu lagi. Sebagai seorang fotografer hape dua mega pixel, tentu saja hobi saya akan mandeg.

Sehari Tanpa Gadget Vs Sehari Tanpa Beras

Ada satu istilah yang lahir di kampung saya, entah siapa yang memulai. Ini berhubungan dengan listrik, sesuatu yang pokok jika kita harus bicara tentang gadget. Mereka bilang, lebih baik tidak punya beras daripada tidak kuat membayar uang listrik. Kalau nggak punya beras, tetangga tidak akan mungkin tahu. Tapi bagaimana kalau listrik padam? Masuk akal juga, pikir saya. Meski begitu, saya tidak suka dengan istilah tersebut.

Suatu hari, 20 Oktober 2013

Jember habis diguyur hujan deras disertai angin kencang. Beberapa pohon tumbang, daun berguguran dimana-mana. Hingga menjelang maghrib, ada kabar tidak menyenangkan. Listrik padam. Masalahnya, dari sekian banyak rumah, hanya empat rumah saja yang listiknya padam, salah satunya rumah saya. Duh! Ketika coba menghubungi PLN, dikatakan pihaknya sedang sibuk. Ada beberapa titik yang juga butuh kehadiran mereka. Baiklah, menunggu giliran, batin saya.

Saya menebak, di luar sana orang-orang akan mengulang kata-kata, lebih baik sehari tanpa beras daripada sehari tanpa listrik. Tapi saya tidak peduli. Toh mereka hanya bercanda.

Hingga senja berganti malam, listrik tetap padam. Saya hanya menyiapkan satu lencer lilin, sisa pemadaman listrik seminggu sebelumnya. Kira-kira pukul setengah tujuh, kawan-kawan kecil berdatangan, seperti hari-hari sebelumnya. Ruang panaongan yang hanya disinari oleh lentera lilin membuat mereka menolak untuk belajar. Ah, anak-anak generasi gadget ini, mudah sekali mereka patah arang.

"Lalu kalian pingin ngapain?"

Ada celah untuk berceloteh. Saya sendiri yang menciptakan ruang itu. Tak butuh waktu lama, mereka pun ngriwik. Ada yang ingin mendengarkan dongeng, ada yang ingin begini dan begitu. Saya pusing mendengarkan celoteh mereka, sekaligus bahagia. Iya saya bahagia. Meskipun mati lampu, suasana di rumah tetap riang.

Diantara berbagai keinginan yang mereka ajukan, ada satu yang membuat saya penasaran. Namanya Minto, kelas dua SD. Dia putra dari seorang kawan yang sudah Almarhum, Rahman namanya. Manto ingin beraksi goyang cesar di tengah-tengah kami. Lho? Ini unik, tapi tidak ada salahnya untuk memberi Manto kesempatan itu. Benar, dia berani melakukannya. Diiringi dengan lagu dangdut dari hape merk cina, juga dibarengi dengan kedua rekannya yang lebih besar, Agil dan Dayu. Ini gambarnya, dijepret oleh Pije.


Minto yang ditengah - Dokumentasi VJ Lie

Kira-kira pukul delapan malam, kawan-kawan kecil mulai berpamitan pulang. Tinggal saya, Prit, dan Pije, dan sinar lampu lilin yang siap untuk padam untuk terakhir kalinya. Sebagai penggantinya, Pije mengeluarkan lampu senter kecil yang dia panjer di langit-langit.

Ternyata, sampai waktu subuh, listrik di rumah saya masih tetap padam. Iya saya tidak tidur, begitu juga Prit. Hanya Pije yang tertidur pulas. Apa saja yang saya lakukan (berdua dengan Prit) sampai pagi datang? Kami hanya saling bercerita, hingga lampu senter mendrip-mendrip menuju mati.

Syahdu. Tanpa televisi, tanpa sinar terang, tanpa laptop, tanpa mengerti kabar dunia maya. Tapi kami masih punya beras, Alhamdulillah. Di luar sana, ada orang-orang yang tidak seberuntung kita. Mereka tidak mengerti apa itu blogwalking, follower, download, paypal, spam, hoax, browser, hosting, server, dan entah apa lagi. Tapi mereka berani bertempur melawan hidup, dan setia pada proses, merayap menghunjam kehidupan sebagaimana merayapnya akar. Mereka merdeka tanpa merasa takut terhina. Siap menjadi kaya, siap pula menjadi miskin. Moderat. Saya ingin seperti itu, menyediakan mental dan hati untuk bisa menikmati hidup di berbagai situasi.

Sehari tanpa gadget? Meskipun sulit, tapi saya harus siap, harus pula menyiapkan kesibukan yang lain agar hari-hari tetap indah. Kalau pun selama ini mencari beras dengan media gadget, tetap saja saya harus siap. Sebab menyiapkan diri atas segalanya yang mungkin terjadi adalah lebih indah.

Sudah ya, saya mau ngopi dulu. Salam goyang cesar!

Seperti Yang Diceritakan Lina Kepada Saya

$
0
0

Dari kiri ke kanan; Nina, Lina, Agil. Foto oleh Pije

Perkenalkan, namaku Lina Wulandari. Aku biasa dipanggil Lina. Kelas 5 C di SDN Patrang 2 Jember. Aku punya pacar, namanya Doni. Dia sekolah di SMP 13 Jember kelas satu. Rumahnya ada di Perumahan Pesona Regency.

Suatu hari aku pernah main sepeda di sekitar rumahnya, Pesona Regency. Tak lama kemudian, aku ketemu Doni. Waktu itu dia sedang main bola bersama teman-temannya. Ketika melihatku, dia tetap bermain bola. Acuh. Padahal aku sungguh berharap dia berhenti sejenak untuk kemudian datang menghampiriku.

Sudah ah, malu cerita tentang Doni. Digodain terus sama Agil nih. Rini juga ikut-ikutan ketawa. "Nyrenge.." Cerita yang lain aja ya..

Aku punya saudara kembar, namanya Leni Wulandari, dipanggil Leni. Aku kakak Leni, sedang Leni adikku. Namanya juga kembar, wajah kami mirip. Tapi pipi kanan Leni nggak ada tahi lalatnya, tidak seperti punyaku. Dia suka lagu-lagu pop seperti Smash dan Cherry Belle. Aku berbeda. Aku lebih suka lagu dangdut dan lagu Banyuwangian seperti lagunya Demy yang judulnya Asmoro.

Aku dan Leni saling merindukan, sebab kita tidak hidup di satu atap rumah. Aku di Jember ikut Kakek Nenek, Leni di Banyuwangi ikut Bapak Ibuk. Perjumpaan terakhir kami, pas waktu Idul Fitri kemarin.

Selain Leni, aku masih punya adik lagi, namanya Laras Widiyanti. Laras masih kecil, masih kelas satu SD. Sama seperti Leni, Laras juga tinggal di Banyuwangi bersama Bapak Ibuk.

Hmmm, apa lagi ya. Pokoknya aku merindukan mereka. Ingin membuat puisi untuk Ibuk, tapi Ibuk pasti tidak akan menanggapi puisiku, seperti yang dulu pernah terjadi. Begini ceritanya. Suatu hari saya menghampiri Ibuk dengan selembar kertas di tangan yang bertuliskan puisi ciptaan saya sendiri. Kepada Ibuk saya katakan, "Nyok Buk, iki puisi gawe sampeyan." Saya berharap waktu itu Ibu menanggapi puisi tersebut dengan senyum atau apalah. tapi Ibu berkata lain. "Apa ini Lin?" Setelah itu, secarik kertas tersebut beliau taruh di atas meja. Selesai.

Seperti Yang Diceritakan Lina Kepada Saya

Kisah di atas diceritakan oleh Lina, gadis mungil kelas lima SD. Saya mengetiknya langsung, sementara Lina ngoceh di sebelah saya. Memang, banyak kalimat-kalimat Lina yang tertulis dengan gaya bahasa saya.

Perihal cerita Lina, ada dua hal yang mengagetkan saya. Pertama, tentang cara dia menyampaikan 'kisah cintanya' dengan santai. Dan yang kedua, betapa perhatian dari orang-orang terdekat itu sangat penting untuk pondasi pendidikan buah hati, terlebih peran Ayah dan Ibu.

Sudah ah, saya mau merenung dulu.

Ada Banyak Cara Untuk Terbang Meskipun Kita Tak Bersayap

$
0
0

Namanya Rotan

Lihat, Rotan semakin bertumbuh besar. Sudah tahu artinya cinta, mengerti apa itu luka, dan merangkak paham pada bagaimana sebaiknya memperlakukan kerinduan. Di luar itu, Rotan masihlah seperti Rotan yang dulu, yang berwajah riang, dan yang berani memadukan warna busana.

Kepada saya, Rotan jarang melemparkan sebuah tanya. Namun, sekali bertanya, seringkali dia membawa segenggam kejutan. Hmmm, rupanya dia senang mempertanyakan hidup dan senang membaca alam raya. Tak heran jika semakin hari tulisannya semakin nampak bernas.

Saya ingat, pada 7 Maret 2011, saya pernah mengirim pesan seperti ini kepada Rotan: setiap pencinta alam punya sayap. Letaknya ada di sudut hati. Sayap itulah yang akan membawa kita terbang, sejauh mata terpejam.

Lama setelah itu, Rotan mengukir kalimat yang keren, yang kemudian saya abadikan di profil twitter. Ini yang dia tulis: Ada banyak cara untuk terbang meskipun kita tak bersayap.

Bersama Rotan, perbincangan terasa lebih segar. Segalanya tentang terbang, segalanya tentang dunia yang berwarna warni. Bahkan benang yang kusut pun akan nampak indah tatkala Rotan yang menuliskannya.

Semalam saya dan Prit mencarinya. Dia ada di trotoar alun-alun Jember, bersama sedulur pencinta alam. Bajunya basah, tapi gelas kopi ada dimana-mana. Wajah-wajah di sana tampak gembira menyambut kedatangan saya dan Prit. Oalah, ternyata Rotan sedang merayakan hari lahirnya. Dia habis diguyur air.

Selamat hari lahir ya nduk, semoga selamanya berdansa dengan alam raya. Waktunya untuk merealisasikan kalimatmu sendiri, "ada banyak cara untuk terbang meskipun kita tak bersayap."

Sudah ya, masbro dan Mbak Prit mau packing dulu, siap-siap terbang ke Jogja.

Salam Lestari!

Dari Jember ke Jogja

$
0
0
Tiket kereta api sudah ada di tangan, untuk 6 orang. Prit juga sudah packing logistik, mulai dari gula dan bubuk kopi hingga rencana mbontot di hari pertama. Biar cerita perjalanannya lebih manis, begitu katanya. Hmmm, mungkin itu adalah nama lain dari pengiritan, hehe. Tenda sudah ada, carrier juga sudah siap. Tinggal menunggu hari yang tertera di tiket kereta.


Dokumentasi oleh Faisal Korep

Jum'at, 29 November 2013

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Semua yang hendak berangkat ke Jogja pada tidur di panaongan. Tapi sebenarnya tidak satupun dari kami yang benar-benar terlelap. Uncle Lozz, Bang Faisal Korep, Pije, dan Prit, semuanya sudah berencana untuk tidur di kereta saja. Hanya Fanggi yang terlelap.

Pada dini hari, Jember diguyur hujan. Kami kelimpungan, sedikit resah. Keberangkatan kereta pukul lima pagi, sementara jarak rumah saya ke stasiun lumayan, berjarak setengah jam jalan kaki. Pukul setengah lima pagi, kami semakin resah. Satu-satunya pilihan hanyalah naik motor menerobos hujan. Ya, akhirnya itu yang kami lakukan. Dengan diantar oleh Opik dan iip, kami berbasah-basah ria. "Demi ke Jogja," kata Fanggi.

Syukurlah, kami datang di saat yang tepat. Tak lama kemudian kami sudah ada di atas kereta di gerbong nomor satu, mengibas-ngibaskan pakaian yang basah, lalu duduk sambil menikmati rintik hujan di balik jendela kereta. Pukul 05.11 WIB, kereta berangkat dari Jember menuju Jogja.

Selama di kereta, kami tidak jadi bersegera tidur, tidak seperti yang direncanakan. Sebentar-sebentar guyon, atau mendiskusikan hal-hal yang tidak penting. Ketika capek, saya memilih untuk membaca. Ketika iseng ingin menulis, saya menulis beberapa hal yang saya lihat dan rasakan selama perjalanan, di sebuah notes kecil. Isi notes tersebut penuh, namun kini saya malas untuk menuliskannya kembali. Haha, penyakit lama.

14.26 WIB, akhirnya sampai juga di Stasiun Lempuyangan. Alhamdulillah..

Cerita selanjutnya. Rombongan kecil ini memilih untuk jalan kaki saja menuju Malioboro, dan menolak dengan halus setiap tawaran dari para sopir angkot. Di tengah perjalanan, kami istirahat, membuka bekal nasi bontot, lalu makan bersama-sama. Hmmm, kata 'makan bersama-sama' mengingatkan saya pada budaya para pencinta alam.


Makan Bontotan - Dokumentasi oleh Faisal Korep

Sudah dulu ya, nanti saya sambung lagi kisahnya. Tentang pertemuan pertama dengan Mbak Dey sekeluarga, tentang wajah Prit yang memucat sebab naik mobil bareng keluarga Parompong (menuju penginapan), dan tentang malam pertama di Jogja. Sampai jumpa di postingan berikutnya.

Sedikit Tambahan

Nasi bontot adalah nasi dan lauk yang sengaja dibawa dari rumah untuk dimakan di perjalanan. Diadopsi dari bahasa lokal Jawa. Jadi, nasi bontot adalah makanan bekal, seperti anak TK yang membawa jajan ke sekolahnya. Enaknya mbontot nasi, irit dan menyenangkan.

Kopdar Blogger Adalah Kabar Bahagia

$
0
0

Di Malioboro - Dokumentasi oleh Faisal Korep

Akhirnya sampai juga kami di Maliboro. Prit terlihat bahagia, begitu juga Uncle, Pije, Bang Faisal Korep, apalagi Fanggi. Nampak wajah-wajah yang tak tampak lelah meskipun beberapa menit sebelumnya jalan kaki dari Lempuyangan, keluar masuk gang, dan tolah-toleh kesana-kemari. Suasana Jogja di sore hari memaksa semua orang untuk bahagia.

Selanjutnya. Ada kabar gembira, ternyata Mbak Dey sekeluarga juga ada di Malioboro. Uncle Lozz segera mencarinya. Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga.

Tak lama kemudian, ada mobil warna silver yang menepi tak jauh dari tempat kami nongkrong. Tampak dari luar, Uncle sedang duduk di samping pengemudi. Kemudian tampak juga Fauzan, Mbak Dey, dan Mas. Singkat cerita, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan dengan naik mobil rame-rame. Semua bergembira kecuali satu orang saja. Iya benar, Prit tampak pucat sekali. Tentu saja, sebab dia takut mabuk.

Selama perjalanan singkat menuju penginapan (di Blangkon Hotel), semua sibuk menggoda Prit hanya agar dia baik-baik saja. Berdesak-desakan di dalam mobil tidak membuat kami tak berhaha-hihi. Maya dan nyata sama saja, tidak ada yang berubah.

Ohya, ada satu cerita kecil. Gara-gara memuat banyak penumpang, mobil yang kami tumpangi kelebihan muatan. Roda belakang sebelah kirinya gembos, haha. Maaf ya Pak Supir.

Sesampainya di Blangkon Hotel, yang cowok-cowok segera registrasi. Sudah ada nama saya di sana. Pije dan Fanggi namanya juga terdaftar. Hanya Uncle dan Bang Faisal Korep yang tak terdaftar. Lho? Jadi keputusan finalnya seperti ini; semua yang dari Jember (yang tidak terdaftar) kumpul jadi satu di kamar jatah saya, B31. Ndilalah, Pije dan Fanggi juga ikutan merapat di kamar B31, meskipun mereka sudah punya jatah kamar masing-masing.

Di B31 juga ada teman sekamar yang lain, namanya Anggi Alfonso Panjaitan. Nantilah saya ceritakan di postingan yang berbeda, tapi kalau saya nggak lupa, ahaha.

Sebenarnya Prit sudah ada jatah kamar di Edu Hostel, tapi ada tawaran yang lebih membahagiakan. Iya, dia diajak barengan sama Mbak Dey sekeluarga. Tentu saja Prit suka. Dia segera memberi kabar pada salah satu panitia, untuk memberikan jatah kamarnya pada siapa saja (blogger perempuan) yang belum nemu penginapan.

Mbak Dey sekeluarga mendapat penginapan di Cristalit, di jalan Prawirotaman II, tak jauh dari tempat saya menginap, sebab Blangkon Hotel ada di jalan Prawirotaman I.

Hingga senja berganti malam, saya, Uncle, Bang Faisal Korep, Pije dan Fanggi masih nongkrong di seberang Blangkon Hotel, apalagi kalau bukan ngopi. Ngopi kali ini istimewa, karena ditemani si Ambon, teman pencinta alam yang dulu pernah main di Jember, sekarang si Ambon tinggal di Jogja. Dia datang mengendarai vespa merah hanya untuk menemani kami ngopi plus jalan-jalan di malam harinya.

Malam harinya. Masih di hari yang sama, 29 November 2013..

Dari penginapan menuju Maliobro. Ada banyak papan nama berbau Jogja yang menemani perjalanan kami. Mudah sekali menemukan tulisan-tulisan seperti Jogja Segoro Amarto, atau Sego Segawe alias Sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe.

Sekitar pukul delapan malam, kami sudah ada diantara rombongan keluarga Warung Blogger, di emperan Malioboro. Senang bisa berjumpa dengan Kang AZ, Mimi, Mbak Erry, Mbak Titik, Mbak Yun dan Mas Reynaldi, Pakde, Mas Nuzulul, Mbak Ami, Idah, MF Abdullah, dan sederet lagi. Ngapain aja? Ngobrol ngobrol dan ngobrol, hehe. Makan juga ding, nasi kucing khas Jogja.

Acara selanjutnya, jalan kaki rame-rame menuju Tugu. Di sana kami narsis berjamaah.

Pada pukul 21.03 WIB, datanglah sahabat bernama Duala Okto yang biasa dipanggil Dul. Dia menuju ke arah kami yang sedang foto-fotoan. Tak lama kemudian, kami yang dari Jember, plus Duala Okto, merayap menuju kopi joss di sekitaran Stasiun Tugu. Kawan-kawan blogger yang lain masih bertahan di Tugu Jogja untuk berfoto ria.

