Artikel ini bertutur tentang Ica. Sudah setengah tahun ini ia bekerja di perusahaan kilang di Melaka. Sejak 5 Maret 2014, dikabarkan Ica tidak lagi masuk kerja, tidak pulang ke penginapan, kawan-kawan dekatnya tidak tahu keberadaan Ica, nomor ponsel tak bisa dihubungi, tentu kami yang di Jember khawatir. Semoga Ica baik-baik saja.
Ia perempuan yang masih sangat muda, kelahiran 19 September 1995. Namanya Annisa Rahmawati, dengan panggilan Ica. Karena bertubuh mungil, kadang saya memanggilnya Unyil. Teman-temannya di dunia pencinta alam SISPERPENA, biasa memanggil Ica dengan nama Genyok. Ia baru lulus tahun lalu dari SMK Negeri 1 Sukorambi - Jember.
"Terus kamu pingin melanjutkan kemana Ca?"
Ica tersenyum ketika saya menanyakan itu. Lalu ia bercerita tentang sebuah kontrak kerja antara pihak sekolahnya dengan beberapa perusahaan yang butuh tenaga kerja. Perusahaan yang Ica pilih adalah PT Orientasi Mahkota Buduran Sidoarjo. Ica senang sekali begitu mendengar kabar ia lulus tes dan berhak menjadi karyawan di sebuah perusahaan kilang di Melaka, Malaysia. Kontrak kerja dua tahun. Pada 4 September 2013 yang lalu, dia dan beberapa rekannya yang sama-sama lulus tes, berangkat ke Melaka. Urusan paspor dan surat-surat lainnya menjadi tanggung jawab pihak SMK Negeri 1 Sukorambi.
Selama di sana, Ica menempati sebuah hostel atau kontrakan di daerah Taman Bachang Melaka.
Ica yang berjilbab, bersama Chindy Oktavia di Melaka
Benar juga kalimat sakti, berjauhan menciptakan rindu. Ketika rindu menyapa, kami yang di Jember hanya bisa menanti status-statusnya di media sosial. Kami mengingat banyak hal tentang Ica; tentang kecerewetannya, keras kepala, sedikit nekad, usil, cerawak, dan keluguannya. Ica senang turut berdendang ketika Tamasya Band tampil di acara-acara kecil seperti Dies Natalis Pencinta Alam. Suatu hari di bulan Maret 2013, kami mengajaknya untuk recording di lagu berjudul; Sampai Rimba Merdeka. Ica senang menjadi backing vokal di lagu itu. Kini, lagu 'Sampai Rimba Merdeka' menjadi pengobat rindu bagi kami di panaongan.
Kemarin, ketika sedang menikmati lagu tamasya yang berjudul Sampai Rimba Merdeka, ada pesan masuk di ponsel saya. Ternyata dari Dodon, Kakak angkatan si Ica di Pencinta Alam Sisperpena. Kabar yang mengejutkan, sebab Dodon bercerita tentang Ica.
"Iso njaluk tulung? Tolong hubungi Ica via facebook. Sejak lima hari yang lalu ia tidak ada di tempat kerja, juga di mess. Ponselnya tidak aktif, teman-teman kerjanya tidak ada yang tahu."
Saya terdiam. Lemas. Sejak tiga hari yang lalu saya memang sedang ada di kondisi kesehatan yang buruk. Kadang saya memang online, membuka email dan inbox, membaca beberapa berita, kemudian kembali terkapar di atas ranjang. Saya tidak banyak menulis meski sudah mulai ada satu dua permintaan tulisan. Memang sudah waktunya menulis, beras di gentong juga sudah habis. Ah, sejak kapan saya mengkhawatirkan beras? Maaf, saya mengigau. Tapi saya benar-benar lunglai. Mulut rasanya sebah, demam, nyeri di persendian. Semua itu semakin lengkap ketika mendengar kabar tentang Ica. Seperti ada kunang-kunang yang terbang berputar-putar tepat di atas kepala saya.
Ada apa lagi nduk?
Saya mencoba mengingat kembali kabar terakhir dari Ica. Kami sempat bercanda di inbox. Kata Poetri, sekarang Ica punya kawan dekat, lelaki India. Ketika saya menanyakan itu di inbox, Ica membantahnya. Syukurlah, semoga itu memang tidak benar. Ica masih sangat muda, 18 tahun. Semuda itu bekerja di kilang, jauh dari orang tua, tentu baik bagi Ica untuk pandai-pandai memilih teman bergaul.
Satu jam yang lalu saya coba menghubungi Mbak Endar, Ibunya Ica. Berharap ia sudah menerima kabar dari putri sulungnya. Nihil, belum ada kabar. Teman-teman Ica satu mess juga tidak ada yang tahu keberadaan Ica.
Sayup-sayup, saya kembali teringat kata-kata Dodon via sms, kemarin sore.
"Ica kuwi kan kontrak kerja tho. Dadi misale sampek sesok Ica gak onok ngantor, de'e di-PHK dari Perusahaan. Lha kan urusane iso dowo."
Sesuai peraturan yang berlaku di Melaka, Ica akan terjerat khasus lari dari majikan. Ini yang membuat kepala saya semakin berat, berputar-putar seperti hendak melawan arah berputarnya tata surya.
Ica, kau tahu apa status facebook Mbak Kelor hari ini? Bacalah; Wahai anak gadis yang sedang merantau, berilah kabar agar kami tak risau.
Seringkali, kehilangan yang paling menakutkan adalah ketika kita tak lagi mendengar kabar dari orang terdekat.
Di luar sana, orang-orang masih sibuk berbincang tentang hilangnya pesawat Malaysia Airlines. Jika dilihat dari sudut pandang media, kecelakaan udara dengan kemungkinan korban 239 penumpang jelas merupakan berita besar. Itu semua berbanding lurus dengan kegelisahan keluarga para penumpang yang rindu mendengar kabar dari orang tersayang.
Maret tahun ini dipadati oleh berita-berita yang datang dengan cepat, saling menggeser dan saling mencuri perhatian publik. Di antara lalu lalangnya berita, kami di Jember juga memiliki sebuah kabar. Dibanding dengan pemberitaan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, tentu berita yang satu ini jauh lebih kecil. Ibarat segumpal Gunung Sinabung dan sebutir debu.
Iya benar, ini tentang seorang gadis 18 tahun bernama Annisa Rahmawati a.k.a Ica. Dia baru lulus tahun lalu dari SMK Negeri 5 Jember, dulu bernama Sekolah Menengah Teknologi Pertanian Jember. Setamat sekolah, Ica bekerja di Kilang Koa Denko, Melaka. Ia bisa bekerja di sana karena pihak SMK Negeri 5 Jember memiliki kerja sama dengan perusahaan penyalur tenaga kerja. Pada 4 September 2013, Ica berangkat ke Melaka untuk bekerja di Kilang Koa Denko, Melaka, melalui PT Orientasi Mahkota Buduran Sidoarjo sebagai pihak penyalur tenaga kerja.
Ada apa dengan Ica?
Sejak 5 Maret 2014, dikabarkan Ica tidak lagi masuk kerja, tidak pulang ke penginapan, kawan-kawan dekatnya tidak tahu keberadaan Ica, nomor ponsel tak bisa dihubungi, tentu kami yang di Jember khawatir.