Jogja selalu memiliki banyak acara, tak terkecuali ketika saya kesana. Salah satu acara tersebut adalah JAFF alias Jogja Asian Film Fest. Banyak kawan-kawan muda Jember yang juga kesana, termasuk dari mereka adalah keluarga Save Gumuk Comunity. Jadi, akhirnya kita ketemuan di lesehan kopi joss, membuat diskusi kecil seputar lingkungan, lalu tak lupa eksyen di depan kamera, haha..


Dul (paling kiri) dan Save Gumuk Comunity

Selesainya dari kopi joss, kami jalan kaki rame-rame menuju Malioboro, tempat dimana Dul memarkir mobilnya.Nah, sesampainya di mobil, ada cerita seru. Yang mengemudi cewek, sedangkan yang diangkut kaum Adam semua, haha..

Satu lagi. Waktu itu Jumat malam Sabtu, jadualnya car free day. Di sana-sini ada terlihat sepeda kayuh berbagai model. Di Malioboro Jalan Mangkubumi juga rame, tempat mobil diparkir. Ketika mobil mulai dijalankan, nggak sampai satu meter sudah terasa sesuatu. Roda depan sebelah kanan seperti sedang menubruk gundukan. Benar saja, ternyata mobil yang kami tumpangi sedang menabrak roda sepeda gunung milik seorang pemuda ABG Jogja. Aaah, kenapa dia memarkir sepedanya tepat di bawah mobil ya? Dan kenapa kami tak melihatnya sebelumnya? Entahlah, tapi bagaimanapun juga itu adalah cerita tersendiri yang akan saya bawa pulang ke Jember.

Terima kasih Duala Okto, Yongki Gigih, Adam Al Farisy, Ambon, dan semua kawan-kawan yang menemani kami nyruput kopi joss. Malam itu benar-benar joss dan maknyoss.

Sabtu, 30 November 2013 pukul 00.30 WIB

Ada Mas Ade Truna masuk kamar saya, di B31. Dia memberi kabar yang dia dengar dari panitia, bahwa acara pagi hari berubah. Yang harusnya ke keraton berubah menuju Sleman, ke Joglo Abang. Ah, kenapa berubah ya? Mas Ade juga tidak tahu menahu kenapa acaranya berubah.

Paginya, sekitar pukul 08.20 WIB, bus-bus sudah mulai berangkat dari Blangkon Hotel menuju Sleman. Prit harap-harap cemas menunggu kedatangan Adam, anak Jember yang kuliah di seni rupa Jogja. Alhamdulillah, datang juga si Adam. Prit merona-rona.

Ohya, hampir lupa. Ini tentang perjumpaan pertama dengan Mbak Nchie dan lain-lain. Waktu itu kita langsung foto-fotoan lho. Ahaha.. belum ngobrol apa-apa sudah jeprat jepret.


Kopdar Blogger Adalah Kabar Bahagia

Hmmm, mau cerita apalagi ya? Ketika di Joglo Abang? Ahaha, saya tidak 100 persen menyimak jalannya acara. Mungkin karena sedari awal yang saya imajinasikan adalah suasana keraton, jadi saya kehilangan greget di rangkaian acara Joglo Abang. Itulah kenapa akhirnya saya memilih untuk mojok, nongkrong, dan bikin kopi. Kemudian jalan-jalan di sekitar, mencari capung, bercengkerama dengan beberapa penduduk setempat, lalu kembali nyruput kopi.

Hihi, bicara tentang acara di Joglo Abang, tiba-tiba saya teringat akan Mimi Radial. Waktu itu sesi makan siang, Mimi ngeloyor begitu saja di meja prasmanan. Dia ambil ini itu, kemudian makan. Lezat? tentu saja. Lha wong waktu saya melewati meja itu juga ikut menelan ludah, pengen. Ternyata Mimi salah, itu bukan konsumsi (makanan) untuk peserta, melainkan konsumsi untuk panitia, haha. Tapi tidak apa-apa, Mimi datang jauh-jauh dari Jambi, dia harus istimewa. Lagian kalau ambil jatah peserta (nasi kotak), Mimi pasti kurang, ahahaha.

Bisa jadi catatan juga bagi kita semua, kalau bikin acara kopdar berskala lumayan dan jatah konsumsi untuk panitia dan peserta dibedakan, ada baiknya supaya peserta tidak tahu, agar tidak membuat ngiler, hehe. Sudah, abaikan alenia ini.

Siap-siap menutup tulisan..

Untuk postingan selanjutnya, akan saya ceritakan bagaimana suasana hati Prit ketika dia terjebak di tengah-tengah chaos antara warga setempat dan panitia yang tersisa di sana. Prit semakin merasa takut (dan tetap sendirian) sebab banyak orang yang semburat. Ada rombongan sepeda motor yang tiba-tiba kabur. Nekat, Prit mencegat salah seorang pemuda setempat dan meminta tolong untuk mengantarkannya ke saya. Pemuda yang dicegatnya bingung, antara membantu Prit atau turut serta rekan-rekannya untuk mengejar mereka yang lari. Alhamdulillah, akhirnya dia memilih untuk mengantarkan Prit. Terima kasih Mas, siapapun Anda.

Kopdar blogger adalah kabar bahagia, maka nantikan juga kisah tentang Homestay 17 di Desa Wisata Tembi.

Dadaaaah, twing!

Prit Punya Cerita

$
0
0

Sesampainya di Joglo Abang - Dokumentasi oleh Bang Faisal Korep

Memang, tidak sedikit cerita tentang Joglo Abang. Mulai dari menyanyikan lagu Indonesia Raya, kopdar sana-sini, membongkar carrier, ambil nesting, kompor lapang, tabung gas, gula dan kopi, narsis berjamaah, si kecil Noofa yang cantik, hingga join kopi di sudut kanan belakang Joglo. Tapi saya sedang ingin meloncati kisah-kisah itu. Ada yang lebih keren, tentang detik-detik terakhir ketika hendak meninggalkan Joglo Abang, Sleman, menuju Desa Tembi.

Jadi ceritanya, jadual acara kembali berubah. Keberangkatan dari Joglo menuju Desa Wisata Tembi dipercepat dua jam dari jadual yang sudah ditentukan. Saya dan Uncle senang, karena memang sudah gerah berlama-lama di sana. Kami butuh mendirikan tenda, membuat kopi, dan butuh suasana yang berbeda.

Kesibukan selanjutnya adalah packing. Ada juga sesi mencari-cari jam tangan Mbak Susindra yang hilang. Setelah dicari kesana kemari, tidak juga berhasil. Eh, tidak tahunya jam tangan yang dimaksud ada di kantong Mbak Susindra, ahaha.

Sabtu, 30 November 2013 pukul 20.45 WIB

Ketika rombongan kecil dari Jember plus Mbak Susindra siap berangkat menuju bus-bus yang diparkir, datang sebuah berita dari si cantik Fitri Rosdiani. Tasnya kesingsal, tak lagi ada di tempat yang semestinya. Melihat ekspresi wajahnya, tak tega untuk terus berlalu ke arah bus dan meninggalkan Fitri sendiri.

Sementara Uncle Lozz konfirmasi ke salah satu panitia, Pije dan Bang Faisal Korep memeriksa tumpukan tas, saya hanya bengong di dekat Fitri Rosdiani yang juga bengong. Anehnya, panitia yang ada di dekat saya juga ikut-ikutan bengong, ahaha.

Dicari kesana kemari, tas belum juga ditemukan. Kata panitia, semua tas dikumpulkan jadi satu, dan bisa diambil sesampainya di Desa Tembi. Kata si Fitri, "Tapi kan saya nggak ikut ndaftar jalan-jalan, jadi tas saya taruh di sini," ujarnya sambil telunjuk tangan kanannya menunjuk ke satu tempat.

"Kok nggak ada pemberitahuan sebelumnya? Tadi saya motret di pagelaran seni. Sekembalinya kemari, tahu-tahu udah pada sepi."

Syukurlah, salah seorang panitia meyakinkan Fitri bahwa tasnya sudah diangkut menuju Desa Tembi. Fitri menjadi sedikit terhibur. Selanjutnya, kami rame-rame menuju bus yang masih parkir.

Sementara itu, pada pukul 21.11 WIB, Prit sudah dibonceng salah satu panitia. Saya hafal wajahnya, sebab dia adalah panitia pertama yang saya temui di Stasiun Lempuyangan ketika kami baru saja menginjakkan kaki di Jogja.

Garis Besar Cerita

Prit tidak terbiasa naik bus, dia pemabuk. Berhubung panitia menyediakan beberapa bus untuk memboyong peserta BN 2013 dari Joglo Abang menuju Desa Wisata Tembi, maka kami mencarikan Prit tumpangan sepeda motor ke panitia. Syukurlah, ada beberapa panitia yang bersedia mengantarkan Prit naik motor menuju Tembi. Terima kasiiih..

Tapi Prit masih harus menunggu, sebab panitia masih disibukkan menata tas-tas para peserta (yang sangat banyak), dan menyiapkan ini itu demi kelancaran acara. Nah, selama proses menunggu itulah, ada sebuah kejadian, mungkin salah paham, antara segelintir panitia dan pemuda setempat. Iya, terjadi chaos, dan Prit ada tepat disamping kekacauan itu.

Prit ketakutan, asmanya kumat. Di saat yang seperti itu, ada dua pemuda setempat yang membantunya untuk mengantarkan Prit ke tempat dimana saya berada, di salah satu bus. Kisah detailnya akan dipaparkan oleh Prit di bawah ini.

Prit Bercerita

Pada awalnya, sedari siang saya janjian mau dibonceng oleh Mas Furqon (MF Abdullah) menuju Desa Tembi. Karena jadwal berangkat ke Desa Tembi dimajukan 2 jam sebelumnya (awalnya berangkat pukul 22.00 WIB), pikiran saya pun kacau balau. Di benak saya berkelebat bayangan bis-bis yang menyeramkan itu. Akhirnya saya pun sms ke Mas Opik Aja, mau nebeng naik motornya ke Desa Tembi. Tak berapa lama, dia membalas bahwa dia sudah di Desa Tembi.

Terus terang waktu itu saya langsung mual. Sudah membayangkan naik bisa menuju Desa Tembi. Uncle Lozz dan suami mencari solusi kesana kemari. Akhirnya, ada satu panitia yang sanggup membonceng saya hingga ke tujuan. Saya sendiri tidak begitu hapal wajahnya. Karena malam itu, di deretan bis-bis yang parkir memang agak gelap. Akhirnya saya dibonceng.

Ketika melewati bis deretan Bulik Uniek, saya masih sempat melambai-lambaikan tangan sambil berteriak Buliiiikkkkk....
.
Awalnya saya pikir mas panitia yang bonceng saya itu langsung menuju ke Desa Tembi. Ternyata masih berhenti dulu di pertigaan sebelum musholla. Disana sudah ada banyak rombongan yang naik motor. Saya tidak bisa melihat jelas wajah mereka. Suasananya gelap. Saya pikir, mereka juga panitia atau rombongan blogger yang naik motor dan tidak tau arah ke Desa Tembi. Kata mas panitianya saya disuruh menunggu dulu disitu. Ternyata agak lama juga menunggu. Sekitar setengah jam.

Kemudian tiba-tiba Mas Opik sms kalau dia sudah ada di Desa Tembi dan menanyakan apakah saya jadi nebeng motornya. Setelah berpikir lumayan lama, saya pun mengiyakan ajakan tersebut. Perhitungan saya, lebih baik bareng Mas Opik karena sudah kenal lebih dulu. Sedangkan sama mas panitia itu saya belum kenal sama sekali dan wajahnya pun tidak jelas bagi saya. Akhirnya Mas Opik pun mendatangi saya di pertigaan tersebut. Dia bilang tadi masih ngangkut konsumsi. Mas opik menyuruh saya menunggu disitu, karena dia mau ambil motor yang diparkir di seputaran Joglo Abang.

Selama Mas opik pergi mengambil motor, saya bilang ke mas panitia yang rencananya mau mbonceng tadi. Saya bilang, saya gak jadi nebeng bareng. Karena mau diantar Mas Opik ke Desa Tembi. Saya utarakan juga, takut mengganggu panitia yang malam itu memang bener-bener sibuk. Mas panitia itu pun mengiyakan. Saya lega.

Tak berapa lama, terdengar teriakan. Awalnya dari satu orang. Kemudian berakumulasi menjadi banyak. Saya sendiri tidak tahu siapa yang berteriak. Rombongan motor yang ada di sebelah saya, termasuk Mas panitia itu pun langsung tancap gas entah kemana. Tinggal saya sendirian yang masih terkaget-kaget dengan teriakan itu.

Dalam kegelapan, saya melihat orang yang berteriak-teriak itu dihampiri oleh 2-3 orang. Kalau dilihat dari gelagatnya sih panitia, soalnya memakai id card bertali merah. Tapi saya tidak tahu itu siapa. Karena memang sedari awal panitia dan peserta tidak membaur. Hanya beberapa orang yang kita kenal saja yang benar-benar membaur.

Begitu mereka menghampiri orang yang berteriak itu, beberapa orang langsung mengepung mereka. Dari bahasanya saya menduga yang berteriak-teriak itu adalah warga sekitar. Komunikasinya kurang jelas, saya hanya mendengar teriakan-teriakan marah.

Saya menelpon suami dengan keadaan panik, dan tak bisa berkata apa-apa, karena asma saya kambuh. Dada saya mendadak sesak, karena merasa sendirian.

Takut terjadi apa-apa, saya pun bersandar di dinding pagar sambi mencoba mengatur nafas. Tetap tidak bisa. Masih begitu sesak. Tak jauh dari tempat saya, ada dua orang pemuda (kira-kira seusia SMA) yang hendak bergabung dengan kepungan massa itu. Saya mencoba menghalangi mereka. Saya berkata kepada mereka sambil menahan nafas yang terengah-engah. Menahan sesak itu memang menyakitkan. Dengan terbata-bata saya berkata pada mereka, minta tolong diantarkan pada bus deretan depan dimana suami saya berada. Akhirnya mereka berdua mengantarkan saya menuju bus deretan depan.

Entah pada bis yang ke berapa, saya bertemu dengan Om Aldi (suami Mbak Yuni). Dia menanyakan pada saya kenapa kembali, tapi karena sesak nafas, saya tidak bisa menjawabnya. Hanya tangan saya melambai-lambai padanya. Belum sampai ke bis suami, saya sudah melihat bayangannya. Saya memeluknya sambil berusaha mengatur nafas agar kembali stabil. Suami pun berterima kasih kepada salah satu pemuda lokal yang mengantarkan saya tadi. Entah satunya lagi ada dimana, tiba-tiba menghilang.

Dada saya masih teramat sesak, suami membawa saya masuk ke dalam bis. Saya nurut saja, karena ada yang berteriak menyuruh kami semua masuk ke dalam bis. Dalam nafas yang terbata-bata, saya bercerita kepada suami tentang kronologis kejadian itu.

Tak berapa lama, Mas Opik sms, menanyakan posisi saya dimana, karena dia mencari-cari di tempat tadi sudah sangat ramai sekali. Saya pun menunjukkan posisi, tak berapa lama dia menghampiri kami di bis. Akhirnya suami pun titip minta saya dibonceng ke Desa Tembi.

Ketika ada di atas motor, saya perlahan mulai bisa mengatur nafas. Mungkin karena sudah menjauhi tepat kejadian. Waktu itu Mas Furqon sempat sms, menanyakan apakah sudah ada yang mengantarkan saya ke Tembi. Saya pun menjawab kalau saya diantar oleh Mas Opik.

Setelah ketemu Mas Furqon di Desa Tembi, dia bercerita bahwa sebenarnya dia sudah ada di Joglo Abang untuk menjemput saya. Tapi ketika mau masuk, dari arah depan pintu masuk dipalang oleh warga sekitar. Melihat ada yang tidak beres, akhirnya Mas Furqon pun langsung melaju ke Desa Tembi.

Semua Sudah Berlalu

Mendengar cerita yang dituturkan oleh Prit, tak terbayangkan rasanya. Iya saya masih ingat bagaimana ekspresi wajahnya ketika pertama kali kami berjumpa. Ah, saya jadi merasa kecil dan bersalah sebab tak ada di dekatnya di saat yang dibutuhkan. Saya juga masih ingat, gara-gara kejadian itu, bus segera diberangkatkan. Kasihan Pak Sopir, dia harus melalui jalan-jalan kecil yang tak seharusnya, hanya demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Syukurlah ada Uncle Lozz. Setiap kali ada persimpangan kecil, dia turun ke jalan, bertanya sana-sini, untuk kemudian menyampaikan info yang didapat kepada Pak Sopir.

Pada pukul 22.00 WIB, bus sudah menemukan jalan besar. Alhamdulillah.

Semua sudah berlalu. Satu-satunya yang bisa saya ucapkan pada Prit adalah memberinya harapan bahwa di Desa Tembi nanti semua akan baik-baik saja. Itulah sebabnya, sesampainya di Tembi, kami menolak untuk dipencar-pencar. Harus kumpul jadi satu. Kembali kepada kalimat usang, makan nggak makan asal kumpul, ahaha.

Berkat bantuan Mas Firdaus, juga berkat kegigihan Uncle Lozz dalam berargumentasi, serta atas kebaikan panitia, akhirnya kami kumpul juga, di rumah Bapak Darman. Homestay 17. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan. Meski demikian, ada harga yang harus saya bayar, yaitu pura-pura tega meninggalkan Fitri Rosdiani. Harusnya dia satu homestay dengan Prit, di homestay 5. Maaf ya cantik.

Ingin tahu apa saja yang terjadi di Homestay 17? Tunggu postingan saya selanjutnya. Terima kasih.

Homestay Tujuh Belas

$
0
0

Di Pelataran Homestay Tujuh Belas - Dokumentasi oleh Faisal Korep

Saya datang dengan tidak membawa apa-apa, tapi pulang membawa segenggam kenangan. Iya, di sini, di Homestay Tujuh Belas. Jika dilihat dari ukurannya, kediaman keluarga Pak Darman ini tak bisa dibilang sangat luas, namun cinta dan kesederhanaanlah yang membuatnya tampak luas tak berbatas. Mungkin juga karena momentumnya yang pas.