Saya menuliskan perihal itu di artikel berjudul; Menanti Kabar dari Ica di Melaka. Tadinya saya bermaksud menulis dengan gaya bahasa yang lugas seperti, "Telah hilang adik kami di Melaka, warna kulit sawo matang, dan seterusnya," namun saya mengurungkan niat itu. Ada banyak pertimbangan. Selain saya tidak memahami benar kondisi di lapangan selama Ica bekerja, takut hal itu justru memberi efek buruk pada psikologis Ica, saya juga teringat kejadian di pertengahan Februari yang lalu ketika masyarakat dunia maya ramai-ramai share tentang berita orang hilang bernama Alemantis alias Titis. Saya juga salah satu yang turut membagi informasi itu melalui jejaring sosial facebook. Tak lama kemudian, portal berita detik dotkom mengabarkan bahwa Alematis ditemukan di Hotel Harris Kelapa Gading. Setelah itu senyap, tak ada lagi berita tentang Alemantis. Masyarakat dunia maya yang sudah terlanjur ingin tahu kabar selanjutnya, terpaksa menelan ludah. Lalu, muncul berbagai opini.
Hal-hal di atas membuat saya berpikir berulang-ulang ketika harus menulis tentang Ica meskipun di blog personal. Berita yang saya dapatkan dari keluarga tentang Ica, baru saya tuliskan 22 jam kemudian, itu pun dengan menggunakan gaya bahasa blog. Saya berpikir, bagaimana jika ternyata Ica baik-baik saja? Tapi waktu terus berjalan, harus ada yang mau mengambil resiko. Kebetulan saya ada kesempatan koneksi internet, maka saya mengambilnya.
"Mas Hakim, mungkin keluarga tidak memikirkan soal PHK. Tapi Mas, kalau sampai di-PHK, itu berarti harus siap jadi pekerja illegal."
Hari ini kata-kata dari Makcik Iffen kembali terngiang di kepala saya. Tiga hari yang lalu saya sedikit membantahnya. Maafkan, sepertinya saya terlalu tergesa membalas apresiasi Makcik.
Tik tok tik tok.. Detik terus merayap, tak ada kabar langsung dari Ica. Pihak terkait sudah berbaik hati berusaha mengulur waktu penarikan permit, ijin tinggal Ica di negeri serumpun. Jika sampai besok tak ada kabar dari Ica, tentu apa yang dikatakan Makcik akan terjadi. Dianggap illegal dan berhadapan dengan polis setempat.
Kabar Terkini Tentang Ica
Dua hari yang lalu, ada terlihat pergerakan Ica di dunia maya. Mbak Endar, Ibunya Ica, ia berkirim kabar kepada saya via inbox. "Pesanku dah dilihat sama Ica tadi jam 00.20 Mas..Tapi nggak dibalas."
Tentu kami yang di Jember senang. Ini kabar baik, batin saya. Malam harinya, masih di hari yang sama, jejaring sosial facebook milik Ica aktif, ia update status. Harusnya kami senang, tidak justru semakin khawatir. Ini yang dituliskan Ica di facebook, 13 Maret pukul 11:18 waktu Melaka.
Goodbye :') i love u
Now i want sleep
Setelah itu, tak ada lagi kabar dari Ica. Kabar-kabar lain berdatangan, tetapi bukan dari Ica.
Apa benar Ica bermasalah dengan kelengkapan surat-surat? Yang kami tahu, Ica masuk Melaka dengan jalur legal. Namun saya kembali teringat kata-kata Makcik Iffen, "Kan anak kilang kebanyakan cuma dikasih fotocopy."
Sungguh tidak mudah melakoni peran untuk berusaha tidak panik. Syukurlah saya bisa. Semisal saya dan istri tidak mengenal Ica, tentu ceritanya akan berbeda. Pasti akan hambar, biasa-biasa saja, dan kami tak mungkin memiliki kesempatan memetik pelajaran berharga seperti sekarang ini. Rasa ini membuat empati kami terasah pada keluarga korban hilangnya pesawat Malaysia Airlines, bencana asap di Riau, bencana Sinabung, Kelud, Marapi, bencana banjir, dan semuanya.
Benar, kehilangan yang paling menakutkan adalah ketika kita tak lagi mendengar kabar dari orang terdekat.
Sedikit Tambahan
Sedianya tulisan ini akan saya publish kemarin, 14 Maret 2014. Namun saya merasa ada baiknya menunda, memberi penghargaan pada perjuangan saudara-saudara kita di Riau dan sekitarnya, mereka mengusung gagasan melawan ASAP, memanfaatkan media dunia maya. Di hari yang sama, ketika issue melawan ASAP tergeser oleh berita Jokowi nyapres, saya tetap menahan diri untuk tidak mempublikasikan tulisan ini.
Hari ini, bersamaan dengan Anniversary SWAPENKA yang ke-32 tahun, tulisan ini saya publish. Hari jadi SWAPENKA hanya berjarak lima hari dengan SISPERPENA, organisasi pencinta alam tempat dulu Ica berproses. Semoga ia ingat bahwa menjadi pencinta alam adalah tentang mempersiapkan diri pada situasi yang sulit, menghargai kehidupan, dan tak lupa berkirim kabar.
Apa kabar Ca?
Mendung diciptakan bukan untuk membuat langit gelap, ia hadir untuk memberi kabar gembira akan sejuknya air hujan yang akan turun - Ratt Maniese
Kamu lagi ngapain sekarang Ca? Tiga hari yang lalu, ketika Ibumu ke panaongan, tampak sekali jika ia merindukan seorang Annisa Rahmawati, putri sulungnya. Iya benar, itu adalah dirimu. Beliau shock ketika mendapat kabar dari pihak Kilang Koa Denko Melaka, kau sudah beberapa hari tidak masuk kerja.
"Sejak 5 Maret 2014, dikabarkan Ica tidak lagi masuk kerja, tidak pulang ke penginapan, kawan-kawan dekatnya tidak tahu keberadaan Ica, nomor ponsel tak bisa dihubungi, tentu kami yang di Jember khawatir. Semoga Ica baik-baik saja."
Ibumu bilang, kabar terakhir yang disampaikan Ica adalah bahwa dia butuh uang. Tentang update statusmu di facebook tanggal 13 Maret 2014, aku tuliskan di catatan blog berjudul; Apa Kabar Ca?
Setelah kau update status, kemudian hening, tidak ada kabar lagi darimu. Kabar gembira datang lagi melalui Ibumu. Itu terjadi pada hari senin, 17 Maret 2014. Saat itu kau berkirim inbox ke facebook Ibumu, isinya; "Ibu mau transfer uang berapa ke Ica?"
Kata Ibumu, kau kemudian menulis pesan bahwa tak perlu dijemput, nanti akan balik sendiri.
"Tapi sak umur-umur Ica iki ora tau boso ki kok boso yo Mas? Bilangnya hapenya ilang."
Tentu Ibumu khawatir. Ia juga sempat berpikir, bagaimana jika itu bukan Ica? Namun kemarin ia tetap mengusahakan untuk transfer, mengikuti firasatnya sebagai seorang Ibu. Katanya, selain hapemu hilang -tidak bisa dihubungi sejak 10 Maret 2014- kau juga punya tanggungan hutang ke temanmu sebesar 1000 ringgit.
"Ica memang butuh uang Mas. Saya sudah coba transfer sejak 5 Maret 2014."
Selama percakapan yang sepenggal-sepenggal itu, kau sama sekali tidak mau menyebutkan lokasi keberadaanmu. Jika kami harus menjemput, kami harus butuh mengerti hendak mendarat dimana. Ibumu tanya ke pihak PJTKI tentang alamatmu, tapi tak pernah diberi alamat yang detail.
Pada 15 Maret 2014, orang tuamu meluncur dari Jember ke Sidoarjo. Tujuan mereka adalah PT Orientasi Mahkota, PJTKI yang memberangkatkanmu ke Melaka pada awal September 2013 yang lalu. Alamatnya ada di Jl. Antartika no. 2A Buduran – Sidoarjo, 031-8958708. Ia adalah PJTKI yang melakukan kerjasama dengan pihak sekolahmu dalam urusan pemberangkatan tenaga kerja non pembantu rumah tangga. Dari sini hanya ada sedikit peluang untuk mengetahui keberadaanmu. Mereka selesai pada kalimat, "Kami akan mengusahakan bla bla bla."
Ibu Dyan selaku pimpinan PT Orientasi Mahkota, kabarnya ia masih sibuk oleh pencalonannya sebagai caleg.
Sebenarnya PT Orientasi Mahkota membuka cabang di Jember, di bawah tanggung jawab Ibu Ana. Ia bisa dihubungi di 087851260936 atau di 085236157393. Ibumu telah menghubunginya, untuk menanyakan alamat hostelmu.
"Aneh Mas, saya tidak diberi alamat hostel. Kenapa ya?"
Aku lihat di foto-foto di jejaring sosialmu, kau terlihat akrab dengan temanmu sesama buruh migran yang bernama Noviyanti Resmita. Kepadanya aku berkirim pesan via inbox. Dia bilang tidak tahu keberadaanmu, begitu juga dengan teman-teman yang lain. Mereka tidak tahu. Jawabannya pendek-pendek, terkesan jika kau tidak disukai? Ah, semoga tidak ya Ca.
"Kita aja yang satu rumah -hostel- kurang tau y̶̲̥̅̊ăă mas. Ica sering pulang malem, keluar malem, semenjak kenal sama orang Melayu."
Tadinya kabar kurang sedap itu aku simpan rapat-rapat dari Ibumu. Aku jadi ingat inbox dari Kurnia Shandy tepat seminggu yang lalu, 14 Maret 2014. Kata Sandhy, "Mas, tadi aku sempat kirim pesan di facebook Farah, tanya kabarnya Ica. Terus dia jawab gini. 'Iya dia hilang. Sekarang dia jadi buronan police di sini. Soalnya dia nggak ada surat-surat. Paspor aja nggak ada. Kamu tau dari siapa?'"
Farah, teman seangkatan Ica namun beda sekolah, ia juga menjadi buruh migran di negeri jiran. Aku mengenalnya ketika ia masih aktif di pencinta alam EXPA - SMA Negeri 1 Kalisat. Tentu yang dikatakan Farah mudah untuk disanggah, sebab Ica masuk dengan jalur legal. Di kilang tempat Ica bekerja, paspor tidak ditahan melainkan dipegang oleh masing-masing pemilik. Entah Farah mendapat informasi dari siapa.
Tiba-tiba saja aku teringat dasar-dasar SAR, tentang berusaha untuk tidak panik. Jika menuruti semua informasi yang masuk, bisa dipastikan kami yang ada di Jember semakin kalang kabut dan tidak siap mental untuk mencari jalan keluar, apalagi jika harus memikirkan skenario terburuk.
Kemarin lusa aku memberitahu Ibumu tentang apa yang disampaikan Noviyanti di inbox, menyangkut perkenalanmu dengan orang Melayu yang entah siapa dia. Ibumu bilang begini;
"Untuk keluar masuk hostel itu ketat sekali Mas. Misalnya jika Ica hendak pergi ke sebuah pasar yang jaraknya dekat sekali dengan hostel. Ia akan pamit di gerbang yang dijaga oleh petugas. 'Makcik, ijin keluar.' Lalu paspor diberikan pada penjaga, baru bisa diambil ketika pulang. Harusnya pihak hostel mengerti dengan siapa Ica keluar terakhir kalinya."
Ca, kami yang di Jember bertanya-tanya, siapa orang Melayu itu? Apakah dia baik? Kenapa pihak kilang dan hostel tidak mau bicara ketika kami menanyakan itu? Pada 17 Maret 2014 Ibumu juga menelepon Pak Imam di nomor +60192703387. Ia seorang PIC Head Office Concepts Groups perwakilan Indonesia. Hasilnya?
"Belum ada kabar Mas. Hari Senin aku telepon Pak Imam yang di Melaka. Dia tetap ngotot mau lapor polis, dan kesannya mereka nuduh aku tau keberadaan Ica."
Oh iya Ca, tentang permit.
Tentu kami sudah mempelajari bagaimana sengsaranya dirimu jika ijin tinggal dicabut. Kalau permit sudah dilepas, tidak ada hubungan apa-apa lagi antara pihak kilang dengan pihak PJTKI. Itu artinya kau akan menghadapi sesuatu yang berat. Harusnya permit dicabut pada hari Minggu kemarin, 16 Maret 2014. Kami menjadi heran ketika sehari berikutnya Pak Imam bilang begitu. Artinya permit masih tarik ulur. Ini bisa jadi kabar baik. Tapi ada sepenggal tanya yang juga menyertainya. Kenapa? Ada apa?
Kemarin, 20 Maret 2014, Mas Bebeh ke sekolahanmu. Ia menemui Ibu Ruhama selaku kesiswaan, yang bersentuhan dengan perihal ini. Kata Bu Ruhama, kau baik-baik saja. Tapi setelah Mas Bebeh menceritakan kronologisnya, baru ia berinisiatif untuk menelepon Ibu Ana, pihak PJTKI cabang Jember. Dari Ibu Ana, Bu Ruhama mendapat kabar yang berbeda. Katanya, Ica baik-baik saja, ia bisa dihubungi.
"Lho Bu, saya baru kemarin ngobrol sama Ibunya Ica. Tidak begitu ceritanya. Malah Ibu Ana bilang sebaliknya pada pihak keluarga, bahwa belum ada kabar tentang Ica."
Bu Ruhama terkejut. Perjumpaan itu ditutup dengan janji beliau untuk membicarakan masalah ini dengan Bapak Saleh, Wakasek SMK Negeri 5 Jember, sekaligus menanyakan alamat hostel Ica.
Jika sampai besok tidak ada kabar, kami yang ada di Jember akan bersegera mengirimkan surat pada BNP2TKI tembusan ke Departemen Perlindungan WNI Kemenlu, juga beberapa cara yang lain.
***
Kamu lagi ngapain sekarang Ca? Hari ini Mas Bebeh sibuk sekali, dia tidak sempat kembali lagi ke sekolahmu. Belum ada kabar terbaru yang bisa aku dengar dan sampaikan di catatan ini.
Ohya hampir lupa. Ca, kau kenal dengan anak pencinta alam Gapena yang bernama Dimas Prayogi? Dia dinyatakan hilang sejak 16 Maret 2014 di Gunung Pasang, Jember. Hingga kini belum ada kabar. Mas Kernet, Mas Dodon dan lain-lain, mereka ada di Posko SAR yang ditempatkan di rumah Pak War. Semoga selekasnya ada kabar baik ya Ca, seperti harapan kami padamu.