Berhiaskan dua tenda warna pastel, aroma gas elpiji, dan suara klunting-klunting yang dihasilkan oleh pertemuan antara sendok dan gelas kaca, membuat Homestay Tujuh Belas tampak berbeda. Entah apanya yang berbeda, saya tidak bisa menjelaskan. Atau hanya perasaan saya saja? Mungkin.

Malam yang melelahkan, harusnya kami bersegera tidur. Tapi bersenda gurau adalah pilihan yang menggiurkan. Saya semakin bersemangat menikmati malam ketika melihat kedua ujung bibir Prit terangkat ke atas. Senang melihatnya tersenyum.

Senda gurau semakin seru manakala Uncle Lozz mengoda Mas Misbachudin Dink dengan guyonan-guyonannya yang maknyoss. Mas Reynaldi pun turut menyumbang tawa.

Pada akhirnya saya dan Prit memilih untuk memejamkan mata. Tidak di dalam tenda, sebab tenda warna merah bata sudah ditempati Pije dengan posisi tidur yang egois, ahaha, bercanda. Tidak apa-apalah tidur di kasur, meski tetap ada keinginan tidur tenda. Tak tega saya membangunkan orang yang sudah terlelap.

Selanjutnya..


Saya dibangunkan oleh pagi, pun begitu dengan Prit. Badan ini segar rasanya, apalagi setelah saya memutuskan untuk mandi pagi. Hah, mandi pagi? Itu bukan saya. Aneh, di Homestay Tujuh Belas saya tak lagi merasa malas mandi.

"Nyenyak Mas tidurnya?"

Saya mengangguk, melempar senyum, lalu menerawang. Mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dulu pernah diucapkan oleh Bapak Zainuddin MZ, bahwa kita bisa membeli kasur yang empuk tapi tidak bisa membeli tidur yang nyenyak. Wew, pagi-pagi sudah merenung.

Ketika sinar mentari semakin meninggi, sedulur blogger yang datang ke Homestay Tujuh Belas semakin banyak, silih berganti. Hari yang alangkah indahnya.

Hmmm, mau nulis apa lagi ya? Macet. Ternyata tulisan 'homestay tujuh belas' tak sebanyak yang saya rencanakan, hehe. Sudah ah, nanti saya sambung lagi dengan kisah yang berbeda.

Salam istimewa!

Fanggi Hanya Ingin ke Jogja

$
0
0

Saya dan Fanggi

Namanya Fanggi. Dia masih muda, baru lulus SMA tahun ini, 2013. Saya baru mengenalnya pada akhir September yang lalu, ketika kawan-kawan Save Gumuk Community menghadiri undangan diskusi di Pencinta Alam SMAN 1 Kalisat, tempat dimana dulu Fanggi sekolah.

Terlahir pada 13 Agustus 1995, memiliki vokal yang bagus, pandai melukis dan merias body painting, bisa membuat sangkar burung sendiri, serta beberapa talenta seni yang lain, itulah gambaran bungsu dari tiga bersaudara ini. Tapi dia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. "Kasihan Mama," begitu katanya ketika saya bertanya.

"Fanggi, cita-citamu apa?"

"Saya ingin ke Jogja Mas. Hanya itu cita-cita saya sejak kecil."

Ah, Fanggi, bisa aja kau ini, batin saya dalam hati. Di saat kawan-kawannya yang lain berbondong-bondong kuliah, ingin menjadi ini itu, Fanggi malah meletakkan mimpinya pada sesuatu yang harusnya bisa dia jangkau dengan lebih cepat.

Kemudian saya mengajaknya ke Jogja, menghadiri acara Blogger Nusantara 2013. Saya masih ingat betul ekspresi wajah Fanggi kala itu. Iya benar, dia tampak senang. Tak lama kemudian, ada saya dengar kabar, Fanggi menjual sangkar burung buatannya sendiri, agar dia bisa membeli tiket kereta Logawa PP Jember - Lempuyangan.

Hari keberangkatan pun tiba.

Selama di dalam kereta api, mata Fanggi melahap semuanya. Dia ibarat seorang penulis yang lapar akan ide-ide segar. Hmmm, rupanya Fanggi sedang belajar membaca keadaan. Bagus untuk Fanggi. Selamat datang di Universitas Alam Raya ya le. Semoga kau bisa menjadikan semua orang sebagai gurumu, dan setiap tempat sebagai sekolahmu. Tak ada lembar ijasah yang ditawarkan, hanya remah-remah ilmu pengetahuan. Dan entah, akan menjadi apa dirimu nanti, tergantung bagaimana kau memahat jiwa dan memperlakukan kehidupan.

Melihat Jogja Lebih Lambat

Di Stasiun Lempuyangan, meskipun rombongan kecil dari Jember langsung berjumpa dengan panitia #BN2013, namun kami tetap memilih jalan kaki menuju Malioboro. Kabar baik untuk Prit yang hobi mabuk kendaraan, meskipun sebenarnya 'jalan kaki' adalah hadiah untuk Fanggi, agar dia bisa melihat Jogja lebih lambat. Berharap, Fanggi akan memberi penilaian pada kota impiannya dengan detail.

Selanjutnya, jalan kaki adalah pilihan favorit bagi kami semua, tak hanya untuk Fanggi. Dari Hotel Blangkon ke penginapannya Mbak Dey jalan kaki, lalu kembali ke Malioboro juga jalan kaki. Dilanjut jalan kaki ke Stasiun Tugu demi secangkir kopi jos. Di waktu yang lain, kami jalan kaki dari Ngabean ke Nol Kilometer Jogja, kemudian meneruskan jalan kaki dari Nol Kilometer ke Benteng Vredeburg, menghadiri acara kawan-kawan MAPAGAMA. Dari Benteng Vredeburg lanjut lagi ke sekretariat Pencinta Alam Satu Bumi di FT UGM, juga jalan kaki. Paginya masih memilih jalan kaki dari sekretariat Pencinta Alam Satu Bumi ke Stasiun Lempuyangan.

Sesampainya di Jember

Apakah sudah selesai? Tidak juga. Dari Stasiun Jember menuju rumah saya, masih juga jalan kaki. Berharap, Fanggi bisa memberi pandangan yang akurat, perbedaan antara suasana di Jogja dengan keadaan di kota kelahirannya sendiri. Dengan begitu, saya tidak perlu repot-repot menjejali Fanggi dengan setumpuk cerita hingga mulut ini berbusa.

Iba melihat wajah Fanggi yang berlumur keringat, saya berinisiatif untuk mengajaknya nongkrong dulu di Pujasera Jember. Ahaha, rupanya dia senang, langsung ambil posisi selonjor. Ah, Fanggi. Di sini kami kembali ngobrol, di suasana hati yang masih kejogja-jogjaan.

Bagaimana dengan cita-cita Fanggi? Bukankah sekarang dia sudah takpunya cita-cita? Apalah arti seorang anak manusia jika hidupnya gersang akan harapan. Ternyata Fanggi masih memelihara sebuah mimpi. Kali ini dia berkata dengan lantang, "Saya ingin tinggal dan berkarya di Jogja." Wew, rupanya dia tidak main-main.

Lagi seru-serunya berbincang di Pujasera, ada kawan datang menjemput kami. Mas Bajil dan si Nyeg, kawan-kawan dari Kalisat. Mereka menawarkan untuk mengantar kami hingga ke tujuan, tapi saya menolak dengan halus. Saya bilang, kami masih ingin jalan kaki. Begitulah, pada akhirnya kami hengkang dari Pujasera, dan kembali jalan kaki.

Selama perjalanan menuju rumah, kami berhenti di satu dua titik sebab berjumpa dengan beberapa rekan. Seorang sahabat bernama Harto tak tega melihat saya, Prit, Bang Faisal Korep, dan Fanggi jalan kaki. Dia menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada saya. Ketika saya katakan, kami memilih jalan kaki hanya karena ingin menikmati hidup, Harto tak percaya. Ya sudah, akhirnya uang itu masuk ke kantong saya, ahaha.

Lalu kami kembali merayapi jalan-jalan sepi di Jember. Berjarak sekitar dua ratus meter dari tempat nongkrongnya Harto, saya bertemu dengan Mbudi. Rupanya dia sedang nongkrong di Pertigaan Bayangkara. Gila, dia juga menawari saya selembar uang. Apakah wajah saya semelelahkan itu? Ahaha. Untuk kali ini, saya tidak berkompromi. Saya menolaknya.Syukurlah dia mau mengerti.

Setibanya di rumah, masing-masing dari kami langsung beres-beres. Cuci muka, bikin minuman hangat, untuk kemudian kembali berkumpul dan berbincang. Ohya, hampir lupa. Ketika saya tiba di rumah, sudah ada seorang kawan menunggu saya di panaongan, Dodon namanya. Dia memberi kabar tentang kondisi perkembangan lingkungan di Jember yang semakin membusuk. Ah, Dodon, padahal saya baru saja tiba.

Kembali ke Fanggi

Saya tidak bisa memberikan lebih kepada Fanggi. Hanya itu saja. Sederhana dan apa adanya. Tapi saya yakin, perjalanan memberinya banyak hal. Semoga saja benar, semoga Fanggi telah didewasakan perjalanan. Semoga dia bisa mengambil hikmah dari setiap langkah-langkah kakinya, dari setiap peluh yang menetes, dan dari setiap perjumpaan dengan para sahabat blogger. Sengaja saya membiarkan Fanggi untuk menyulam ceritanya sendiri.

Tersenyumlah Fanggi, jalanmu masih panjang. Pahatlah dirimu menjadi seperti yang kau inginkan. Dan, semoga cita-citamu tercapai, tinggal di Jogja dan berkarya. Amin Ya Robbal Alamin.

Satu Bumi

$
0
0

Senja di Nol Kilometer Jogja

Selain matahari terbit, ada satu lagi suasana yang bisa dengan mudah membuat kita jatuh cinta. Itulah senja. Tak sedikit pegiat seni yang mengeksplorasi senja hanya karena ingin mengabadikan keindahannya. Senja ada dimana-mana. Kadang dia terlihat di pantai, pegunungan, areal persawahan, di celah-celah bangunan kuno, dan di segala tempat yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya.

1 Desember 2013, saat senja datang..

Saat itu saya sedang ada di Nol Kilometer Jogjakarta. Angin berhembus mesra, semesra cara pedagang kopi keliling menawarkan dagangannya. Sementara di depan mata, ada barisan mahasiswa-mahasiswi Jogja yang sedang melakukan aksi damai, terkait hari AIDS. Rupanya mereka sedang melakukan aksi teatrikal dan juga long march. Secara kolektif, mereka melakukan ajakan yang tak kalah mesra dengan tawaran pedagang kopi. Iya, mereka mengajak masyarakat untuk menghindari penularan HIV/AIDS, dan tidak diskriminatif terhadap ODHA.

Saya di sudut Nol Kilometer, di tempat yang strategis. Duduk di samping saya dua blogger asal Sukabumi (adik-adiknya Kang Gerri), apikecil, Uncle Lozz, Fanggi, Nandini, Una, Mimi Radial, Bang Korep, Mas Firdaus, dan kawan-kawan pencinta alam Jogja yang berjumpa dengan kami secara tak terduga. Tidak terduga bagaimana? Begini ceritanya.

Waktu itu saya dan Bang Korep sedang asyik nyruput kopi sambil melahap senja yang gurih. Tiba-tiba tak jauh dari kami ada lelaki muda berambut gondrong berkemeja flanel, dia sedang memandangi Bang Korep. Saya heran. Semakin heran ketika Bang Korep yang menyapanya duluan, dengan keraguan yang sempurna.

"Anak Satub ya?"

Dan segalanya pun mencairlah sudah. Iya benar, pemuda gondrong yang dimaksud tersebut memang anak Satub (sebutan untuk pencinta alam Satu Bumi Fakultas Teknik UGM), namanya Sentot. Kemudian kami terlibat perbincangan yang panjang. Sebagai awalan, kami lebih banyak memberi jawaban, kawan-kawan Satub yang melempar tanya. Dan pertanyaan yang selalu mereka ulang-ulang adalah, "Tidur dimana?"

Sedari awal, kami rombongan kecil dari Jember berniat untuk tidur di emperan Nol Kilometer saja, sekalian menemani adik-adiknya Kang Gerri yang dari Sukabumi (entah siapa nama mereka berdua, saya lupa). Bahkan meskipun sudah ada tawaran untuk bermalam di kediaman Mbak Anazkia yang di Jogja, kami tetap ada maksud untuk menikmati malam hingga pagi di Nol Kilometer. Hehe, maaf ya Mbak Anazkia, dan terima kasih.

Saya sungguh paham karakter pencinta alam, begitu pula dengan sedulur Satu Bumi. Kami dibesarkan dengan azas pencinta alam yang sama. Mudah untuk menebak alur pemikiran mereka. Iya, kawan-kawan Satub sedang mengulurkan kemesraannya pada kami. Jawaban terbaik yang ingin mereka dengar adalah kesediaan kami untuk singgah dan berteduh di sekretariat Satu Bumi. Pada akhirnya, kami menjawab demikian, setelah mengerti bahwa Kang Gerri akan menjemput kedua adiknya dan pulang satu mobil menuju Sukabumi. Kepada Mbak Anazkia saya sampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya.

Selanjutnya..

Kami tidak segera merapat ke sekretariat Satu Bumi, melainkan masih menanti Pije. Dia sedang menemani duo gadis yang baru kita kenal, Ria dan Shanty. Mereka sedang berbelanja. Tak dinyana, dua gadis cantik itu akhirnya turut juga bersama kami, bermalam di Satu Bumi. Namun sebelum itu, kami merapat dulu di acara pameran foto dan pemutaran film Pencinta Alam MAPAGAMA, bertempat di Benteng Vredeberg, tak jauh dari Nol Kilometer Jogja. Setelahnya, masih merapat pula di lesehan kopi joss dekat Stasiun Tugu.

Saya, Uncle Lozz, Pije, Bang Korep, Fanggi, dan Sentot Satub, memilih untuk jalan kaki kesana kemari, hingga di tujuan akhir, sekretariat Satu Bumi. Alangkah indahnya menikmati suasana Jogja dengan durasi yang lambat.

Berteduh di Satu Bumi

Meskipun masih muda, sewaktu sekolah di SMA Negeri 1 Kalisat, Fanggi aktif di organisasi pencinta alam EXPA. Saya dan istri, Uncle Lozz, Bang Korep, juga terbiasa tidur di mana saja, apalagi di markasnya pencinta alam. Kami ibarat kembali pulang ke habitatnya, ahaha. Untuk Pije, kiranya dia cepat beradaptasi. Tapi bagaimana dengan dua kenalan baru kami yang cantik-cantik? Iya, malam itu saya berdoa untuk Ria dan Shanty, semoga mereka berdua tidur nyenyak.


Pagi, Satu Bumi, Ria, Prit dan Shanty

Sinar mentari pagi menembus celah-celah jendela sekretariat Satu Bumi. Satu persatu dari kami terbangun dan bersegera menyambut udara pagi. Tak lama kemudian, ada saya lihat Ria dan Shanty juga terbangun. Alhamdulillah, semoga semalam mereka terlelap, mimpi indah, dan nyenyak.

Ria dan Shanty, dua teman yang baru saja saya kenal, dengan perjumpaan yang singkat pula. Tapi dari yang singkat itu ada melahirkan cerita. Sederhana. Yaa, meskipun bukan kisah yang panjang, setidaknya ada yang bisa kita obrolkan semisal nanti mereka berdua singgah di kota kecil Jember, Amin.

Oke lanjut. Kemudian mentari semakin meninggi, sementara tiket kereta api tak bisa ditunda. Pukul sembilan pagi saya, Fanggi, Prit, dan Bang Korep harus segera merapat di Stasiun Lempuyangan. Sementara Uncle dan Pije hendak meneruskan petualangan kecilnya di dua titik yang berbeda.

Sebelum jalan kaki ke stasiun (kami sendiri yang memaksa untuk berjalan kaki), si Sentotmembelikan kami sarapan pagi. Ah, bahagianya bisa makan bersama-sama di Satu Bumi. Terimakasih. Lalu kami segera berpamitan pada keluarga Satu Bumi, juga pada Uncle Lozz, Pije, Ria dan Shanty, yang jadual kepulangannya berbeda.

Ohya, perjalanan dari Satu Bumi ke stasiun masih ditambahi embel-embel salah jalan, hampir putus asa naik taksi lantaran takut ketinggalan kereta (tak terbayangkan betapa cemberutnya Prit kala itu, hanya karena mendengar kata 'taksi' disebut-sebut). Syukurlah, akhirnya sampai juga jalan kaki ke Stasiun Lempuyangan. Horeee...

Kemudian kami sudah ada di atas kereta. Tak lama setelahnya, kereta merambat pelan, mengantarkan kami berempat kembali pada pelukan kota kecil Jember. Terima kasih Jogja, terima kasih panitia Blogger Nusantara, terima kasih sahabat blogger, terima kasih Satu Bumi, terima kasih semuanya tanpa terkecuali.

Salam Lestari!

Sepulang Dari Jogja: Menstruasi dan Mimpi Basah

$
0
0
Senin malam, 2 Desember 2013, kembali pulang ke pelukan kota seribu gumuk, Jember. Di rumah, sudah ada dua kawan menanti. Ngopi? Iya ngopi lagi. Bedanya, kali ini menikmati kopi 'deplok' aroma lokal, bukan kopi joss yang seperti di angkringan tugu Jogja, hehe.

Esok harinya, saya dan Prit kembali ke aktifitas seperti biasa. Kembali bercanda dengan kawan-kawan kecil yang saban sore selalu datang berkunjung ke rumah singgah panaongan. Tidak ada yang berubah. Esok dan esoknya lagi masih juga saya sempatkan untuk jalan-jalan ke pinggiran kota Jember, silaturrahmi ke rumah kerabat.

Ritme-ritme keseharian lainnya juga masih tak jauh berbeda. Cangkruk'an di pinggir sawah, belajar bersama capung dan warga sekitar, menikmati diskusi-diskusi ringan bersama rekan, sesekali mengantarkan Prit berbelanja (kalau pas dia lagi pengen memasak), dan masih sederet lagi.

Jum'at, 6 Desember 2013..