Sudah ya Ca, aku mau ngopi dulu. Nanti kita sambung lagi. Dadaaaah, twing!
Kemarin sore saya dan Prit mengajak Arum, Kelor dan Pije ke belakang rumah, bermain di kediaman Keluarga Rustam. Tentu saja si kecil Aldin ada diantara kami. Keluarga Rustam, mereka memiliki pelataran yang luas, dengan sendang yang menyejukkan hati. Di group facebook keluarga tamasya, saya menulis undangan terbuka pada kawan-kawan dengan deretan kalimat seperti di bawah ini.
"Sore ini kami sedang melakukan pengamatan capung di sendang belakang panaongan. Monggo merapat jika tertarik."
Sendang ini berhasil mengundang banyak sekali capung
Mempelajari capung itu mudah. Hanya dengan modal rajin googling dengan kata kunci capung maka pandailah kita. Namun saya memilih cara langsung untuk mempelajarinya. Ini bukan hobi baru, saya hanya sedang melanjutkan kesenangan masa kecil. Bedanya, kali ini saya belajar lebih detail, sejak akhir bulan September tahun lalu.
Kepada Kelor dan Arum, saya bercerita tentang capung senja -Zyxomma Obtusum- yang sedang kami nantikan kehadirannya di tepi sendang.
"Capung yang kita tunggu-tunggu ini adalah capung yang unik, hanya ditemui di sore hari antara pukul empat hingga pukul enam, makanya dikenal dengan nama capung senja. Beberapa orang juga menyebutnya dengan nama Sambar Putih. Ia endemik nusantara, dengan nama ilmiah Zyxomma obtusum (Albarda 1881). Potret dirinya juga pernah memenangkan kontes foto dalam kongres capung sedunia di Jepang tahun 2012."
Perubahan habitat alam membuat capung senja menjadi sangat langka.
Sayang sekali, hingga mentari berwarna jingga, capung yang berwarna putih kapur tak kunjung datang. Kenapa ya? Apakah ia tahu jika kami menunggunya? Padahal sehari sebelumnya ada tiga pasang capung senja di sini. Namun begitu kami masih bisa mengamati capung jenis lain di pelataran rumah Keluarga Rustam. Pije nampak kesulitan ketika memotret capung merah muda yang mirip sekali dengan si senja Zyxomma Obtusum. Hingga saat ini saya masih belum bisa menggolongkan capung jenis apakah dia. Saya menduga, ia adalah si senja Zyxomma Obtusum yang masih muda, baru bermetamorfosis dari larva ke capung.
Si merah muda yang gesit dan seksi
Sekilas ia mirip sekali dengan capung Brachymesia furcata atau Red Dragonfly. Tapi sepasang sayapnya menegaskan bahwa mereka berbeda. Lagipula, capung ini hanya dijumpai di sore hari, sedangkan Red Dragonfly aktif di siang hari.
Kami memang sedang melakukan pengamatan capung di 21 Maret, tapi kami tidak sedang memperingati Hari Hutan Sedunia. Keluarga Pencinta Alam di Jember sedang berduka. Ini berkaitan dengan Dimas Prayogi, siswa kelas dua SMA Negeri Rambipuji yang dinyatakan hilang di Gunung Pasang -Panti- sejak 16 Maret 2014 dan hingga kini belum diketahui keberadaannya. Tentu dari hati terdalam, kami mengibarkan bendera setengah tiang. Tidak tepat jika saya mengajak kawan-kawan, meskipun hanya satu atau dua orang, untuk merayakan Hari Hutan Sedunia. Lagipula, itu adalah issue yang baru kemarin diusung oleh Majelis Umum PBB.
Meskipun kita butuh momentum, bagi saya mencintai hutan adalah setiap hari.
Ketika semburat jingga mulai menyapa ujung pandangan, kami masih di tepian sendang. Aldin tampak senang sebab ia bebas memandangi ayam-ayam yang berkeliaran, mentok, ikan-ikan yang menepi, juga si meong yang selalu membuntutinya. Kadang ia menangis sebab terlalu dekat dengan ayam jago.
Arum sedang semangat-semangatnya mengajak saya diskusi tentang Jember Tempo Dulu, baik dari sisi sejarah maupun cerita rakyat. Saya senang melihat energinya yang meluap-luap ketika bicara tentang Jember jadul.
Diskusi kecil tentang Jember Tempo Dulu
Percayalah, foto di atas bukan murni rekayasa. Saya tidak sedang eksyen, Arum juga. Kecuali yang tengah, si Kelor. Dia seratus persen sedang eksyen di depan kamera Pije. Kami mendengar ketika Kelor berkata, "Ayo kita difoto dong."
"Jadi begini Arum, Jember tempo dulu adalah sebuah wilayah yang bla bla bla dan seterusnya."
Saya janjikan pada Arum untuk menuliskan tema itu dengan bahasa yang ringan di blog acacicu ini. Dia tampak senang. Arum memiliki proyek istimewa. Dia ingin membuat sebuah pentas teatrikal yang melibatkan teman-temannya di UKM Kesenian Universitas Jember. Tapi Arum tak hanya sekedar ingin pentas, ia bermaksud melakukannya sebaik mungkin, dengan melakukan riset mendalam agar hasilnya memikat. Lho, kok kayak teatrikal sastrawi ya? Hehe..
Senang melakukan diskusi kecil dengan mereka, tapi ada sedihnya juga. Tiba-tiba, ketika bicara tentang sejarah, saya jadi teringat Annisa Rahmawati a.k.a Ica. Tahun lalu Ica pernah berkata, jika lulus dari SMK Negeri 5 Jember, ia ingin melanjutkan pendidikan di kampus, ambil jurusan Sastra Ilmu Sejarah.
Ica, semoga kau baik-baik saja di Melaka. Segeralah berkirim kabar, Ibu merindukanmu, kami juga.
Lalu kami pulang
Sore yang layak diberi label indah, bahkan meskipun si putih Zyxomma obtusum tak pernah datang mengecup air sendang. Tak apalah, kami masih bisa berdiskusi, mengamati capung yang lain, menemani Aldin, dan menatap semburat jingga di kaki Gunung Argopuro. Lalu kami pamit undur diri. Terima kasih keluarga Rustam. Tentu, di sore-sore yang lain saya masih akan kembali ke tepian sendang, masih setia menanti datangnya capung senja.
Kemarin hari hutan sedunia, sekarang hari air, besok sudah 23 Maret, waktunya bagi saya untuk merayakan hari lahir. Enaknya besok ngapain ya? Apakah potong rambut?
Toto tentrem kerto raharjo gemah ripah loh jinawi. Keadaan yang tenteram, kekayaan alam yang berlimpah - Dokumentasi oleh Pije, di Jambearum, 22 Maret 2014
Kamu menunjukkan selembar uang dua puluh ribuan ketika aku bertanya, "Uang kita tinggal berapa?" Lalu aku tersenyum dan bilang padamu bahwa uang sebanyak itu cukup untuk berfoya-foya. Kamu cemberut, menciptakan sebuah keadaan dimana aku harus menyediakan sedikit waktu untuk merayumu.
"Aku hanya takut suatu saat hidup kita takkan pernah dimulai. Jadi, mari tamasya sajalah."
Ampuh? Tentu saja. Pengalaman bertahun-tahun menyanyikan lagu 'jatuh bangun aku mengejarmu' membuat semua kendala tampak mudah dilewati. Menit berikutnya kita sudah ada di atas motor. Setengah dari uang yang kita miliki ludes sudah sebagai alat tukar untuk mendapatkan bahan bakar bensin. Kita berlabuh di sebuah desa bernama Jambearum, masuk Kecamatan Puger - Jember, berjarak sekitar 30 km dari rumah singgah panaongan.
Kita menuju rumah Pije, mengajaknya jalan-jalan ke sawah, mendaki gumuk dan melakukan pengamatan capung. Ketika melewati setapak sawah yang kiri kanannya ditanami padi, kau terpeleset dua kali, dengkul ke bawah basah semua. Lucunya dirimu ketika menampilkan ekspresi wajah mewek.
Sesuatu yang indah - Padi
Hai hai haiii. Perempuanku, jangan menangis. Kau harus ingat peribahasa orang Mandar. Bemmeo pissang pikkedeo pendadua; Jatuh sekali, berdiri dua kali. Berdirilah, tak perlu kau risaukan uang kita yang tinggal sepuluh ribu saja. Bukankah kita tidak salah hanya karena tak punya uang? Lihat di sana, beberapa tempat di negeri ini masih dirundung duka. Mereka mengalami hari-hari yang sulit, dimana uang bukan satu-satunya -alat tukar- yang berguna. Roda terus berputar, ada baiknya jika kita juga mempersiapkan diri pada hari-hari yang sulit.
Lalu kau tersenyum, manis sekali.
"Capung di sini banyak sekali ya Mas, tapi yang warnanya kuning tubuhnya kecil-kecil, tidak senormal ukuran aslinya."
Prit benar, khusus untuk capung bernama ilmiah Neurothemis terminata, tubuh mereka lebih kecil dibanding dengan ukuran pada umumnya. Barangkali dominasi pupuk racikan para insinyur berdampak pada tumbuh kembang mereka. Tapi kami lupa pada cerita mengerikan akan pupuk kimia. Ketika pulang, kami gembira sekali memulung kangkung segar di pinggiran setapak sawah.
Hari sudah sangat senja ketika kau dan aku kembali menyusuri jalanan beraspal. Pulang. Memasuki Kecamatan Balung, kita masih berbelok arah menuju rumah Kang Lozz Akbar. Rupanya dia sedang keluar. Sejak melakoni peran sebagai pemburu pejwan, ia tampak sibuk sekali. Kadang kita merasa kehilangan Uncle. Tapi tidak juga, sebenarnya dia selalu ada untuk kita. Hanya saja kali ini Uncle sedang mencoba meloncat lebih tinggi. Love you brother, maaf kami tak menunggumu. Kami harus segera pulang ke panaongan. Lihat, senja hampir berganti warna.
Sesampainya di rumah, seorang lelaki dengan rambut gondrong yang telah memutih, ia tersenyum ke arah kau dan aku. Lelaki hebat, aku memanggilnya Bapak. Dia adalah alasan kita untuk mencintai hidup di panaongan.
Kita baru saja sampai di rumah, baru bersih-bersih badan, menyiapkan telur ayam kampung goreng setengah matang, ternyata di rumah singgah panaongan sudah ada para generasi bangsa, sahabat-sahabat kecil kita. Nina, Akil, Lina dan Dani, mereka membawa kotak kecil warna putih yang isinya adalah puding rasa anggur.
"Selamat hari lahir ya Om, kami membuat puding sendiri sedari tadi sore. Dimakan Om, habiskan."
Ah, kalian manis sekali. Meski hari lahirku masih sehari lagi, tapi kalian sukses mengingatkanku pada sebuah catatan Story Pudding: Pada Bulan Sebelas. Terima kasih ya, puding yang kalian buat rasanya nikmat sekali. Kentara jika kalian membuatnya dengan cinta. Nikmati masa kecil kalian, sebab dewasa adalah tentang menyempurnakan mimpi-mimpi di masa kecil.
Mereka bernyanyi, berjoget tanpa musik, berpantomim, kadang sibuk bercerita, mentertawakan kejadian konyol di kelas. Mereka ramai sekali, hanya berharap kita terhibur. Tentu, tak ada alasan untuk mengebiri keceriaan di wajah-wajah penerus bangsa. Pukul setengah delapan malam, mereka pamit pulang. Aku mengantarkannya hingga ke tepi jalan.
Pukul berapa aku terlelap? Entahlah. Mungkin pukul sembilan malam. Kau bilang, tidurku nyenyak sekali, seperti orang berduit, haha. Percayalah, sampai kapanpun tak akan ada minimarket yang sanggup menjual 'tidur nyenyak' dalam kemasan, kecuali obat bius. Alhamdulillah Ya Allah. Dalam lelap, aku masih bermimpi menggandeng tanganmu, menuntunmu dalam titian.
Saling menuntun - Dokumentasi oleh Pije
Pukul satu dini hari aku terbangun. Aku di sampingmu, di atas ranjang kecil yang akan sesak jika aku, kau dan si kecil Aldin tidur bersamaan. Kita menyukai kondisi berdesak-desakan, tertawa bersama, namun sepertinya sebentar lagi akan butuh ranjang yang lebih luas.
"Selamat hari lahir ya Mas, ini sudah 23 Maret lho."
Hari lahir. Hmmm, rupanya angka di kalender telah bergeser. Syukur Alhamdulillah, masih ada waktu untuk berkarya.
Prit meracikkan kopi cap aroma, kemudian menyodorkan link blog kepadaku.
"Ini Mas, ada hadiah kecil untukmu."
Indah sekali. Bangun tidur, ada ucapan selamat disusul kemudian secangkir kopi, lalu kejutan berupa catatan blog berjudul; Untuk teman bicaraku sampai tua. Maka nikmat apa yang kau dustakan wahai RZ Hakim?
"Ohya Mas, ada kabar di media sosial jika pencarian survivor -Dimas Prayogi- di Gunung Pasang dihentikan. Survivor masih belum ditemukan. Kawan-kawan SAR Pencinta Alam Jember sudah berusaha maksimal. Sepertinya mereka juga sedang menolak pemberitaan yang bersumber dari BASARNAS Jember."
Aku mendesah lirih. Dimas masih muda, masih kelas dua SMA. Semoga dia lekas ditemukan penduduk setempat dan dalam kondisi yang baik-baik saja, Amin. Dalam hati ada secuil rasa heran, kenapa pencarian dihentikan? Dimas dinyatakan hilang sejak 16 Maret yang lalu. Semua areal sudah tersusuri namun hasilnya nihil. Proses pencarian juga sudah tujuh hari. Pantaslah jika SAR Pencinta Alam menarik diri. Namun aku yakin, mereka sedang pending, hingga menunggu kabar selanjutnya.
"Kita butuh mengerti kabar ini Prit. Bagaimana jika sekarang kita ke salah satu sekretariat pencinta alam?"
Kamu mengangguk. Setengah jam berikutnya kita sudah ada di SWAPENKA. Tidak banyak info yang didapat sebab satu-satunya yang masih terjaga hanyalah si Nendes. Mereka yang lebih lama di lapangan dan yang lebih paham kondisi masih terlelap kelelahan.