Bermodal bensin satu liter, saya dan Prit cuci mata naik motor dari pelataran rumah hingga kemana-mana, dan berlabuh di kediaman Pak Husein, kepala kampung di sebuah dusun di Kalisat, Jember Utara. Di sana kami terlibat obrolan ringan tentang apa saja, mulai dari gumuk hingga kisah rekan Pak Husein yang pernah menjadi buruh tambang emas di Papua. Sesekali kami mentertawakan kekonyolan penyelenggara negeri ini dalam mengolah kekayaan tanah, air, dan udaranya. Di lain waktu, tampak orang-orang memasang mimik wajah konsentrasi ketika mendengarkan saya bicara. Aneh, padahal saya selalu merasa ngomong dengan santai dan apa adanya.

Kemudian saya dan Prit meluncur pulang. Hari sudah larut malam, sementara spedo motor kelip-kelip pertanda bensin sudah akan habis. Ah, baru ingat, kami tidak membawa uang. Syukurlah saya mempunyai istri yang keren, yang seringkali menyelipkan lembaran uang di tempat yang tidak saya sangka-sangka. Begitulah, hidup terus berjalan.

Minggu, 8 Desember 2013..

Kami mengalami hari yang padat. Terlalu banyak acara, terlalu sedikit waktu. Jadi, saya harus memilih. Begitulah hidup, kita tidak mungkin bisa membahagiakan semua orang, karena sayap kita tak selebar itu. Harus dibuat keputusan. Setelah keputusan diputuskan, maka logikanya akan ada saja yang terputus. Yang tersisa tinggal rasa tanggung jawab kita. Aduh, ngomong apa saya ini. Abaikan!

Ohya, sebelum lupa. Selamat atas usainya reformasi kepengurusan di pencinta alam SWAPENKA, 8 Desember 2013. Senang bisa turut hadir di agenda bersejarah tahunan tersebut. Sukses buat Mas Arus sebagai ketua umum baru, menggantikan ketua umum lama, Mas Bringin. Ahaha, namanya aneh-aneh ya, tapi penuh filosofi. Itulah penggalan kecil budaya di dunia pencinta alam.

Di hari yang sama dan di tempat yang berbeda, Prit sedang menjadi moderator di acara yang bergizi, Talkshow Bank Sampah. Diadakan oleh kawan-kawan OPA MAHADIPA, di Auditorium Fakultas Teknik Universitas Jember. Konon menurut cerita Sentot Mahadipa (salah satu panitia), Prit sukses menjalani perannya hingga bisa memancing para pembicara dari Kantor Lingkungan Hidup, DPU Cipta Karya, dan Bank Sampah Banyuwangi (yang dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan) untuk menyuarakan statemen tentang Bank Sampah (di Jember) ke depan. Wah, keren!

Tentang Menstruasi dan Mimpi Basah

Senin, 9 Desember 2013..

Ada kejadian heboh di rumah singgah panaongan (kediaman kami). Salah satu dari kawan kecil kami, namanya Nina, kelas enam SD, dia sedang mendapatkan pengalaman bersejarah untuk pertama kalinya. Iya, Nina mendapatkan menstruasi di hari pertama. Dia terlihat bingung, malu untuk mengutarakan pada orang tuanya. Anehnya, dia memilih saya dan Prit sebagai teman curhat. Aduh!

Selanjutnya, saya sibuk memikirkan diksi yang tepat pada Nina. Tentang menstruasi, dan tentang bagaimana cara memperlakukan hari-hari selama menstruasi. Beruntung Prit bisa menjelaskan dengan lebih gamblang, tidak sesusah saya. Ternyata benar, sesuatu memang harus diserahkan kepada ahlinya.

Di samping Nina masih ada Lina dan Rini. Lina kelas lima, sementara Rini kelas enam, sama seperti Nina. Jadi wajar jika mereka berdua juga memaksa ikut mendengarkan pembicaraan kami. Yang menjadi sedikit ribet, ada pertanyaan baru dari Lina.

"Mbak Prit, mimpi basah itu apa?"

Lho, kok? Saya melongo, apalagi Prit. Tapi hanya sebentar. Rupanya Lina sedang membaca buku biologi untuk kelas enam SD. Di sana dijelaskan tentang mimpi basah, tapi tidak akurat. Ada kalimat penutup yang membingungkan mereka. Kalau tidak salah ingat, begini bunyi kalimat tersebut; Laki-laki yang sudah mengalami mimpi basah itu berarti produksi spermanya sudah mulai matang dan siap untuk membuahi indung telur sehingga bisa menjadi calon bayi.

Syukur Alhamdulillah, akhirnya saya dan Prit bisa melampaui itu. Memberi jawaban dengan pilihan kata yang sesantun mungkin, tidak tegang, dan berusaha meletakkan dasar-dasar berpikir pada mereka bertiga tentang bagaimana baiknya memberi penghormatan kepada qodrat.

Hmmm, pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkan saya ketika masih manten anyar. Betapa tugas yang amat berat sebagai suami itu adalah ketika istri kita sedang datang bulan, merasakan sakit yang dahsyat, sementara kita harus membelikannya pembalut (bersayap) di minimarket. Iya, saya masih ingat betul ketika sedang antri menuju meja kasir. Tampak ibu-ibu muda sedang memperhatikan saya yang berambut gondrong dan berpenampilan PA, sedang menggenggam bungkus pembalut satu pak. Oh, itu tugas mulia yang amat berat jenderal!

Musisi Jalanan Banyak Sekali

$
0
0
Rupanya Prit memperhatikan tingkah saya. Setiap kali ada pengamen Jogja mendendangkan lagu milik KLA Project, saya selalu resah merogoh isi kantong, barangkali ada uang recehan. Tapi jika ada pengamen lain mendendangkan lagu yang berbeda, apalagi tampil asal-asalan, saya terlihat lebih santai.

Ada apa dengan lagu Jogjakarta?

Kepada Prit saya katakan, saya senang mendengarkan gubahan mereka pada lirik 'musisi jalanan mulai beraksi.' Di Jogja, lirik tersebut berubah menjadi seperti ini; musisi jalanan banyak sekali. Dan itu benar adanya. Sederhana, tapi sukses menggambarkan kenyataan hidup di lingkungan pengamen Jogjakarta. Seperti ada perjanjian tertulis, semua musisi jalanan Jogja melafalkan lagu tersebut dengan lirik seperti itu.

Hari ini, ketika saya menuliskan catatan ini, kami kembali terlempar pada masa yang silam, tujuh tahun yang lalu. Saat itu ada tersiar kabar bahwa ada peristiwa gempa bumi tektonik di Jogja dan sekitarnya. Terjadi pada 27 Mei 2006 kurang lebih pukul 05.55 WIB, dan berlangsung selama 57 detik. Indonesia menangis lagi, setelah sebelumnya, 26 Desember 2004, bencana gempa dan tsunami melanda Aceh. Bendera setengah tiang pun kembali tertancap di hati masyarakat negeri ini.

Esoknya, 28 Mei 2006, saya merapat ke Jogja, satu rombongan dengan kawan-kawan SAR OPA Jember. Kisah sepintasnya pernah saya tuliskan di sini.

Waktu itu, saya dan Prit masih belum menikah. Hanya saja, kami memiliki hubungan yang abstrak, seperti lukisan Van Gogh yang berjudul The Potato Eaters (1885). Berat rasanya meninggalkan Prit (dan Elis, sahabat Prit) ke Jogja sementara mereka berdua sedang ada di kondisi keuangan yang buruk. Iya, waktu itu isi dompet Prit menjelang maghrib. Ibarat mahasiswi era 1980-an, dia sedang rindu wesel.

Kepada beberapa orang yang saya temui menjelang keberangkatan ke stasiun, kepada mereka saya titipkan Prit dan Elis. Juga kepada Imam penjual lalapan sekitar Sastra, juga saya wanti-wanti untuk memberi porsi makan malam pada Prit dan Elis. Masalah mbayar belakangan, hehe. Kelak, saya baru mengerti, ketika saya di Jogja, mereka hidup nyaman layaknya putri seorang Sri Sultan.

Lalu saya tiba di Jogja, 28 Mei 2006 sore. Rombongan kami langsung bergerak menuju Kantor Gubernur, kami bermalam di sana. Malam harinya, saya, Kartolo, dan beberapa orang teman memilih untuk nongkrong di Malioboro. Kami tidak bisa tidur, sedangkan Kantor Gubernur ada di wilayah Malioboro. Jadi ada baiknya bagi kami untuk menikmati sepi di tempat legendaris yang terkenal akan keramaiannya ini. Iya, ketika itu di Malioboro hanya ada saya dan beberapa orang kawan saja. Mahluk hidup lain yang mudah kami temui hanyalah kucing.

Kesunyian itu tak bisa kami ulangi lagi. Sebab, keesokan harinya, sudah ada denyut perdagangan di Malioboro, meskipun hanya di beberapa titik saja. Ada kabar yang sempat saya dengar dari seorang pedagang angkringan, itu adalah anjuran dari Ratu Hemas. Beliau ingin menunjukkan pada dunia luar bahwa Jogja masih sebaik-baik tempat untuk merajut kenangan.

Kembali ke 28 Mei malam, ketika Malioboro sunyi. Saat itu, seorang kawan bernama Kartolo menyiulkan lagu Jogjakarta-nya KLA. Hanya bersiul saja, dan hanya sebentar. Tapi hingga saat ini saya masih mengingatnya. Lagu hebat. Padahal itu lagu lama. KLA memperkenalkannya pada publik tahun 1990, di album kedua mereka.

Esok dan esoknya lagi, saya sudah mengabaikan lagu milik KLA. Kami berpindah-pindah tempat. Seringkali potensi SAR luar kota ditempatkan di Bantul. Sebenarnya rombongan dari Jember mengajukan diri untuk ditempatkan di titik evakuasi korban. Sayang, itu sudah ditangani secara internal, baik oleh angkatan maupun oleh kawan-kawan SAR Jogja.

Minggu kedua di Bantul, ada terdengar kabar bahwa saudara saya sendiri (Anton, anggota SWAPENKA) yang rumahnya ada di Klaten juga berpredikat sebagai korban bencana. Saya, Ananda Kernet, dan tiga orang teman lagi, mengajukan diri pada Komandan SAR OPA Jember untuk membuat kelompok kecil dan hendak merapatkan diri di Klaten. Dalam waktu yang lumayan singkat, kami mendapat ijin. Masing-masing dari kami berlima mendapatkan selembar surat legal formal yang di bawahnya tercantum tanda tangan seseorang bernama Dainuri.

Sebenarnya, surat itu bisa saja kami gunakan untuk naik angkutan gratis, tidur di instansi seperti Polsek, dan beberapa hal mendesak lainnya. Tapi itu tak pernah kami lakukan. Masih ada Ananda Kernet. Dia pandai sekali mencari mobil tumpangan buat kami, entah itu mobil pick up atau truk. Ini lebih baik dan lebih membahagiakan, pikir saya.

Empat tahun berikutnya, Oktober 2010, ketika ada bencana Merapi, saya merapat ke lokasi hanya berdua saja dengan Ananda Kernet. Ketika itu, kami juga sempat nunut mobil dengan bak terbuka dari satu titik ke titik yang lain, tapi hanya dua kali saja. Untuk yang lain-lain, kami berdua lebih senang memanfaatkan transportasi yang ada milik berbagai panitia penanggulangan bencana.

Kisah-kisah di atas, yang saya tuliskan secara padat memang tidak mewakili gambaran lirik lagu Jogjakarta secara utuh. Dari temanya saja berbeda. Lagu itu juga tidak berhasil memancing saya untuk merindukan Prit (ups!). Namun ketika kawan-kawan musisi jalanan menyanyikan lagu itu dengan sedikit gubahan lirik, saya menjadi sangat tertarik. Ketika sampai pada lirik 'musisi jalanan banyak sekali,' saya teringat pada suasana Malioboro yang sunyi sepi. Entah saat itu para musisi jalanan sedang berdendang dimana, baru esok harinya mereka mulai bermunculan mendendangkan lagu-lagu peneduh hati.

Musisi jalanan banyak sekali. Lirik tersebut sukses membawa kembali kenangan akan seorang kawan bernama Kartolo. Dalam bayangan saya, dia sedang bersiul sambil sesekali menendang sesuatu yang terserak di tengah trotoar. Ah, Kartolo. Kabar terakhir, dia ada di Bima. Saya selalu mengenangnya ketika sedang berdendang. Dia sangat pandai bernyanyi, memetik gitar, dan meniup harmonika.

Tadinya saya mengira lagu Jogjakarta tidak akan masuk daftar winamp seorang Ananda Kernet. Dia seorang punk yang mengerahkan seluruh pola pikir dan gaya hidupnya untuk memberi penghormatan pada kebenaran. Dia juga seorang gerilyawan lingkungan yang mantan pengamen jalanan. Sulit sekali memergokinya menyanyikan lagu cinta. Nyatanya, Ananda Kernet menaruh simpati sedalam-dalamnya pada lagu Katon Bagaskara yang berjudul Usah Kau Lara Sendiri. Jadi, ada kemungkinan dia akan suka mendengarkan penggalan lirik dari pengamen Jogja, musisi jalanan banyak sekali. Saat ini Ananda Kernet kembali lagi ke Sokola Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas. Semoga baik-baik saja.

Jadi Prit, itulah kenapa Setiap kali ada pengamen Jogja mendendangkan lagu milik KLA Project, suamimu ini selalu resah merogoh isi kantong, berharap masih tersisa selembar uang ribuan.

Sudah ah. Maaf jika cerita kali ini terkesan meloncat-loncat. Ternyata tak selamanya mudah, menulis sambil mengunduh kenangan yang telah lama lewat dalam waktu yang bersamaan.

Salam saya, RZ Hakim

Jember Banget

$
0
0
Jadi ceritanya, saya sedang menjadi juri Proyek Ngeblog #JemberIstimewa yang diadakan oleh seorang kawan bernama Oyong. Saya memanggilnya Cak, karena semua orang memanggilnya begitu. Proyek tersebut digelar untuk menjemput HUT Jember yang ke-85, pada 1 Januari 2014.

Cak Oyong menyandingkan saya dengan Mak Eja, eMak'e Jember Banget, yang sampai detik ini masih setia mengapresiasi potensi-potensi cantik yang dimiliki Jember.

Mudah untuk mencari tahu siapa dan bagaimana sepak terjang Mak Eja dan juga Jember Banget-nya. Kita hanya butuh googling, maka selesailah sudah. Eits, tapi saya belum pernah mencobanya ding! Saya banyak tahu tentang Jember Banget (selanjutnya akan saya tulis JB saja) justru dari obrolan rekan-rekan Jember, ketika cangkruk'an di warung kopi. Bukan hanya tentang JB, saya juga jadi tahu tentang Biru Daun, dan sederet lagi. Itu semua berkat cangkruk'an, bukan semata-mata dari mesin pencari.


Temancok Raa Kah - Koleksi Foto Pije

Pernah suatu hari Pije datang ke Panaongan dengan mengenakan kaos warna hitam yang dibagian tengahnya (tampak depan) ada tulisan seperti ini; "Temancok Raa Kah!" Ahaha, tulisan itu menghibur saya. Iya, saya kepingkel. Bahkan saya bisa mengimajinasikan bagaimana semisal saya yang mengucapkannya. Kaos yang berhasil menyampaikan pesan. Kaos yang sederhana, adopsi dari Bahasa lokal Madura yang sudah akrab di pelukan masyarakat Jember. Dapat saya bayangkan ketika para penyelenggara daerah yang sekarang sedang getol-getolnya mewacanakan untuk merubah wajah Jember ke arah industri tanpa memusingkan efek sampingnya pada alam, mungkin kata 'tak berdaya' terakhir yang bisa saya ucapkan hanyalah Temancok Raa Kah. Ahaha, bercanda.

Lupa, translate-nya kancrit. Temancok itu artinya tahi ayam. Temancok raa kah biasa digunakan untuk menyikapi para PHP, dan atau untuk apapun. Sejauh pengetahuan saya selama bertumbuh di Jember, belum pernah ada peperangan yang dimulai dari kata-kata umpatan ini. Maklumlah, kata temancok raa kah biasanya hanya digunakan di saat-saat yang santai, bukan di forum-forum resmi. Don't worry, semua baik-baik saja.

Lokasi JB saat ini ada di pojok kantor DPU Bina Marga, menghadap ke utara. Ruangannya kecil tapi memikat. Di depannya didominasi oleh kaca bening, jadi kita bisa menengok hampir semua koleksi JB dari luar. Seperti aquarium. Atau, mirip lokalisasi Dolly di Surabaya. Ahaha, jangan ah, jangan Dolly. Ya, mirip distro pada umumnya, seperti itulah.

Kantor DPU Bina Marga sendiri menghadap ke barat, tepat di pinggir Jalan Raya PB Sudirman Jember. Di kanan kiri Bina Marga (seharusnya) ada bangunan sarat sejarah. Sisi kanannya ada Penjara, Lembaga Pemasyarakatan. Sisi kiri ada LBB Technos. Dulunya, di atas tanah LBB ini berdiri sebuah Gudang Garam. Hampir setiap hari, sebagian masyarakat Jember wilayah kota antri di sini, hanya agar bisa membeli garam. Di era 1920an masyarakat antri untuk menukar kupon dengan garam. Kata Akung, Gudang Garam masih eksis hingga masa sebelum 1965. Sayang ya, bangunannya tak bisa dipertahankan. Barangkali nasibnya sama seperti Sekolah Chung Hwa (1911 - 1965) di Jember. Sekarang lokasi Sekolah Chung Hwa digunakan sebagai kompleks pertokoan Mutiara Plaza Jember, Jalan Diponegoro, dekatnya Johar Plasa. Cung Hwa terpaksa tutup antara tahun 1965 - 1966, saat kondisi perpolitikan di Indonesia diwarnai oleh penumpasan PKI. Di masa itu, banyak gedung-gedung yang beralih fungsi.

Tepat di seberang jalan di depan Bina Marga, ada SMP 2 Jember. Ini adalah salah satu sekolah tua di Jember. Dulunya HIS, sekolah dasar yang diperuntukkan terutama bagi anak-anak pegawai negeri pribumi. Inlander, menurut istilah Belanda.