Lalu aku melangkah keluar, membuat api unggun. Kau tampak senang. Kau bilang, "Sudah lama sekali Mas Hakim nggak bikin api unggun dari ranting-ranting kayu kering." Tentu kau bahagia, kau pasti ingat masa-masa yang telah lewat, saat kita masih saling mencuri pandang. Ketika itu aku suka sekali membuat api unggun dan senang berkebun.
Di tepian api unggun, kau dan aku saling diam. Ada banyak hal yang kita pikirkan. Kau merindukan Ica, aku juga, apalagi orang-orang terdekatnya. Kini masalah semakin bertambah dengan belum diketemukannya Dimas Prayogi, siswa SMA Negeri Rambipuji Jember.
Lalu kita kembali pulang menyusuri jalanan kampus di dini hari yang ramai. Iya, sepanjang Jalan Kalimantan ramai sekali oleh pemuda yang hobi kebut-kebutan motor, apalagi di depan gerbang Double Way Universitas Jember. Mereka bahkan beberapa kali menutup jalur dan tampak bergerumbul ramai. Syukurlah ketika kita melintas, mereka berbaik hati membukakan jalan. Mereka para pemilih-pemilih muda di masa coblosan nanti. Jumlahnya banyak sekali. Nasib negeri ini juga ditentukan oleh mereka yang senang kebut-kebutan di jalan.
Kita berhenti di trotoar Rumah Sakit Dr. Soebandi, beli nasi pecel dua bungkus. Harga perbungkusnya lima ribu rupiah. Kamu beli dua, sebab uang kita memang hanya tinggal sejumlah dua bungkus nasi pecel.
Kita kembali ke rumah, kembali di atas ranjang, menunggu waktu subuh sambil menikmati nasi pecel. Untuk kali ini, tidak apa-apalah makan pecel di atas ranjang.
Mentari baru saja menampakkan sinarnya ketika kau terlelap. Tidurlah, biar aku yang membukakan jendela untuk para malaikat penebar rejeki.
Hari ini, di sampingmu aku bernyanyi. Kemudian kau terjaga, kemudian kita kembali bertamasya hati, bertebaran di muka bumi sambil merenungi ayat-ayat Tuhan yang berceceran.
Terima kasih, hari-hariku indah bersamamu. Mari menuju tua.
Mereka adalah sang patriot yang namanya hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah perjalanan bangsa. Ya, dialah para tukang cukur. Melakoni hidup sebagai seorang pemangkas rambut tentu butuh keberanian ekstra. Mereka berani hidup bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya dan berani dilupakan.
Jadi ceritanya dua malam yang lalu saya habis cukur rambut. Nah, ngomong-ngomong tentang rambut, saya jadi ingat sosok Pak Kamit. Ia adalah tukang cukur rambut di masa kecil saya, dulu lapaknya ada di Jalan Mawar Kreongan, Jember.
Gunting Sang Patriot, Gunting Pak Kamit
Takut adalah ketika harus duduk di kursi monster di kios cukur rambut Pak Kamit, dengan seluruh badan ditutupi oleh sebuah kain berwarna hijau fuji. Suara cekrik-cekrik adalah pertanda Pak Kamit memulai aktifitasnya. Tak ada soundtrack untuk adegan jatuhnya helai demi helai rambut baik yang nyantol di kain maupun yang mendarat mulus di lantai. Namun di hati ini ada debum-debum bergemuruh, ibarat ratusan buah kelapa yang jatuh ke tanah. Lebay, kata istilah jaman sekarang.
Takut kuadrat adalah ketika Pak Kamit mengganti gunting di tangannya dengan solingen yang bentuknya seperti perpaduan antara gunting taman dengan moncong buldozzer. Ah, seandainya dulu sudah ada solingen elektrik, mungkin saya tak butuh marah-marah ke Pak Kamit disaat ia melakukan 'illegal logging' di bagian tengkuk. Itu bagian yang sangat sensitif sekali. Jangankan dikerok-kerok pakai alat cukur solingen, ditiup saja rasanya sudah wow. Itu belum selesai. Masih ada bagian terakhir yang harus dilakukan oleh Pak Kamit. Ya, membersihkan tepi-tepi rambut dengan pisau yang tajam. Sebelumnya, Pak Kamit akan mengolesi air sabun dingin di bagian yang akan dikerok pisau tajam.
Ah, Pak Kamit.. Kenapa harus ada adegan mengasah pisau di depan pelanggan?
Pak Kamit sudah hafal kebiasaan saya jika sedang marah, kecewa dengan hasil karyanya. Ia pun membiarkan saya pergi begitu saja dari kios kecilnya tanpa harus meninggalkan uang. Kelak saat agak besar, baru saya mengerti bahwa Kakek selalu bertanya pada Pak Kamit, apakah cucunya sudah bayar ongkos pangkas rambut atau belum.
Oh Pak Kamit, kenapa kau masih menempelkan contoh gambar-gambar model dengan berbagai gaya rambut, kenapa juga kau selalu bertanya pada pelangganmu ingin model apa, jika hasil akhirnya masih itu-itu saja? Cukuran gaya batok! Sungguh, gaya itu pernah membuat saya membenci cermin. Padahal Pak Kamit mengerti jika tempurung kepala saya mencong, kok ya masih tega-teganya memangkas rambut saya semi gundul di bagian belakang dan menyisakan jambul di bagian depan. Selalu begitu. Ketika itu saya sudah TK Nol Besar.
Hari berganti, saya mulai berani bermain dengan daya jelajah yang lumayan jauh dari rumah Kakek Nenek di Kreongan. Saya juga mulai berani meninggalkan Pak Kamit setiap musim potong rambut tiba. Pangkas rambut yang dikenal dengan 'Kantin' adalah sebuah pilihan yang menggiurkan. Kala itu rasanya semua orang di wilayah Jember Kota mengenal tempat cukur rambut bernama kantin. Mereka rela antri hanya untuk memangkas rambutnya di kantin. Tentu saya juga ingin merasakan hasil sentuhan orang-orang kantin.
Hasilnya? Sama saja. Rambut gaya batok!
Kini saya telah semakin bertumbuh besar. Bayang-bayang akan Pak Kamit kadang masih setia hadir, diselingi dengan nostalgia kantin. Kios Pak Kamit telah lama sekali tutup, di era akhir 1990an, ketika musik slow rock membahana di negeri ini. Kiosnya pernah digantikan seorang teman bernama Gandhos sebagai rental VCD bajakan, namun tidak lama. Setelah itu saya tidak lagi mengerti bagaimana kabar Pak Kamit. Sebenarnya ia adalah sosok lelaki tua yang ramah, yang selalu berusaha mengajak pelanggannya untuk berkomunikasi.
Ada sesi dimana saya menyukai Pak Kamit. Itu adalah ketika ia bertutur tentang Desa Kreongan tempo dulu. Ia senang bercerita tentang kisah-kisah di sekitar kios kecilnya yang terletak di Jalan Mawar -dulu Jalan Bromo- dekat sekali dengan TK Pancasila Jember dan Pabrik Es Kreongan, kini keduanya hanya tinggal cerita, berganti dengan bangunan baru. Tepat di seberang kios Pak Kamit ada toko kelontong milik keluarga Hoakiao, Narto namanya. Ketika Narto meninggal dunia, toko itu dikelola oleh anaknya. Meski demikian, toko itu sampai sekarang tetap dikenal dengan nama Toko Narto. Di balik kios Pak Kamit ada sebuah tembok yang membatasi kita untuk melihat kediaman Nda Yatuk alias Pak Hidayatullah, satu dari segelintir orang yang berhasil bertahan hidup di dalam gerbong sempit di era Agresi Militer pertama. Kelak, kejadian ini dikenal dengan nama Tragedi Gerbong Maut.
Tiba-tiba saya merindukan Pak Kamit.
Di sebuah sudut Kota Washington, ada sebuah jalan alternatif yang inspirasinya diambil dari nama seorang tukang cukur rambut Italia Amerika, Diego D' Ambrosio. Di Indonesia, kita pernah mengenal sosok tukang cukur bernama Yusuf Soebari. Ia membuka usaha pangkas rambut di Lantai IV Blok II Pasar Senen, Barber Shops International. Siapakah Yusuf Soebari? Dialah tukang cukur rambutnya Gus Dur. Di Jember, saya mengenal Pak Kamit. Ia adalah tokoh antagonis di masa kecil saya namun kelak saya menghormati jalan hidup yang ia lakoni.
Ketika kios Pak Kamit telah tutup, ada banyak tempat pangkas rambut yang saya singgahi. Kadang saya juga memangkas rambut pada seorang teman. Namun sejak saya kuliah di Sastra Jember hingga sekarang, hanya ada satu tempat yang paling sering saya hampiri jika harus memendekkan rambut. Tempatnya bernama Salon Dwi, ada di Jalan Jawa 7 Jember. Dua malam yang lalu saya ke sana, potong rambut sekaligus bernostalgia. Enaknya cukur rambut di sini, setelah dipangkas, kita masih dikeramasi kemudian dipijit. Harga sangat terjangkau, hanya sepuluh ribu rupiah. Saya menjadi pelanggan di sini sejak ongkos cukur masih tiga ribu rupiah.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa patriot adalah pencinta atau pembela tanah air. Tentu para tukang cukur tak dicatat dalam buku sejarah sebab mereka dianggap sedang tak membela tanah air. Di buku-buku sejarah yang kita pelajari sedari SD hingga di bangku kuliah, digambarkan bahwa sang patriot adalah mereka yang tampil gagah berani dalam membela tanah air hingga berdarah-darah dan segala hal yang memperlihatkan sisi hebat yang serupa itu. Para patriot-patriot tersebut, yang rambutnya pendek sekali, dimana mereka cukur rambut kalau bukan di tangan para Kapper alias tukang cukur?
Tetap nge-Rock dengan rambut pendek
Benar kata Ramadhan Muhammad ketika ia berkata, "Pahlawan adalah simbol subjek kolektif. Artinya, ia tidak bisa mewakili dirinya sendiri. Pahlawan adalah diksi yang mewakili kolektivitas kelompok atau bahkan peran dan pandangan dunia tertentu. Jadi, patriot bukan tentang satu orang, melainkan cermin perjuangan kolektif dari kepala suku hingga tukang cukur.
Mari kita nyanyikan lagu untuk para tukang cukur di seluruh nusantara. Jreeeeng!
Agama adalah definisi yang empiris, setidaknya begitulah menurut para sosiolog. Jadi, orang tua memiliki peran yang sangat menentukan tentang agama yang dipeluk oleh anak-anaknya. Pengaruh lingkungan, peristiwa penting, pendidikan, buku-buku yang kita asup dan sebagainya, semua itu juga membangun terbentuknya keputusan pada apa agama yang kita percaya dan cintai.
Mengapa agama menjadi sangat penting? Sebab ia adalah penjaga moral.
Moral, sesuatu yang tak ternilai harganya. Moral juga menjadi pembeda antara manusia dan hewan. Tanpa moral, kehidupan akan terlihat tak lagi menarik. Tak heran jika ada yang berkata bahwa agama adalah sumber mata air dari sebuah kata bernama moral. Saya juga sependapat jika agama itu penting, namun masih sering merasa heran ketika ada pemeluk sebuah agama yang tak bermoral, mengingatkan saya pada kata-kata Gus Dur.
"Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik, orang tidak akan bertanya apa agamamu."
Tentu jika kita salah tafsir atau terburu-buru membuat kesimpulan, pesan yang disampaikan kalimat di atas akan menguap begitu saja. Sebenarnya ia hanya sedang mengingatkan kita bahwa moral itu penting, bukan tentang pluralisme agama yang sempit. Ia jauh lebih luas. Berbuat baik adalah cermin dari moral seseorang. Apalah artinya gelar haji jika masih menyekutukan Tuhan dengan tuhan-tuhan kecil seperti uang dan perhiasan emas.
Wah, nulis apa saya ini, kok sepertinya serius? hehe. Saya sedang turut menyemarakkan Giveaway I Love Islam yang diselenggarakan oleh duo blogger, Listeninda dan Monilando's.
Oke kita lanjut dengan yang ringan saja.
Saya beragama Islam. Masa kecil saya lewati dengan belajar mengaji di surau setiap sore hari, sedari sebelum TK hingga SMP kelas tiga. Persiapan Ebtanas membuat saya berhenti mengaji. Kebiasaan orang-orang di sekitar saya juga begitu. Jika sudah SMP maka waktunya berhenti belajar mengaji. Ini seperti sebuah kesepakatan tak tertulis dimana semua orang akan mudah mengamininya. Adalah aneh jika kita sudah usia SMA namun masih mengaji di surau. Kata orang, sebaiknya hijrah menimba ilmu di pesantren.
Kecuali mengikuti pondok ramadhan di sekolah, saya tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya menjadi anak pondok pesantren. Cukup di surau saja, begitu kata Bapak. Di surau yang jaraknya tak jauh dari rumah, kami diajar oleh seseorang bernama Sugiarto. Lek To, begitu biasanya saya memanggilnya. Ia lelaki biasa, bukan kyai bukan pula seorang haji. Ia menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai kuli bangunan. Satu hal yang tertancap di hati saya tentang apa yang telah diajarkannya, bahwa moral jauh lebih penting. Lek To akan marah jika mengetahui anak didik mengajinya berlaku tidak patut, meskipun sudah lebih dari satu kali khatam Al Quran. Kemarahannya yang paling parah adalah melemparkan tasbih ke putranya sendiri, Gofur namanya. Biasanya, ia marah dengan cara memberi wejangan singkat.
Selama menempa diri di surau, saya tidak pernah dilemparinya tasbih, tidak pula pernah mengkhatamkan Al Quran. Namun hingga kini ada banyak kata-kata Lek To yang mengkristal di hati.
Pernah di suatu sore kami menanti waktu adzan maghrib dengan bermain air. Kami saling menyiram satu sama lain. Tentu kami gembira, bocah mana yang tak senang bermain air? Lantaran senang itulah kami tidak sadar jika ada seseorang yang memperhatikan tingkah kami. Ya benar, ia adalah Lek To, guru ngaji terbaik yang pernah saya miliki. Lek To tidak marah, ia hanya menyuruh kami semua untuk kembali pulang. Mulanya kami senang dan menganggap hari itu adalah libur mendadak. Tapi kami tahu, kami sedang ada di posisi bersalah dan guru ngaji kami sedang marah.
Esoknya, kami berkelakuan manis sekali. Ketika Lek To datang, ia tidak menyuruh kami pulang. Namun hari itu ia tidak mengajari kami mengaji. Lek To memberi kami sebuah kisah tentang bagaimana sebaiknya orang Islam dalam memperlakukan air. Ia bicara tentang shalat, tentang niat dan memelihara niat, hingga tentang wudhu. Hari itu saya sadar, orang Islam butuh memperlakukan air dengan mesra dan romantis sebab air memiliki peran paling dasar agar manusia bisa berkomunikasi dengan Tuhan.