Ohya, adakah yang pada masa kecilnya, ketika merengek ingin masuk sekolah, oleh orang tua disuruh memegang kuping kiri dengan tangan kanan? Gagasannya begini. Jika ujung jari tangan kanan sukses menyentuh kuping kiri, maka kita sudah boleh sekolah. Kirain dulu ini hanya pinter-pinternya Ibu saya saja dalam mengulur waktu, ketika saya merajuk ingin sekolah. Ternyata metode itu peninggalan sistem pendidikan Belanda, hehe. Entah apakah itu benar-benar metode bawaan kolonial atau mereka mengadopsi tradisi Nusantara, saya tidak tahu. Yang pasti, banyak orang yang masih memiliki kenangan dengan metode yang satu ini. Syarat masuk sekolah dasar, baik Sekolah Desa (Ongko Loro) maupun HIS, atau MULO (sekolah dasar yang lebih luas), atau jenis-jenis sekolah dasar yang lain, harus berusia 7 tahun. Sebelum berusia 7 tahun, Pihak Belanda melarang. Sebab usia sebelum tujuh tahun adalah usia bermain, dimana otak kanak-kanak manusia masih ibarat superspoon, mudah menyerap apa saja dengan cara bermain.

Saat ini gedung SMP 2 Jember sudah mengalami banyak renovasi. Nasibnya sama seperti SMKN 4 Jember yang ada di seberang Radio Kartika, hanya tersisa gedung tua di sisi depan saja. Agak masuk lagi, sudah bangunan baru. Saya pernah berkunjung ke sini pada 27 Mei 2013, di jam aktif sekolah, hanya untuk inguk-inguk bangunannya. Terima kasih Bapak Sunyoto Sutyono, Kepala Sekolah SMKN 4 Jember, yang telah memberi ijin kunjungan.

Balik lagi ke SMP 2 Jember. Saya teringat dongeng Eyang Roekanti pada 12 November 2012. Saat itu beliau banyak berkisah tentang Jember Jadul, hingga kisah tentang SMP 2 Jember. Menurut perempuan sepuh yang lahir di Ngawi pada 26 Januari 1918 ini, HIS di kota Jember ada dua. Satu di bangunan yang sekarang ditempati SMP 2 Jember, satunya lagi di gedung yang sekarang ditempati oleh SMP 1 Jember. Dua-duanya mendapat asupan Bahasa Belanda, ditembah lagi dengan Bahasa Daerah. Masing-masing HIS satu Bahasa Daerah, Jawa dan Madura. Itu menurut Eyang Roekanti. Kabar duka tentang Eyang Roekanti saya terima pada awal September 2013 yang lalu. Beliau meninggal dunia di usia 95 tahun. Selamat jalan Eyang, doa kami bersamamu. Terima kasih atas kisah-kisahnya tentang Jember tempo dulu.

Di kesempatan yang lain, pernah saya ceritakan tentang sosok Soemarno Sosroatmodjo, Kakek Bimbim yang bersekolah di HIS Jember. Entahlah beliau sekolah di HIS yang mana, saya tidak tahu pasti. Yang saya ingat, beliau punya sahabat karib bernama Supeno, anak Mantri Opium Verkoopplaats, Mantri Candu di Jember. Itu adalah jaman dimana Pemerintah Hindia Belanda jualan candu, untuk memperkaya diri dan untuk memelihara kebodohan bangsa terjajah.

Supeno tidak bersekolah di HIS, melainkan di ELS Jember, sekolah Londo yang lebih keren dari HIS. Supeno mati muda, sebelum dia tamat ELS. Masih sangat bocah. Dia terkena penyakit Typhus Abdominalis, sebuah penyakit yang pengobatannya masih sukar sekali di awal 1920an.

Kakeknya Ahmad Dhani juga menghabiskan hidupnya di Jember, hingga ajal menjemput. Beliau adalah Freddy Rudi Paul Köhler, Ayahanda Joyce Köhler, Mamanya Dhani. Freddy Rudi Paul Köhler mengabdikan seluruh hidupnya di kota kecil Jember sebagai guru / pengajar. Beliau meninggal dunia di Jember tahun 1959. Pada antara tahun 1983 - 1984, makam beliau dipindahkan ke Bogor.

Lanjuut...

Di sisi kiri SMP 2 Jember ada toko roti Jeanette. Orang-orang Jember lebih senang menyebutnya SIANET. Susah di lidah jika harus melafalkan Jeanette. Hmmm, jadi ingat roti kesukaan Bebeh. Saya pernah menuliskannya di sini.

Kalau ngomong tentang toko roti di Jember, selain Wina, saya ingat toko roti Sentral. Lokasinya di Jalan Raya Sultan Agung. Di toko ini dipajang foto seorang atlit sepak bola kesukaan Bapak saya. Dialah Tee San Liong, pemain Persebaya yang semasa hidupnya tinggal di Jember. Ya di toko roti sentral itu, milik adiknya sendiri.

Kata Bapak, di masa kejayaannya dulu, San Liong dan rekan-rekannya berhasil menghadang Uni Sovyet dengan 0:0 di Olympiade Melbourne, 1956. Waktu itu strategi Indonesia adalah bertahan total, dengan pemain bintang bernama Ramang dari PSIM Makassar. Selain Ramang, satu lagi pasangan maut San Liong adalah Djamiat Dalhar.

"San Liong iku sempat nglatih Persid lho le. Tapi de'e kereng, metode latihane keras. dadine akeh sing gak wani nang San Liong," kata Bapak.

Entah itu terjadi tahun berapa, mengingat Persid baru ada tahun 1952. Yang jelas, saya tidak mengatakan 'siah maktakker!' di depan Bapak. Mungkin di tahun 1970an. Atau di tahun 1978, ketika ada demam World Cup di televisi hitam-putih. Iya, kabarnya ada deman sepak bola. Mungkin gara-gara waktu itu adalah siaran langsung pertama World Cup di Pulau Jawa, di masa jaya Mario Kempes, pemain Argentina. Entahlah, saat itu saya bahkan masih belum lahir.

Kembali ke JB

Saya punya beberapa teman di sekitar JB. Kata mereka, lokasi itu biasa disebut Pasar Contong. Jadi begini. Ada satu jalan yang kemudian bercabang, kalau ke kiri menuju Hotel Nusantara, kalau ke kanan menuju stapsiun (dulu istilahnya SS, Staats Spoor). Nah, diantara cabangan jalan beraspal ini kalau pagi selalu diramaikan oleh para mlijo beserta para pembelinya. Biasanya para pembeli terdiri atas ibu-ibu. Lokasinya yang seperti contong kacang membuat pasar kecil ini dikenal sebagai Pasar Contong. Dan distri JB ada di sekitaran sana.

Kabar baik bagi Anda yang datang ke Jember dengan memanfaatkan jasa kereta api. Karena setelah Anda turun dari Stapsiun Jember, Anda cukup jalan kaki menuju JB. Yang datang ke Jember dengan dengan naik bus dari arah Surabaya, Anda akan diturunkan di Terminal Tawang Alun Jember. Anda tinggal memilih, mau naik taksi atau angkot kuning bernama Lin. Katakan saja pada supir jika Anda hendak turun di perempatan SMP 2 Jember. Nah, selesai! Jangan percaya GPS. Percayalah pada Abang Becak / Ojek yang mangkal di sana. Tanyakan, dimana JB. Maka Anda akan ngguyu-ngguyu dewe sebab yang dicari sudah ada di depan mata, meskipun agak ndlesep sedikit.

Selanjutnya..

Semoga teman-teman JB tidak tahu, betapa dulu ketika saya masih kecil, saya sering pipis di pojokan kantor Bina Marga. Ya di lokasi yang sekarang ditempati JB, ahaha. Saya bahkan masih bisa mengingat siapa saja karyawan Bina Marga yang dulu tinggal di dalam areal kantor. Itu dulu, ketika saya masih kecil dan masih sering ikut Bapak, ndelok slender kuning.

Dari sekian banyak karyawan Bina Marga, ada satu yang sulit untuk saya lupakan, meskipun beliau sekeluarga tidak tinggal di areal kantor. Beliau adalah Bapak Sucipto, akrab dipanggil Pak Cip. Pernah terjadi, ketika saya masih kecil, 'burung' saya ujungnya kecepit resleting. Saya berok-berok, tapi bingung mau ngapain. Gerak sedikit sakit. Akhirnya, dengan penuh kesabaran, Pak Cip turun tangan. Beliau meniup-niup burung istimewa saya hingga ujungnya lepas dari resleting. Alhamdulillah. Mungkin, seperti itulah rasanya dijajah Belanda. Sakit dan menyebalkan!

Beberapa bulan yang lalu, ada saya dengar kabar kabar duka, Pak Cip meninggal dunia karena stroke. Selamat jalan Pak Cip. Terima kasih.

Besar sedikit, saya sudah tidak mau diajak Bapak ke tempat potong rambut yang populer dengan nama Kantin. Lokasinya dekat sekali dengan Bina Marga / JB, dekat pula dengan Toko Buku yang lokasinya nylempit, Santo Jusuf. Pasalnya, ketika saya cukur rambut di Kantin, oleh tukang cukurnya ditanya begini. "Mau cukur gaya apa Mas?" Mulanya senang. Saya merasa besar hanya gara-gara dipanggil Mas oleh tukang cukurnya. Lalu saya mulai menunjuk salah satu poster yang terpasang berjajar di tembok Kantin. "Ini Mas, saya mau cukur gaya ini," kata saya. Berikutnya, saya sudah duduk di depan cermin besar, dikemuli sama kain warna ijo tua, baru kemudian prosesi potong rambut dimulai. Dan hasilnya? Cuplis!! Ya, saya marah tapi diam. Pandangan saya tidak bersahabat. Padahal saya sedang memandang diri saya sendiri di dalam cermin. Oh my God! Kepala saya bagian belakang terasa isis, tak ada poni, yang ada hanya jumbulnya saja. Saya tidak suka.

Agak gedean lagi, saya mulai petakilan. Ini adalah masa-masa metehek yang memalukan. Belajar merokok, tapi tidak pernah berhasil. Dibanding kawan-kawan sebaya yang lain, saya terbilang terlambat. Baru lulus SMA (dan sudah kerja jualan burjo) berani ngebbul di depan Bapak. Pernah suatu kali saya melintasi Pasar Contong menuju tokonya Mami (deretan toko yang menghadap ke selatan) hendak membeli anggur kolesom cap orang tua. Waktu itu, AO tersebut bukan untuk saya. Tiba di toko yang dimaksud, saya ketemu sama Om Ton, rekan kerja Bapak. Om Ton menyapa saya, tapi saya keburu ngacir, nggak jadi beli anggur kolesom, haha.

Kadang saya ke pojokan Pasar Contong, di loak besi tua. Biasanya sih jual botol atau kertas bekas untuk beli rokok. Waktu itu, pegang uang 5 ribu sudah mewah. Masih jauh dari tragedi krisis moneter. Lima ribu sudah bisa bikin saya gaya-gayaan. Macak koboi. Ndo-londoan kalau kata Didit. Apalagi kalau hari senin siang sampai sore. Punya duit limang ewu sudah bisa mejeng di food bazar Johar Plasa sambil lihat anak-anak SMA pada antri beli tiket murah senenan (khusus hari Senin), lihat bioskop di Cineplax 21 Jember. Memang maknyos rasanya bisa nonton bioskop di 21, di bangku empuknya yang berwarna merah hati. Saya beberapa kali merasakannya.

Era 1990an yang indah, dengan lagu-lagu slow rock-nya yang juga tak kalah indah.

Saya semakin bersentuhan dengan Pasar Contong, Kampung Using, dan sekitarnya. Sebab di masa SMA, saya lebih banyak tinggal di Kreongan, rumah Mbak Uti dari pihak Bapak. Letaknya di belakang pabrik es, atau bisa lewat STM lama (sekarang bangunannya dipakai SMP Negeri 10 Jember, sejak tahun 1991). Dari sana, saya biasa jalan kaki ke Jalan Raya, begitu biasanya orang Jember menyebut Jalan Sultan Agung. Kata Bapak, dulu lebih dikenal Rasulta, singkatan dari Raya Sultan Agung. Jalur alternatif ketika pulang dari Jalan Raya Sultan Agung menuju pabrik es Kreongan, biasanya lewat Pasar Contong, terus melintasi Jalan Wijaya Kusuma, jalan dimana di sepanjang jalurnya ada banyak rumah-rumah tua Belanda. Dari Wijaya Kusuma terus pulang ke rumah Mbah Uti, melintasi persawahan puteran spoor. Ohya, dari rumah Mbah Uti ke Pasar Contong hanya sekitar 10 menit jalan kaki.

Kenapa saya senang memilih jalan alternatif Pasar Contong? Kalau malam, pemandangannya indah. Dari Gedung Penjara hingga Kantin Cukur (sekarang Pujasera) suasananya nyaman. Lampu-lampu kotanya berwarna kuning, bukan putih. Sehingga akan tetap memberi cahaya meskipun turun kabut tebal. Sepanjang kawat listrik dipenuhi oleh burung-burung kecil yang saling ndusel mencari kehangatan. Kabar buruknya, di pertengahan era 1990an, semakin banyak saja pemuda pemuda-pemuda Jember yang menenteng senjata angin dan menghabisi burung-burung kecil yang berjajar berderet-deret itu. Akhirnya, habislah sudah. Burung-burung itu mengalami nasib buruk di kota santri. Sekarang nasibnya hendak disaingi oleh GUMUK, candi ekologis milik warga dunia yang dititipkan oleh Tuhan di tanah Jember.

Adapun cerita tentang penjara di Jember, saya tidak tahu banyak. Yang saya tahu, bangunan itu menyeramkan dan terlihat angkuh. Pernah saya baca di sebuah buku, tapi bukan tentang penjara Jember kota, melainkan penjara di Kasiyan Lor, Jember Selatan, di era 1911 hingga 1920an. Dituliskan di sana, pada hari-hari minggu penjara tampak ramai. Banyak keluarga pesakitan yang datang menjenguk. Mereka membawa bingkisan. Pada hari-hari tertentu dilangsungkan hukuman pukulan. Orang hukuman yang dianggap menyalahi peraturan penjara disuruh berdiri menghadap papan, sementara tangan dan kakinya diikat pada papan itu. Orang-orang hukuman lainnya dikumpulkan dan duduk di sekelilingnya. Sebuah pengumuman dibacakan keras-keras. Punggung orang yang terikat pada papan itu lantas dipukuli dengan rotan berkali-kali. Kadang-kadang sampai berdarah. Ah, mengerikan. Pastilah sakitnya seperti burung yang kecepit resleting.

Kembali ke paragraf pembuka tulisan ini. Saya dan Mak Eja jadi juri Proyek Ngeblog #JemberIstimewa. Memang, apa istimewanya Jember? Sebenarnya, setiap tempat bisa kita bikin indah. Semua tergantung dari mana kita memandangnya. Sebab saya seorang pencinta alam yang kebetulan suka sejarah, maka saya akan menyebutkan keistimewaan sebuah daerah dari potensi alam dan sejarahnya. Misal, Jember. Saya senang mengamati kecantikan gumuknya. Apalagi akhir-akhir ini, hehe.

Sedari kecil saya selalu bertanya-tanya, kenapa seringkali ada saya dapati kuburan di puncak gumuk? Ada juga kuburan yang tak persis di puncaknya. Ada yang di kaki gumuk, ada juga yang di tengah tapi memiliki bidang datar. Ketika saya besar, barulah saya tercerahkan, sedikit demi sedikit. Oh ternyata ketinggian makam berpengaruh pada tingginya derajat orang itu di mata masyarakat, ketika ia masih hidup. Atau, semakin tinggi lokasi kuburannya, semakin tinggi pula cara keluarga (orang-orang yang menyayangi) dalam memperlakukan si mati.

Tak heran jika di perbukitan Watangan - Wuluhan, tepatnya di Gua Sodong, pernah ditemukan tengkorak manusia ciri ras Austromelanosoid. Oleh para ahli, tempat ini diperkirakan pernah dijadikan pemukiman masyarakat prasejarah. O'ow, keren. Tebakan saya, hal ini berlanjut pula di masa ketika manusia-manusia Jember telah mengenal tulisan. Mereka masih senang memperlakukan dengan baik mereka yang dianggap berkarakter di mata masyarakatnya. Pemberian kehormatan itu terus berlanjut hingga orang yang dimaksud meninggal dunia. Lebih ke arah pengkultusan.

Sekarang mari kita sentil sedikit tentang Prasasti di Jember. Selain keberadaan Prasasti Congapan di Kecamatan Sumberbaru (data tertua yang berangka tahun, 1088 Masehi), ada pula Prasasti Batu Gong. Letaknya ada di bagian bawah gumuk di pinggir jalan besar Dusun Kaliputih, Rambipuji. Muda-mudi Jember yang biasa kulak baju babebo pastilah mengerti dimana itu Jatian Kaliputih. Nah, lokasi Batu Gong tak jauh dari babeboan (baju bekas bos).

Ada dua pendapat populer mengenai usia Batu Gong yang ditemukan di Jember. Pendapat pertama dari W.F Stutterheim, seorang Arkeolog Belanda. Dia bilang, Batu Gong diperkirakan ada sejak abad ke VII, merupakan Prasasti tertua di Jawa Timur. Satu pendapat lagi dari Arkeolog India bernama Himanshu Bhusan Sarkar. Dia mengatakan Prasasti Batu Gong berasal dari abad V Masehi, sejaman dengan Prasasti Tarumanegara di Jawa Barat. Wew, pendapat yang lebih menarik lagi. Terlebih, sebenarnya lokasi Prasasti Batu Gong tidak terlalu jauh dari kompleks percandian di Gumuk Mas. Barangkali ada keterkaitannya.

Pantaslah jika para Arkeolog mengistilahkan Jember tempo dulu sebagai Topographia Sacra, sebutan untuk daerah suci atau sakral, tempat dimana orang-orang hebat menempa diri, tak peduli dia lahir di Jember atau tidak. Dan semisal gumuk sudah ada sejak dulu kala (secara teori, seharusnya gumuk sudah ada), saya yakin gundukan penuh makna ini menjadi salah satu tempat favorit untuk mereka yang menempa diri.

Begitulah wajah sederhana Jember, yang diuntungkan dengan bentang alamnya. Biar lebih asoy lagi, untuk bisa memahami Jember, kita juga butuh memahami kota-kota di sekitarnya, dan mencintainya. Jangan biarkan sepak bola merusak segalanya, eh. Harapannya, dengan meletakkan dasar-dasar kecintaan pada kota yang kita tinggali, maka kita akan mencintai dunia yang berbangsa-bangsa. Sangat indah jika kita juga menyediakan diri menjadi warga dunia yang baik.

Jadi, apa istimewanya Jember? Apakah dari musiknya, tari-tariannya, kulinernya, Bahasanya, gumuknya, atau apanya? Entahlah. Mari kita tanyakan itu pada 'Jember Banget' yang bergoyang.

Sithik Engkas!

Rumah maya Jember Banget bisa dikunjungi di sini.

Kawan dari Balikpapan

$
0
0
Selasa sore, 17 Desember 2013

Ketika saya menuliskan ini, mungkin kereta api yang membawa Anggi sudah masuk Bangil. Iya, dia menepati janjinya untuk mengunjungi kota kecil Jember. Saya menebak, pastilah Anggi sama seperti kawan-kawan luar kota yang lain, sesampainya nanti di Jember. Akan ada pertanyaan yang membola salju. Apa yang menarik dari Jember? Kulinernya apa saja? Bagaimana dengan budaya tradisionalnya? Apakah JFC mewakili wajah kearifan lokal masyarakatnya? Dan tentu, masih akan banyak lagi pertanyaan yang terlontar.

Anggi Alfonso Panjaitan, blogger asal kota Balikpapan yang berdarah Batak ini terlihat cerdas. Buktinya, dia berkaca mata. Tampak jika Anggi suka membaca buku, menukar satu dua jam waktu bersosialisasinya dengan mendownload ilmu. Hmmm, cerita apa yang bisa saya berikan pada Anggi? Entahlah, apa kata nanti.

Sejam yang lalu saya sempat berkirim sms ke Anggi. Saya ingatkan dia untuk menikmati perjalanan, mengingat di Balikpapan tak ada kereta api.Kalau saya lain. Sejak di dalam kandungan sudah akrab dengan spoor. Benar, kakek saya masinis. Namanya Sura'i. Beliau adalah Ayah dari Bapak saya, Abd. Rohim. Untuk kisah Kakek, akan saya publish di kesempatan yang lain, Insya Allah.

Sekitar pukul enam sore, ada sms dari Anggi. Dia sudah tiba di Stasiun Jember. Sebentar ya, saya jemput dia dulu.

Selasa malam, 17 Desember 2013

Anggi tampak segar bugar. Jadi, agak malaman saya mengajaknya ke acara Launching Majalah Ideas di aula Fakultas Sastra Universitas Jember. Kami tidak lama di sana. Setelah itu, bergeser ke Naong Kopi. Dari Naong, pulang ke panaongan, lalu ngobrol sampai pagi. Rame. Ketika mentari mulai bersinar, satu persatu dari kami mulai memejamkan mata di atas karpet warna merah.

Rabu, 18 Desember 2013

Kawan-kawan Pers Mahasiswa Jember lagi punya gawe. Sharing soal struktur "news reports" bersama Mas Andreas Harsono. Bertempat di LPM Alpha Fakultas MIPA Universitas Jember. Anggi saya ajak serta untuk merapat di acara tersebut. Alhamdulillah, rupanya Anggi menikmati betul acara tersebut hingga tuntas.

Sorenya kita bergeser, ngopi rame-rame di warung Bu Lik (sebuah warung yang ramai, lokasinya ada di dalam areal Universitas Jember). Lalu saya dan Prit pulang, sementara Anggi turut Pije ke rumahnya, di Puger.


Bersama Mas Andreas Harsono - Dokumentasi Persma Jember

Malam harinya, kawan-kawan Persma dan juga adik-adik saya dari pencinta alam SWAPENKA kumpul jadi satu di panaongan. Rame. Pije dan Anggi juga sudah kembali ke panaongan. Hadir juga  Mas Anik. Dia bercerita perihal persahabatannya dengan orang-orang keren di Baduy Dalam. Alhasil, kami kembali tidur pagi dan bangun siang hari.

Pada hari kamis, 19 Desember 2013, tak banyak yang kami lakukan. Hanya ngobrol-ngobrol santai saja. Saya bercerita tentang Jember, Anggi berkisah tentang Balikpapan. Dia bahkan meluangkan waktu untuk berbagi cerita tentang legenda (asal-usul) kota Balikpapan pada kawan-kawan kecil saya, Rini dan Nina. Juga mengajari mereka mengarang indah. Hmmm, apalagi ya? Ohya, sorenya kami sempatkan ngopi di puncak rembangan.

Sekarang sudah masuk hari Jum'at, 20 Desember 2013 pukul 03.23 WIB. Anggi tertidur pulas di samping kanan saya, masih di atas karpet warna merah. Pije, Arus, dan Pemes juga sudah terlelap. Fanggi tidak menginap di panaongan. Dia pulang sejak tadi. Yang terjaga hanya tinggal saya, Prit, dan Bang Faisal Korep.

Nanti siang sehabis Jum'atan saya dan Prit ada acara di SMKN 1 Jember. Masih seputar jurnalistik. Mau ngajak Anggi, nggak tega. Sepertinya dia sedang ingin jalan-jalan. Jadi, saya sarankan dia seharian nanti untuk berpelesir bersama Pije, menikmati kota kecil berhati luas, hehe.

Sudah ah, saya istirahat dulu.

Dadaaaah, twing!

Kang Yayat Sudrajat

$
0
0

Dari kiri ke kanan: Saya, Kang Yayat, Uncle Lozz, dan Anggi. Dokumentasi oleh Apikecil

Jika harus menggambarkan sosok seorang Kang Yayat, maka yang ada di benak saya adalah deskripsi seperti ini. Dia tampak segar, memiliki warna kulit, gerak-gerik, dan kelincahan seperti Jackie Chan. Dua kali berganti kaos, selalu mengenakan kaos warna putih. Malam 21 Desember 2013 ketika kami ngopi rame-rame di Rembangan, Kang Yayat mengenakan kaos putih dengan desain tulisan 'Rock Hard' di depannya, serta huruf 75 di pojok kiri bawah.

Satu lagi. Saya teringat arkasala dotkom. Dulu awal-awal ngeblog, saya aktif berkunjung ke sana, sampai akhirnya blog bersejarah itu non aktif, lalu aktif kembali tapi sudah tidak di tangan Kang Yayat. Akang membuat blog baru lagi, arkasala dot net.

Ada yang terasa pahit di malam itu, sepulang dari Rembangan. Tim Sepak Bola Indonesia U-23 dikalahkan oleh Thailand, satu kosong. Nobar di panaongan menyisakan kenangan buruk akan final di SEA Games di Myanmar 2013. Tapi, goal hasil cukitan Sarawut Janthapan memang manis.

Esoknya, 22 Desember 2013. Saya dan Prit menuju ke rumah Uncle Lozz di Balung Lor, berjarak 45 menit naik motor dari rumah saya. Kang Yayat sudah ada di sana, karena malam hari setelah ngopi di Rembangan, Kang Yayat turut Uncle. Yang bobok di rumah si Anggi, Pije, dan enam orang kawan Jember lainnya (Afwan dkk). Pukul 11.30 WIB, sampai juga saya dan Prit di rumahnya Uncle Lozz. Selama perjalanan, kami berpacu dengan mendung yang menggantung. Awan di atas sana terlihat gelap dan suram.

Ketika bertemu (lagi) dengan Kang Yayat, saya sudah tak ingat lagi gumpalan mendung di perjalanan. Pasalnya, Kang Yayat terlihat segar. Habis mandi rupanya. Waktu itu, Kang Yayat mengenakan kaos putih bertuliskan I Love Belitung dipadu dengan celana warna cokelat tua. Tampak di pergelangan tangan kirinya sebuah jam dengan perpaduan warna dominasi hitam dan sentuhan warna cokelat tembaga. Sepertinya, selain warna putih, Kang Yayat juga suka dengan warna cokelat. Entahlah, untuk masalah ini, Mbak Lelly Kurniawati pasti lebih mengerti, hehe.

Hmmm, kenapa saya hanya bicara tentang warna ya?

Cerita selanjutnya. Ada rencana mendadak, meluncur ke Pantai Papuma (Pasir Putih Malikan). Pukul 12.33 WIB, saya, Prit dan Uncle sudah ada di atas mobil warna hitam milik Kang Yayat. Prit duduk di samping kiri Kang Yayat yang sedang mengemudi, berharap bisa memandang lebih luas dan tersugesti untuk tidak mabuk kendaraan. Tapi, pada 13.10 WIB, pertahanan Prit jebol. Syukurlah Kang Yayat tanggap. Dia menghentikan mobil yang sudah dekat dengan gerbang masuk Papuma. Selamat ya Prit, mabuk di Hari Ibu itu keren.

13.23 WIB, kami sudah ada di gerbang Papuma. HTM untuk 4 orang 60 ribu. Kang Yayat yang mbayari. Mator Sakalangkong Kang, terimakasih.

Selama di Papuma, Kang Yayat dan Uncle sibuk memotret apa saja yang dianggap menarik. Sementara itu, saya dan Prit mojok. Saya sempat bertemu dengan beberapa orang yang saya kenal. Ada juga si Wawan Teyeng, sohib saya jaman sekolah dulu. Lama sekali kami tak bersua, sekali berjumpa eh di Papuma.

Ketika telah lelah, kami memilih untuk cangkruk'an di salah satu warung. Saya memilih RM. Sri Rahayu karena memang sudah beberapa kali nongkrong di sana. Waktu itu Kang Yayat memesan satu ikan bakar besar untuk dimakan bareng-bareng, plus nasi putih dan ayam goreng. Berhubung Uncle tidak suka ikan laut, dia memesan telur goreng. Prit menambah menu makannya dengan pecek tempe. Terlihat lapar sekali dia, mungkin gara-gara habis mabuk.

15.25 WIB, kami masuk mobil, untuk kemudian meluncur pulang ke rumah Uncle Lozz. Sepeda motor saya ada di sana. Selama perjalanan pulang, Uncle tertidur. Kang Yayat banyak bercerita tentang Ciamis. Sepertinya dia sedang menghibur Prit, hehe. Sementara itu, di luar mobil, hujan deras mengguyur tanah Jember Selatan.

Sekitar pukul lima sore, Kang Yayat meluncur pulang ke Surabaya. Esoknya, di jejaring sosial facebook, baru saya tahu ternyata Kang Yayat menempuh perjalanan yang sangat lama, 8,5 jam. Wuih, Jember - Surabaya lama sekali? Harusnya perjalanan mobil 200 kilometer tak selama itu. Ternyata Kang Yayat terjebak macet.

Kira-kira pukul setengah tujuh malam, gantian saya dan Prit yang pamitan ke orang tua Uncle. Nuril, adik ipar Uncle membawakan kami jas hujan. Mulanya saya menolak, tapi Ibunya Uncle (Ibu saya juga) memaksa. Ya sudah, saya mengenakannya. Prit tersenyum. Dia tahu, saya paling sebal jika harus mengenakan mantel. Ealah, tak dinyana, selama perjalanan saya bersyukur. Hujan kembali turun dengan mesranya.

Sesampainya di rumah, saya mendapati Anggi nonton tivi sendirian. Ah, jadi merasa bersalah. Tapi Anggi bilang, dia baru bangun tidur. "Tadi pagi sampai agak siangan saya ikutan acaranya anak-anak #SaveGumuk di alun-alun Jember Mas, lalu pulang, tidur. Pije pulang, persiapan selamatan 40 hari adik kandungnya." Kiranya itu yang dikatakan Anggi, saya agak lupa.

Sekitar lima menit kemudian, ada anak-anak SWAPENKA ke rumah kami. Alhamdulillah, rame. Malam itu, Prit memasak sayur lodeh dan pindang goreng plus sambelan, maknyos rasanya. Apalagi dimakan bersama-sama. Baragkali, ketika kami sedang kepedesan oleh sambal buatan Prit, nun jauh di sana Kang Yayat sedang terjebak macet, dan sedang rindu-rindunya pada Mbak Lelly Kurniawati juga ketiga buah hatinya.

Dunia Kita Telah Menjadi Maya

$
0
0
Iya benar, dunia kita telah menjadi maya. Jadi ingat guyonan Kang Yayat. Betapa susahnya orang jaman sekarang, mau makan aja masih difoto. Ahaha, benar juga. Ingat juga ketika mengantarkan Anggi Alfonso menengok reruntuhan Gumuk di Jember. Saat itu saya memotretnya, dengan menggunakan kamera Anggi. Berharap, ketika dia pulang ke Balikpapan dan bercerita tentang hancurnya jajaran Gumuk di Jember, tak ada yang menuduhnya hoax.


Anggi dan Reruntuhan Gumuk di Jember

Semakin hari kita semakin akrab dengan sebuah kata bernama hoax. Contoh kasus, "Saya tidak percaya jika Harimau Jawa masih ada, sebab tidak ada foto terbaru tentang itu." Masih ada sederet contoh tentang hoax. Kata hoax mencuat bersamaan dengan dunia teknologi yang semakin pesat.

Dulu, ketika hanya masih ada TVRI, orang seakan tak peduli apakah itu hoax atau tidak. Ketika guru sejarah di sekolah mengajarkan pada kita bahwa Majapahit adalah Kerajaan yang memiliki teritorial sebegitu luasnya, kita hanya bisa manggut-manggut. Sepi. Tak ada yang lantang berteriak bahwa itu hoax belaka. Ini begini itu begitu, wajah Gajah Mada seperti ini, wajah para sunan seperti itu. Kita menelannya mentah-mentah. Barangkali karena memang sistem pendidikan di negeri ini tidak didasarkan pada ruang-ruang berpikir kritis.

Teringat guyonan seorang sahabat, "Saiki arek-arek wedok nek foto gayane miring-miring, kadang rodok melet, gara-gara enek facebook." Ahaha, benar juga. Banyak saya temui para kaum Hawa yang berpose sedikit miring ketika di depan kamera, salah satunya istri saya sendiri. Ini menggeser gaya 'eksyen' sebelumnya yaitu menjulurkan dua jari, atau lebih baru dari itu, menjulurkan jari ke kamera dengan membentuk tanda metal.

Dunia kita telah menjadi maya. Adalah Almarhummah Ibu saya yang pandai sekali memperlakukan mesin ketik, bahkan dengan mata yang terpejam, dia terkaget-kaget mendapati kenyataan bahwa mesin ketik telah digeser dengan beringas oleh teknologi yang lebih modern. Sampai Ibu memejamkan mata, dia tak pernah tertarik menulis di depan monitor hanya karena efek suara yang dihasilkan sungguh jauh berbeda. I Love You Buk. Selamat hari lahir, Desember 1953 - Desember 2013.

Facebook tidak lelah-lelahnya mengingatkan kita tentang ulang tahun seseorang. Hari ini, 25 Desember 2013, sahabat saya Mungki Krisdianto sedang merayakan hari lahirnya. Tanpa merasa berdosa, saya memberinya ucapan lewat jejaring sosial. Hanya doa yang harus saya lakukan sendiri secara manual, sebab itu adalah kerja hati. Ah, dunia kita telah menjadi maya. Semua menjadi serba tinggal pencet. Yang tadinya sulit menjadi mudah.

Saya lihat, Prit tak pernah lagi menyentuh kamera SLR manual merk Braun kesayangannya (ah, kenapa hidup ini harus dikelilingi oleh begitu banyak merk?). Maya dan digital, dua istilah yang padu dan saling menguatkan. Manual semakin menjauh.

Lalu datanglah Mas Anik. Dia adalah sahabat adik sepupu saya, si Budi (terima kasih kalomarnya Bud). Keduanya sama-sama Oi, sama-sama pencinta lirik-lirik lagu Iwan Fals. Mas Anik pernah sangat lama sekali mendampingi Suku Baduy Dalam. Sebelum menikah (istrinya adalah tetangga saya), dia datang dan pergi ke sana. Adalah wajar jika Mas Anik paham tentang kehidupan sedulur Baduy.

Sungguh, saya tersentak ketika Mas Anik bilang seperti ini.

"Mereka memiliki adat yang keren. Jangan heran jika Mas ke sana dan disuguhi hidangan, nasi yang Mas makan adalah hasil panen 80 tahun yang lalu."

Dari Mas Anik saya jadi tahu pandangan filosofis Baduy pada apa yang dimaksud dengan modern. Hmmm, jadi ingat gugatan Cak Dai pada kata maju (atau kemajuan) dan modern.

"Modern itu apa? Maju itu apa? Apakah modern dan kemajuan itu identik dengan lampu-lampu yang gemerlap? Apakah harus begini? Apakah harus begitu? Apakah jika tidak memiliki akun di jejaring sosial maka kita tidak modern? Apakah jika kita menolak untuk mengikuti trend, maka kita layak diberi label kuno?"

Menurut Cak Dai, modern itu ekonomis, efisien, adil, dan tentram. Sejahtera adalah ketika semua tercukupi, tapi belum tentu adil. Dan itu semua telah dilaksanakan oleh Baduy sejak lama sekali. Jadi, mana yang lebih modern dan berpikiran maju, Indonesia apa Baduy? Ingat, tak pernah terdengar kasus korupsi di Baduy.

Kita terlalu mudah terhegemoni keinginan pasar, sebab dunia kita telah menjadi maya. Begitu mudahnya kita melabeli diri orang lain dengan kalimat-kalimat pendek seperti, "Dasar kuno." Bahkan meskipun kita tak paham dengan apa yang dimaksud kuno, modern, atau maju, dengan mudahnya kita memaksa untuk modern dan mengolok-olok mereka yang dianggap kuno. Aneh, dan terasa bodoh. 

Modern yang sekarang disepakati secara membabi buta adalah modern yang hanya pencitraan, bentuknya dibuatkan oleh pasar. Adapun Baduy, mereka memiliki 'modern' sendiri, atas gagasan dan pilihan mereka sendiri pula. Mereka ekonomis, efisien, adil, dan tentram.

Ah, dunia kita telah menjadi maya..

Bermula Dari Ajakan Mas Andreas Harsono

$
0
0

Prit, Mas Andreas Harsono, dan Saya. Dokumentasi oleh Fainani

Pada 18 Desember 2013 yang lalu saya berkesempatan ngobrol sebentar dengan Mas Andreas Harsono. Saat itu dia sedang pulang ke Jember. Waktunya tidak banyak, tapi masih juga bersedia menyempatkan diri memberi materi dan apresiasi seputar jurnalistik. Saat itu kami membicarakan dua hal, tentang lingkungan di Jember dan tentang transportasi massal. Mas Andreas banyak bertanya tentang Gumuk. Saya menggambarkannya singkat, sejauh yang saya pahami saja.

Tak dinyana, tiba-tiba Mas Andreas menawarkan pada saya untuk mengikuti Kursus Jurnalisme Sastrawi XXII di Yayasan Pantau, JL Kebayoran Lama 18 CD Jakarta. Tentu saja saya bahagia mendengarnya. Akan tetapi, saya seorang blogger, bukan jurnalis, dan tidak memiliki pengalaman jurnalistik (minimal 5 tahun) seperti yang tercantum pada persyaratan yang pernah saya baca. Bisa dikatakan, saya bukan seorang profesional. Mas Andreas bilang, "Tidak ada masalah."

Syukurlah kalau begitu, batin saya. Namun sebenarnya, masih ada satu lagi yang saya khawatirkan. Saya lemah dalam satu hal yaitu Bahasa Inggris. Hal itu saya sampaikan pada Mas Andreas via email pada tanggal 21 Desember 2013.

"Janet bicara dalam bahasa Indonesia. Dia lancar kok. Kursus ini akan diadakan dalam bahasa Indonesia. Cuma memang ada bacaan dalam bahasa Inggris. Tapi ia bukan banyak."


Itu jawaban yang saya terima dari Mas Andreas Harsono. Kabar yang menenangkan. Janet yang dimaksud adalah Janet Steele, seorang profesor jurnalisme asal George Washington University. Dia karib Mas Andreas dalam mengampu Kursus Jurnalisme Sastrawi.

Saya tidak sendirian ke Jakarta, melainkan berdua dengan Dieqy. Dia mewakili Persma Jember. Kami berdua dibebaskan dari biaya pendaftaran, tapi transportasi dan akomodasi ditanggung sendiri. Masih ada satu lagi yang mengganjal. Saya tidak punya laptop. Kursus yang hanya terbatas untuk 18 orang setiap tahunnya ini, pastilah masing-masing peserta akan butuh laptop. Sementara, uang saya total hanya Rp. 800.000,- Jika saya gunakan untuk DP kredit laptop, saya akan kebingungan lagi di masalah transportasi. Untuk masalah tidurnya dimana, tidak saya pikirkan dalam-dalam (meskipun pada akhirnya saya juga memikirkannya).

Di saat-saat seperti itulah, pada 22 Desember 2013, Tuhan menghadirkan mahluk-Nya yang baik hati, yang menawari untuk meminjamkan sebuah laptop merk Lenov* yang baru tiga minggu sebelumnya dia beli. Saat itu juga, saya terjangkit penyakit sungkan, tapi dia meyakinkan saya. Ucapannya senada dengan kalimat pendek Mas Andreas Harsono, "Tidak ada masalah." Ah, Tuhan, rumit sekali cara kerja-Mu, sekaligus mengharukan. Untuk paragraf ini, Insya Allah akan saya ceritakan di postingan tersendiri, nanti.

Hari ini saya dan Dieqy sibuk memutuskan untuk naik apa ke Jakarta. Bus atau kereta api. Meskipun lebih praktis bus, kami berdua lebih sreg naik kereta api. Alasannya sederhana saja, biar enak kalau kebelet pipis.

Dieqy bilang, dia buta peta Jakarta. Saya mencoba menghiburnya. Saya katakan, pernah satu kali ke Jakarta mengantarkan Almarhummah Ibu dan Mbak. Kami bertiga menuju Jakarta selatan naik Bus Lorena. Hanya bertahan dua minggu saya di sana. Sumuk. Lalu saya pulang ke Jember, sendirian. Tak saya ceritakan ke Dieqy tentang betapa waktu itu saya nyasar berkali-kali, hehe.

Kabar buruk. Membaca jadual keberangkatan kereta ke Jakarta, ternyata sudah banyak tiket yang terjual. Beginilah jika terlalu meremehkan waktu. Harusnya sejak kemarin kami mengurusnya. Tapi masih ada harapan. Ikut KA Logawa dari Jember menuju Purwokerto, Rp.100.000,-. Dari Purwokerto, ikut KA Sawunggaling menuju Pasar Senen, Rp.250.000,-. PP Rp.700.000,- per orang. Masih tersisa seratus ribu, dan masih ada waktu untuk mengais rejeki. Semoga saja masih ada tiket kereta yang tersisa.

Lalu, Jurnalisme Sastrawi Itu Apa?

Untuk lebih jelasnya, Anda bisa mengintip blog personal Mas Andreas Harsono di sini. Dalam jurnalisme dikenal banyak genre. Jurnalisme Sastrawi adalah satu diantara nama genre dalam dunia jurnalistik.

Pada 1973 di New York, Tom Wolfe mengenalkan sebuah genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat. Ia kemudian dikenal dengan nama narative reporting atau literary journalism. Di Jakarta, genre ini diperkenalkan lewat sebuah kursus pada Juli 2001, dan berlanjut hingga sekarang. Mas Andreas Harsono tak lelah-lelahnya untuk memasyarakatkan Jurnalistik Sastrawi.

Di blog personal Mas Andreas, ada saya baca paragraf seperti di bawah ini:

"Kursus ini dibuat dua minggu. Peserta adalah orang yang biasa menulis untuk media. Setidaknya berpengalaman sekitar lima tahun. Peserta maksimal 18 orang agar pengampu punya perhatian memadai buat semua peserta. Calon peserta diharapkan mengirim biodata dan contoh tulisan agar pengampu mengetahui kemampuan dasar peserta lebih awal. Biaya pendaftaran Rp 3 juta. Biaya tersebut sudah termasuk buku dan materi kursus non buku sekitar 200 halaman serta coffe break dan makan siang."

Entahlah saya tidak tahu, apa sebelumnya sudah ada peserta blogger (non jurnalis) yang pernah mengikuti Kursus Jurnalisme Sastrawi. Jika pernah ada, itu kabar yang membahagiakan buat saya.

Pada Uncle Lozz saya berkata seperti ini. "Ini ilmunya untuk kita semua Sam, untuk sedulur blogger. Seperti biasa, kita saling berbagi. Dungakne ae, semoga bermanfaat."

Sudah dulu ya. Istri saya ngajak jalan-jalan, mumpung langit Jember sedang cerah, hehe.

Salam saya, RZ Hakim.

Durahem

$
0
0
Sebenarnya, namanya bukan Durahem melainkan Abdul Rohim, tapi Bapak dan Emaknya terbiasa memanggilnya Durahem. "Di tanah Madura, semua yang bernama Abdul Rohim pasti dipanggil Durahem atau Dul saja." Itu keterangan yang pernah saya dapat dari Sulami, Emaknya Durahem. Tentu saja dengan logat dan Bahasa Madura yang fasih. Masalahnya, Durahem tidak dilahirkan di tanah Madura, dia lahir dan bertumbuh di Jember, kota di Jawa Timur yang terkenal akan Gumuk dan perkebunannya.

Durahem dilahirkan pada 1 Januari 1950, enam puluh tujuh tahun setelah letusan Gunung Krakatau. Di saat yang sama, Jember sedang merayakan Hari Lahirnya yang ke-21. Setidaknya, itu yang disepakati oleh warga Jember sampai detik ini.

Pernah pada suatu hari, saya berkesempatan ngobrol panjang lebar dengan Durahem. Saya bertanya banyak hal, sebab saya ingin mengenal lebih dalam tentang dirinya. Dia mengawali kisah hidupnya dengan sesuatu yang diluar logika. Saya sulit untuk percaya, tapi tetap saya catat itu di sebuah notes kecil.

"Kata Emak, saya tidak keluar-keluar dari perutnya, hingga dua belas bulan. Saya sendiri sangsi akan itu. Tidak masuk di akal. Secara medis juga tidak mungkin. Tapi orang-orang terdekat yang tahu proses kehamilan Emak, mereka semua meyakinkan saya, termasuk Bapak saya sendiri."

Durahem tidak segera melanjutkan ceritanya. Dia menyela dengan menyalakan sebatang rokok kretek filter merk Toppas, keluaran PT Karya Bina Sentausa - Malang. Kiranya, setelah Kardiyadi istrinya meninggal dunia pada 24 Mei 2008, Durahem semakin ngebbul merokok. Rambutnya juga ia biarkan putih memanjang, seperti tokoh antagonis di film-film silat dalam negeri.

"Masa kecil saya biasa-biasa saja, cenderung memalukan. Saya terlambat berjalan, hingga kira-kira usia 5 - 6 tahun. Saya juga dijuluki kerdil karena mengalami pertumbuhan yang lambat, justru di masa-masa penting pertumbuhan. Di usia 6 tahun, saya diantarkan mendaftarkan diri untuk masuk SD Bahagia. Yang membantu namanya Bu Srina. Karena tangan kanan saya tidak bisa memegang kuping kiri, saya tidak diijinkan untuk masuk SD. Diulang lagi tahun berikutnya, gagal lagi. Semua hanya karena ujung jari tangan kanan tak menggapai telinga kiri dengan sempurna. Bu Srina bisa saja meloloskan saya, mengingat antara orang tua saya dengan Bu Srina terjalin silaturrahmi yang baik. Malah masih berbau saudara. Tapi Bu Srina takut ditegur sama penilik sekolah. Baru tahun berikutnya lagi saya bisa sekolah di SD Bahagia."

Dari Durahem saya mengerti wajah Sekolah Dasar di Jember wilayah kota di era 1950-an. SD Bahagia kini berganti nama menjadi SD Jember Lor, bertempat di seberang RS Paru sebelum Pabrik Es Surabayan (sekarang JL Mawar). SD Bahagia adalah Sekolah Dasar yang menggunakan bahasa ajar Berbahasa Madura, sama seperti SD Cemara, SD Rengganis, dan SD Joko Tole. Ada juga yang menggunakan Bahasa Jawa seperti SD Damar Wulan dan SD Diponegoro.

Cerita Tentang Sura'i

"Sura'i adalah nama Bapak saya. Lahir tahun 1926 di sebuah desa bernama Pekandangan, masuk Kabupaten Sumenep. Sebagai seorang tamatan SR, wajar jika Sura'i ingin memandang dunia sedikit lebih luas. Dia ingin merantau ke tanah Jawa. Kelak, dipilihlah tanah Jember sebagai tempat untuk merantau, berproses, dan menghabiskan sisa usia bersama Emak saya, Sulami."

Meskipun Durahem tak mengerti nama-nama Kakek Neneknya baik dari pihak Sura'i maupun Sulami, tapi daya ingat Durahem terbilang tinggi. Dia dengan lancar menuturkan siapa saja saudara kandung Bapak dan Emaknya.

"Bapak saya enam bersaudara, dia nomor lima. Yang bungsu meninggal dunia ketika masih kecil. Nomor satu bernama Sirnani, nomor dua Surasah, lalu Suriyadi, nomor empat Suhinna, lalu Bapak saya Sura'i, si bungsu yang meninggal dunia bernama Asnawi.

Saya mencatat nama-nama itu. Selama saya mencatat, Durahem menceritakan satu persatu saudara kandung Bapaknya. Dia memulainya dari Sirnani, saudara tertua Durahem. Singkat saja ceritanya. Ada baiknya saya beri nomor saja, biar lebih mudah dibaca.

1. Sirnani menikah dengan lelaki Madura. Mereka tidak memiliki keturunan

2. Surasah (atau Suroso) adalah saudara Sura'i nomor dua. Dia menikahi perempuan Madura dan dikaruniai seorang putri bernama Andawiyah. Surasah pernah hilang di jaman Romusha, ketika Andawiyah masih di dalam kandungan. Selama bertahun-tahun hilangnya Surasah, pihak keluarga selalu berkirim doa padanya. Istrinya tak mau menikah lagi dan lebih memilih untuk membesarkan Andawiyah sendirian. Suatu hari di tahun 1970an, tak dinyana Surasah kembali pulang ke tanah Madura. Ternyata selama ini dia ada di Balikpapan, bertani di lahan gambut. Di sana dia sudah berkeluarga tapi tidak dikaruniai anak. Waktu itu Andawiyah sudah besar. Istri Surasah berlapang dada dan mau kembali ke pelukan suaminya. Kata Durahem, itu semua adalah bukti kekuatan doa keluarga

3. Suriyani, menikah dengan Abdul Gani. Mereka memiliki keturunan bernama Hasyim, Murka'iyah, Juma'ati, Mistajik, Anwar, Supadmo, Sutanto, dan Sugiono. Si bungsu Sugiono meninggal dunia ketika beranjak remaja. Hubungan Suriyani dan Abdul Gani tidak langgeng, pada akhirnya mereka memilih untuk bercerai dan selanjutnya masing-masing memilih untuk berkeluarga lagi dengan lain orang. Suriyani menikah dengan lelaki muslim dari Bali, Abdul Gani menikah dengan seorang perempuan cantik asal Rogojampi - Banyuwangi. Namanya Lies. Masing-masing tidak memiliki keturunan

4. Suhinna, Menikah dengan lelaki Sumenep, memiliki keturunan bernama Abdul Wahid, Diyah (Die), Rina, dan Abdul Sahid. Semuanya menetap di Sumenep wilayah kota hingga sekarang.

Baru kemudian Durahem bercerita tentang orang tuanya sendiri, Sura'i dan Sulami. Mereka dikaruniai dua orang anak, Durahem dan Sulastri. Suatu hari Sulastri kecil sedang sakit, dia duduk di tepi sendang di desa Pring-pringan Kreongan. Sementara itu, Durahem yang terlambat bisa berjalan, sedang senang-senangnya belajar berjalan. Kira-kira di umur Durahem yang ke tujuh atau delapan tahun. Bermaksud menggoda adiknya, Durahem menyenggol Sulastri. Tak disangka, Sulastri tergelincir dan jatuh di sendang dan mengalami keterlambatan pertolongan. Nyawa Sulastri pun melayang.

"Kulitnya langsat, matanya blalak-blalak, rambutnya ikal memanjang, dia cantik sekali. Kadang ada yang menyangka dia anaknya orang Arab, tapi lebih banyak yang mengira Sulastri anak keluarga India yang tinggal di Kauman Jember."

Durahem mengatakan itu sembari menghisap asap rokok dalam-dalam. Saya menjadi tidak nyaman dengan suasana itu. Akhirnya saya putuskan untuk menemaninya merokok, sambil sesekali nyruput kopi yang dihidangkan oleh menantu perempuan Durahem. Sambil menikmati keheningan yang datang tiba-tiba, saya mencoba mengalihkan pembicaraan. Sulit. Syukurlah suasana tak nyaman itu lekas membaik. Kali ini Durahem bercerita tentang Agung Serimpi.

"Bapak sering bercerita tentang Neneknya yang biasa dipanggil Agung Serimpi. Kulitnya putih, rambutnya putih memanjang dan sering digelung, perawakannya tinggi, ucapannya seringkali menjadi kenyataan. Mandih pangocak, kata orang Madura. Semua orang tahu, Sura'i adalah cucu kesayangan Agung Serimpi. Suatu hari Agung Serimpi pernah melihat dengan mata sendiri akan kebengisan tentara penjajah. Sejak itu dia melarang anak cucunya untuk menjadi tentara."

Jeda sejenak. Durahem terlihat sedang memikirkan sesuatu. Saya diam menunggu. Kemudian dia lanjutkan lagi ceritanya.

"Setamat dari SD Bahagia, saya melanjutkan sekolah di ST (Sekolah Teknik, setara SMP) jurusan Bangunan, lalu melanjutkan lagi di STM Negeri Jember, masih di jurusan yang sama, Bangunan. Sewaktu STM kelas dua, banyak rekan-rekan saya yang mendaftar sebagai tentara. Seusia saya, tak ada yang tak suka dengan gagasan setia kawan. Atas dasar itulah saya juga mendaftarkan diri sebagai calon tentara. Syarat-syarat sudah saya penuhi, termasuk pamit dari STM Negeri Jember. Saya lulus tes KIR. Tapi ada masalah. Orang tua saya tidak memberi ijin, mengusut ini hingga ke sekolah. Tetangga gempar. Saya masih muda. Malu? Tentu saja. Mau meneruskan di ketentaraan tidak mungkin. Balik ke sekolah juga aneh rasanya. Sudah pamit lha kok kembali lagi. Pulang? Saya takut, Bapak saya pendekar pencak."

Durahem memilih untuk menghilang sementara waktu. Minggat. Hmmm, lelaki sebijak Durahem ternyata pernah juga minggat dari rumah.

"Oleh saudara dari Kreongan, Sungkowo, saya diantar pulang. Di tahun ajaran selanjutnya saya kembali meneruskan sekolah. Masih di jurusan Teknik Bangunan, tapi tak lagi di bangku STM Negeri Jember, melainkan di STM Berdikari Jember. Alhasil, ijasah saya juga Berdikari. Bapak tidak marah ketika saya pulang. Tidak memukuli saya, seperti yang terbayangkan. Dia hanya mengulang-ulang pesan Neneknya atau buyut saya, Agung Serimpi. Berbeda dengan Bapak yang tenang, Emak nangis, tangisannya seperti ada nadanya, khas perempuan tani Madura."

Durahem beralih topik. Kali ini dia bercerita tentang Emaknya.

"Emak empat bersaudara, dia yang bungsu. Tepat di atasnya, namanya Burati, meninggal dunia ketika masih kecil. Semuanya perempuan. Nomor satu Jauan (Jewen), lalu Burani, lalu Burati, kemudian Emak, Sulami. Tak seperti Bapak yang dari keluarga Kyai, Emak tumbuh besar di lingkungan keluarga petani. Tapi mereka satu desa, di Pekandangan - Sumenep."

Kemudian Durahem mulai mengupas satu persatu saudara kandung Emaknya. Seperti sebelumnya, saya memberi nomor-nomor untuk mempermudah.

1. Jauan atau Jewen, menikah dengan lelaki Madura, memiliki keturunan bernama Mutali, Abdullah, Jamah. Ketiganya laki-laki. Mereka bertiga menikah, memiliki keturunan, dan menetap di desa Pekandangan Sumenep hingga sekarang

2. Burani, menikah dengan seorang Cina totok, tak bisa Berbahasa Indonesia tapi mau belajar Bahasa Madura. Mereka dikaruniai seorang anak saja. Perempuan, namanya Kim Yun. Keluarga kecil ini hijrah dari Pekandangan menuju Surabaya untuk berdagang cao dan membuka depot, tepatnya di daerah Kedungsari. Saat besar, Kim Yun menikah dengan Li Wi Cong. Mereka memiliki anak bernama, A Mi (Sulastri), A Bing (Sumiati), A Wun (Sukamto), dan yang bungsu bernama Li Ya Sin (Yasin). Meskipun sudah sempat dicegah oleh Burani, Kim Yun dan Li Wi Cong cerai tahun 1985. Tak lama kemudian Li Wi Cong meninggal dunia. Burani sendiri meninggal dunia di akhir tahun 1990an. Dia dimakamkan secara Kristen di Surabaya, tapi di Jember ditahlilkan secara Islam. Keturunan Burani masih menempati rumah Kedungsari Surabaya hingga sekarang

3. Burati, meninggal dunia ketika bocah

4. Sulami, lahir di Pekandangan Sumenep tahun 1930. Tidak bisa baca tulis tapi pandai berdagang. Dia ahli menghitung uang dan mahir mengelolanya. Sulami adalah seorang Islam yang taat menjalankan sholat lima waktu, tapi tak pandai membaca Alquran.

Di pertemuan yang berbeda, Durahem bercerita tentang perjalanan orang tuanya dari Madura menuju Jember. Menurutnya, Bapaknya baru merantau ke tanah Jawa ketika Agresi Militer Belanda sedang panas-panasnya. Di masa Agresi Militer, nasib negara boneka Madura semakin tak menentu. Ada embargo yang dikendalikan oleh orang penting Belanda bernama van Mook. Hidup menjadi terasa mengenaskan. Di saat itu, Sura'i memilih untuk hijrah ke Jawa, bersama istrinya yang sedang hamil muda.

Kisah perjalanan Sura'i membawa istrinya dari Sumenep menuju Jember sangat mengkhawatirkan. Ketika menyeberangi lautan dari Kalianget menuju Panarukan, Sulami menangis. Sebentar-sebentar dia mengelus perutnya yang lagi bunting. Ketika malam tiba, nahkoda kapal tongkang enggan menyalakan lampu, takut dijatuhi bom oleh pihak Belanda. Ini dampak dari embargo Madura oleh Belanda. Saat itu Sulami hanya memikirkan satu hal. Kenapa 'Blendeh' sejahat itu? Padahal ketika masih kecil, Sulami pernah di awe-awe oleh seorang Belanda. Dengan malu-malu, Sulami menghampirinya. Ternyata orang Belanda itu memberinya seiris roti. Sulami menebak, mungkin mungkin lantaran dirinya berkulit kuning langsat, bermata blalak-blalak, dan tidak ada borok di tangan serta kakinya. Ini aneh di era 1930an. Waktu itu banyak bocah Madura keluarga petani yang kurang terawat. Kesan masa kecil Sulami membekas hingga dia besar. Tapi ketika dia melakukan perjalanan laut, semua menjadi terlihat berbeda.

Akhirnya mereka menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sulami bersumpah, tak akan lagi menyeberang lautan lewat sana. Sumpah itu semakin menguat manakala di waktu yang lain dia mendengar kabar bahwa tongkang yang dinaikinya hancur oleh bom Belanda, ketika kembali menuju Kalianget.

Cerita sedih dimulai. Pasangan muda ini luntang-lantung kesana kemari mencari tempat berteduh. Syukurlah mereka bertemu dengan Keluarga Jubrih, orang asal Pekandangan - Sumenep yang tinggal di desa Kreongan, dan dianggap paling mampu di jamannya. Dari Keluarga Jubrih, mereka disarankan untuk tinggal di rumah Mak Rahma, juga warga Madura. Sama-sama dari Pekandangan. Suami Mak Rahma bernama Pak Busia. Mereka dikaruniai 5 orang anak; Rahma, Slamet, Matahir, Misnatun, dan Sitiani.

Setelah memiliki tempat berteduh sementara, Sura'i gigih mencari pekerjaan. Bermodalkan ijasah SR, Sura'i melamar pekerjaan di Jawatan Kereta Api Jember. Diterima, tapi sebagai pekerja kasar. Memandikan Kereta Api, itu salah satu tugas Sura'i muda.

"Jangan bandingkan pekerjaan mencuci kereta api dulu dan sekarang. Dulu lebih detail dan rapi," kata Durahem. Rupanya dia sering mendengar kisah dari Bapaknya.

Hal lain yang diulang-ulang oleh Durahem adalah tentang desa Pekandangan. Dia mendapat kisah itu dari Sura'i. Semangat sekali Durahem ketika menceritakan bahwa Pekandangan adalah tempat dimana Joko Tole bertapa. Saya enggan mencatatnya. Saya rasa, itu terlalu Pekandangan-sentris. Tapi melihat semangat Durahem, tak tega rasanya menghapus poin ini dari catatan.

"Di desa itulah dulu Joko Tole bersemedi. Kemudian sejarah mencatatnya sebagai Raja Kerajaan Sumenep yang ke-13 sebelum Raja Abdul Rahman. Kiranya belum ada sejarawan yang melakukan penelitian tentang perpindahan kepercayaan dari Hindu Siwa ke Islam. Padahal itu bisa ditelaah dari era Joko Tole berpindah ke era Abdul Rahman. Dari namanya saja beda."

Mata Durahem tampak berbinar ketika menceritakan itu.

Tentang tempat pertapaan Joko Tole sendiri, sebelumnya saya pernah diantar ke sana oleh Durahem, di Pekandangan Sumenep. Tempat pertapaannya hanya berupa gua dengan mulut gua yang kecil. Ada pohon talas yang tumbuh tepat di depan mulut gua. Letak gua itu tepat di belakang dapur rumah keluarga Sura'i. Sekarang di atas tanah milik Sura'i berdiri sebuah lembaga pendidikan semacam pesantren.

Kembali ke kediaman baru pasangan Sura'i dan Sulami, di rumah Mak Rahma.

Suatu hari, Sulami merasa tidak kerasan tinggal di rumah Mak Rahma. Atas inisiatif pribadi, dia mencari kontrakan di daerah Pring-pringan Kreongan, tak begitu jauh dari kediaman Mak Rahma. Tak disangka, di sana sudah ada seorang bijak yang menanti kedatangan perempuan dengan perut besar, Sulami. Dia adalah lelaki sepuh yang dikenal dengan nama Mbah Nap.

"Kamu sudah saya tunggu. Di sini saja, tinggal di sini," Kata Nap pada Sulami. Tentu saja Sulami kebingungan. Pada akhirnya dia mengerti, orang yang bernama Nap itu dipercaya oleh para tetangga memiliki hati yang bersih. Ada pula yang bilang Nap setengah wali. Begitulah, pada akhirnya pasangan Sura'i dan Sulami tinggal di daerah Pring-pringan Kreongan, di atas lahan milik Nap. Pada 1 Januari 1950, hanya berselang 4 hari setelah pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia, Sulami melahirkan seorang bayi laki-laki. Ya, di kampung Pring-pringan inilah Durahem dilahirkan. Kelak, kampung ini lebih dikenal dengan nama kampung 'Hotel Gak Dadi' Kreongan.

Adapun Durahem, mulanya dia diberi nama Abdul Kahar. Nama itu dirasa terlalu berat, Kahar kecil sakit-sakitan. Digantilah namanya menjadi Abdul Ghofur, masih juga sakit-sakitan. Lalu orang tuanya membawanya toron ke tanah Madura. Di sana, dia diberi nama Abdul Rohim. Nama ini tak lagi berganti, bahkan meskipun Durahem terlambat untuk bisa berjalan, dan lebih banyak menikmati masa balitanya di atas keranjang.

"Menurut cerita rakyat Pekandangan, dulu ada seorang pertapa yang bersemedi di desa mereka. Dia merencanakan kota Sumenep yang akan diletakkan di Pekandangan. Tapi berhubung kondisinya berbukit-bukit, rencana tersebut urung diteruskan. Perencanaan dalam istilah warga setempat bernama Pekantangan. Jadi, nama Pekandangan bermula dari Pekantangan. Ini memang foklor yang berbeda dari versi Joko Tole. Tapi masyarakat percaya bahwa tanah 'Pekantangan' urung dijadikan pusat kota Sumenep karena tanahnya yang 'Sesompan.' Itu juga membuatnya angker dan tidak boleh ditarik pajak. Barangkali, dari sinilah inspirasi nama saya, Abdul Rohim."

Semakin hari, Sura'i dan Sulami semakin mandiri. Sura'i pekerja yang rajin, sementara Sulami pandai mengatur keuangan. Dia ulet, meski dengan metode tradisional. Menabung pun hanya di celengan bambu. Pada saat keadaan ekonomi mereka semakin stabil, lahirlah anak kedua. Perempuan, namanya Sulastri. Dia meninggal dunia saat bocah, seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya.

Kelak, Durahem kembali memiliki adik perempuan, namanya Sri. Durahem bercerita banyak hal tentang Sri dan tentang anak-anak Sri; Almarhum Hariyanto, Sumiati, Heru, Iswanto, Budi Hartono, hingga Nining. Ketika berkisah, tampak sekali jika Durahem sangat menyayangi Sri. Sayangnya, cerita yang berderet-deret itu hanya bisa parkir di notes kecil. Berlembar-lembar. Kata Durahem, "Tolong yang ini jangan ditulis."

Ketika Durahem duduk di bangku kelas satu SD Bahagia (atas bantuan Ibu Srina), karir Sura'i di Jawatan Kereta Api semakin bagus saja untuk ukuran tamatan SR. Dia juga dipercaya menempati sebidang tanah Jawatan Kereta Api di belakang ST - STM Negeri Jember (Sejak 1991 ST berubah menjadi SMP Negeri 10 Jember. Tahun 1994, lokasi belajar mengajar STM Negeri Jember dipindahkan ke Jl. Tawangmangu 59 Tegal Gede). Nap keberatan. Semua orang Pring-pringan tahu mengapa Nap keberatan. Sebab beliau sangat menyayangi pasangan muda ini, beserta Durahem anaknya. Iya, meskipun Nap memiliki tiga orang Anak; Alwi, Sadran, dan Mubah, namun perhatiannya pada orang tua Durahem sangat tulus. Meski demikian, Sura'i bersikukuh untuk memboyong keluarga kecilnya di atas tanah milik Jawatan. Akhirnya Nap mengiyakan. Di tahun pertama, hampir setiap hari Nap mengunjungi mereka.

Sekilas tentang Nap atau Mbah Nap. Nap tidak makan nasi, melainkan ketan. Makan dan minum harus menunggu dingin. Bahkan ketika minum wedang kopi, harus menunggu benar-benar dingin, baru kemudian diminum. Kemana-mana selalu membawa omplong untuk tempat meludah. Iya, Nap bukan tipe orang yang sembarang meludah. Banyak orang yang mengunjunginya untuk meminta sambung doa. Ketika ada tentara yang hendak berangkat berperang, mereka mengunjungi Nap. Barangkali setelah didoakan oleh Nap, para tentara ini terdongkrak rasa percaya dirinya.

Anak Nap yang pertama namanya Alwi, dia pesilat nomor satu di Jember waktu itu. Alwi memiliki tiga anak bernama Ahmad, Arifin (Tete), dan Titik. Karier tertinggi Alwi adalah sebagai Kepala Cabang Gudang Garam di Tapen. Setelah Alwi ada Sadran, seorang pegawai Jawatan Kereta Api, tidak memiliki keturunan. Yang bungsu perempuan, namanya Mubah. Memiliki seorang anak bernama Sungkowo, biasa dipanggil Yasin sejak kecil.

Suatu hari, Nap memanggil salah seorang warga kampung Pring-pringan Kreongan yang bernama Jarbak. Disuruhnya Jarbak untuk mengukur panjang tubuh Nap dengan bambu, kemudian pada hari yang ditentukan Jarbak disuruhnya menggali kuburan di tanah yang sudah ditunjuk oleh Nap. Karena Jarbak mempercayai lelaki berdarah Using Puger yang selalu meneduhkan ini, dia melakukan semuanya. Iya benar, setelah semuanya terlaksana, Nap meninggal dunia. Sulit dipercaya, tapi itu terjadi di tahun 1971.

Sura'i dan Sulami semakin kuat jiwa kemandiriannya. Sulami membantu suaminya mencari penghasilan dengan berdagang. Mulanya dia membuka toko pracangan kecil. Sepi, tapi dia tetap melakukannya. Ketika Durahem STM kelas satu, Sulami mulai mengganti bisnis toko pracangannya menjadi penjual rujak saja. Ternyata banyak yang suka dengan rujak olahannya. Kelak, rujak Emak Durahem dikenal lebih luas hanya gara-gara ada seorang pembantu Bupati yang membeli rujak di tempatnya. Memasuki abad Millenium, tangan kanan Sulami sering sakit. Kalau memegang sesuatu sering jatuh. Sedikit tremor. Sulami sudah tidak kuat lagi 'cek-kocek' rujak, tapi dia memaksa. Pada akhirnya dia berhenti jualan rujak. Durahem keberatan. Selain itu, tangan kanannya memang semakin melemah.

Karier tertinggi Sura'i adalah masinis. Ketika sudah merasa cukup mandiri, Sura'i mulai mengembangkan kegiatan lain di luar pekerjaannya. Sekali dalam seminggu Sura'i mengumpulkan teman-temannya sesama perantauan asal Sumenep. Mereka menghidupkan tradisi Macapat di tanah Jawa. Sura'i ahli meniup seruling. Kadang, dia juga membaca dan mengapresiasi kidung-kidung Macapat. Dia pula yang mengorganisir para anggota Macapat. Group Macapat ini sering diundang RRI dan RKPD untuk tampil on air.

Waktu itu, Kreongan adalah kawasan yang ramai. Kreongan adalah wilayah yang kondusif untuk tumbuh kembangnya seni maupun olahraga. Pernah saya baca di surat Kabar Pewarta Perniagaan tertanggal 26 Mei 1943, begini bunyinya; "Oentoek memadjoeken olah raga, kaboepaten Djember membikin tanah lapang olah raga didesa Kreongan, loeasnja kira-kira 20 ha dengan beaja F 30.000,-

Selain didirikannya Stasiun Jember pada 1890, di dekat sana juga ada Pusat Penelitian Kopi dan Coklat, sejak 1911. Ada pula Sanatorium Kesehatan, RS Kreongan Jember (sekarang RS Paru). Sebelum menempuh pendidikan PETA dan berpangkat Letnan Kolonel, Mochammad Sroedji bekerja di Rumah Sakit ini sejak 1938 hingga 1943, sebagai Pegawai Jawatan Kesehatan Mantri Malaria. Kediamannya ada di dekat Rumah Dinas Kepala DAOP 9 Kereta Api.

Kreongan adalah Nusantara dalam skala kecil, jaraknya dekat sekali dengan alun-alun kota. Jadi, untuk menuju pusat kota cukup berjalan kaki saja. Banyak pendatang dari berbagai suku, tak hanya Jawa dan Madura saja. Di sini bahkan ada sebuah kampung bernama Kampung Using. Rata-rata dari mereka ingin memperbaiki taraf hidupnya, dan Kreongan waktu itu dipandang sebagai wilayah dengan tawaran kesempatan hidup lebih baik.

Di tempat yang seramai itu, Macapat mudah berkembang dan banyak yang memberi apresiasi. Lagipula, Sura'i dan kawan-kawan bukan yang pertama membawa napas budaya Macapat di Kreongan. Sebelumnya sudah ada, banyak.

Kabar Kreongan tak selamanya indah. Efek Gerakan 30 September PKI pada akhirnya juga menyapa Kreongan. Di sini ada banyak sekali keluarga Jawatan Kereta Api. Apesnya, saat itu Jawatan Kereta Api disangka memiliki banyak karyawan yang terlibat PKI. Orang dengan posisi baik akan dengan mudah memfitnah seseorang yang tidak disukainya dengan label PKI. Pagi dilabeli, malamnya diangkut naik truk, dikumpulkan di tanah yang lapang. Stadion Notohadinegoro adalah salah satu pilihan untuk mengumpulkan orang-orang. Yang dicurigai sebagai anggota PKI, akan diangkut dengan truk khusus, yang lain boleh pulang. Sudah menjadi rahasia umum, yang naik truk khusus tak akan pernah kembali. Sura'i dan para tetangga di kampung Kreongan mujur, tidak ada yang melempar fitnah. Tapi ada juga yang ketiban sial.

Suatu hari di tahun 1993.

Ketika itu pertengahan Ramadhan. Sura'i menjadi Bilal Tarawih di musholla kecil di dalam lingkup gedung STM lawas. Ketika tarawih usai, dilanjut dengan tadarrus, membaca Alquran. Rupanya wudhu Sura'i terputus. Dia memilih untuk mengambil wudhu di rumah saja, tak jauh dari musholla. Sementara dia pulang, yang lain disuruhnya untuk tetap mengaji. Sesampainya di rumah, segera Sura'i mengambil wudhu. Setelahnya, dia mendengar keluh kesah Sulami, istrinya. Lampu di warung mati. Sura'i mengerti apa yang diresahkan istrinya. Jika lampu warung mati, bisa saja tikus-tikus akan berpesta pora. Itu tandanya, besok Sulami tak bisa berjualan rujak secara optimal. Tak menunggu waktu lama, Sura'i memeriksa kondisi kabel listrik bertegangan 110 volt. Ada kabel telanjang, tangannya masih basah oleh air wudhu. Sura'i kesetrum dan terjungkal ke lantai yang baru dia traso sendiri. Tak lama kemudian, Sura'i menghembuskan napasnya untuk terakhir kali, pada kondisi masih berwudhu.

Durahem sedih, tapi waktu terus berjalan tak peduli apakah kita sedih ataukah bahagia. Tiga belas tahun kemudian, Sulami menyusul Sura'i. Dia meninggal dunia di usia 76 tahun, di kediamannya tercinta, Kampung Kreongan belakang gedung STM lawas.

Sedikit Lagi

Setelah gagal menjadi tentara, Durahem melanjutkan sekolah di STM Berdikari sampai tamat. Dia memegang ijasah STM tahun 1971. Satu tahun berikutnya, Durahem bekerja di DPU Bina Marga. Di tahun yang sama, Durahem jatuh cinta pada seorang perempuan, dia karyawan Universitas Jember, di Sospol. Namanya Kardiyati. Meskipun melalui masa pendekatan yang tak mudah, cinta Durahem tak bertepuk sebelah tangan. Cinta mereka bersemi, diiringi oleh lantunan lagu-lagu Tetty Kadi. Lalu mereka menikah. Meskipun tidak ikut program KB, mereka dikaruniai dua anak. Yang pertama perempuan bernama Rohim Tusdiyah Indah. Si bungsu adalah laki-laki, sejak kecil biasa dipanggil Aim.

Sebagai anak Durahem, saya bahagia.
Viewing all 205 articles
Browse latest View live