Islam mengenal shalat sebagai pilar paling dasar, sebagai tiang agama. Untuk shalat kita butuh berwudhu dan itu membutuhkan air yang bersih. Adanya air bersih ditunjang sepenuhnya oleh tanah yang bagus, dimana di atasnya ada terdapat berbagai macam pepohonan yang cocok. Kita juga butuh mencintai dan melestarikan hutan, melestarikan segala hal yang bisa mendatangkan air bersih. Indah sekali cara orang Islam dalam memperlakukan air. Untuk bisa hidup, selain membutuhkan udara, tentu kita sangat tergantung dengan ayat Tuhan bernama air.
Kelak, saya memutuskan untuk menjadi seorang pencinta alam.
Ketika melakoni hidup sebagai pencinta alam, saya semakin mengerti bahwa kita butuh memberi perhatian lebih dalam memperlakukan air. Ini bukan hanya tentang irit atau boros dalam menggunakan air, melainkan juga tentang menjaganya agar tetap mengalir jernih, agar umat bisa shalat. Guru ngaji saya telah mengingatkan itu jauh sebelum bisnis air kemasan marak seperti hari ini.
Lihat, mereka manusia-manusia yang serakah begitu rakus menyedot air hanya demi melakukan penambangan -emas- secara membabi buta. Menjadi wajar jika dulu Gandhi berkata, bumi ini cukup untuk sebanyak-banyak manusia, namun tidak cukup untuk satu orang manusia yang serakah.
Untuk bisa memperlakukan air dengan baik kita butuh moral yang juga baik, sedangkan sumber moral yang baik bisa didapatkan dari agama yang kita yakini. Islam begitu mesra dalam memperlakukan air. Tentu saya mencintai apa yang saya yakini. Ia adalah agama yang membuat saya semakin mantab melakoni hidup dengan terus belajar bagaimana caranya menjadi pencinta alam yang baik.
Sedikit Tambahan
Jika perang bisa terjadi gara-gara sepak bola pada hampir setengah abad yang lalu antara Honduras dan El Salvador, maka menjadi sangat mungkin jika perang berikutnya adalah perang berebut air. Kita bisa belajar dari Wadi Nil, negara-negara yang dilalui Sungai Nil.
Air adalah penting. Mahluk bening ini begitu mempengaruhi berjalannya infrastruktur sebuah negara.
Dingin sekali malam ini. Kau terhanyut pada sebuah buku setebal satu setengah centi meter, demi menaklukkan kebodohan di bidang hukum-hukum perdata. Kau bilang, "Aku sedang butuh memahami bidang ini. Bukan untuk apa-apa. Aku hanya benar-benar sedang butuh memahaminya."
Sepi. Biasanya ketika kau sedang membaca, ada lantunan lagu si Robert Nesta Marley. Tidak kali ini, entah kenapa. Padahal seringkali, diam-diam aku turut merapalkan tiap-tiap liriknya.
"Emancipate your self for mental slavery, none but our self can free our minds."
Setiap kali kita megap-megap dan hampir rela menukar kemerdekaan dengan kenikmatan hidup, lagu seperti itu selalu tampil. Ia terdengar merdu di waktu yang kritis. Ketika semua kembali terlihat baik-baik saja, aku dan kamu kembali saling mengingatkan akan langkah keseharian. Yang sederhana saja. Hmmm, padahal sederhana itu sebentuk kata yang relatif. Kata yang menunjukkan bahwa sesuatu masih ada di ambang kewajaran. Tidak kaya, tidak miskin, tidak pula terlalu indah, namun tentu tetap berpikir merdeka.
Belasan tahun yang lalu, orang-orang yang lebih tua selalu memberi tekanan pada sebuah kalimat. "Suatu hari nanti ketika kau seusiaku, ketika hidup mulai menerjang, maka kau akan belajar banyak tentang pemakluman-pemakluman." Manakala menemui kalimat senada, aku selalu memelihara keyakinan di hati, "Biarlah aku mencoba sekuat tenaga untuk hidup seperti yang aku inginkan, hingga sekarat lalu dilupakan."
Hari berganti, ada banyak hal yang terlewati. Kini usiaku setara dengan usia dia yang pernah mengucapkan itu, belasan tahun yang lalu.
Aku masih memelihara keyakinan, masih memoles hidup seperti yang aku inginkan. Kadang terjatuh, luka dan dihina.
Kukira menjalani hidup berdua denganmu akan mempertemukan pada pemakluman-pemakluman yang seperti itu. Ternyata tidak juga, sebab keyakinan kita sama. Namun bahkan ketika keyakinan kita seiya, ketika batas toleransi kita tak serupa kompromi, masih saja aku maupun kau sering bertabrakan dengan kesalahan, terpeleset, jatuh dan kembali jadi bulan-bulanan hina. Sementara ada saja satu dua yang bertepuk tangan, kita merangkak bangkit dan kembali bersiap memperlakukan hidup, memperlakukan kejujuran hingga bisa merayakan merdeka.
Jujur dan merdeka, mereka adalah sesuatu yang harus dijaga. Sedangkan kau dan aku, kita adalah sepasang pembelajar yang tak kunjung pandai.
Ketika 'hanya ingin berbagi' menjadi terlihat mahal..
Mbak Imelda Coutrier dan duo jagoannya - Foto diambil berdasarkan ijin pemilik
Ada banyak tulisan blog yang tetap bisa saya nikmati dengan nyaman meskipun disajikan secara panjang. Misalnya, tulisan-tulisan milik Mbak Imelda Emma Veronica Coutrier-Miyashita. Ia pandai sekali menggambarkan gerak hidup keseharian di Jepang lewat kata-kata. Penempatan EYD juga pas, seringkali disertai dengan dialog. Wajar jika pengelola blog menguasai dengan baik masalah bahasa hingga tanda baca. Sebab selain penerjemah, ia juga seorang Dosen Bahasa Indonesia di dua Universitas di Jepang.
Mbak Imelda senang berbagi ilmu pada sesama blogger. Dia juga pernah mengingatkan tentang bagaimana sebaiknya menulis kata 'Anda' dengan awalan huruf A besar.
Suatu hari Mbak Imelda bercerita tentang percakapannya dengan Watanabe san, seorang lelaki yang sudah berusia 94 tahun -- Ia meninggal dunia dua tahun berikutnya, tepatnya pada 7 Maret 2012. Gurih sekali cara Mbak Imelda menyuguhkan itu. Sesekali ia menggunakan paragraf-paragraf pendek, namun bukan berarti ia takut menuliskan sesuatu dengan paragraf yang tebal. Saya sangat menikmati kisah yang dituturkan. Yang menjadi menarik adalah ketika Mbak Imelda sedikit menyelipkan adat kebiasaan di Jepang tanpa harus memberi daya tekan. Bernas.
Berikut adalah penggalan percakapan antara penulis dan Watanabe san.
“Sensei… saya senang sekali bertemu sensei”… dia menjabat tanganku… dan memelukku. Aduh …aku benar-benar terharu dan ingin menangis. Laki-laki Jepang mana yang mau memeluk wanita di depan umum? Meskipun istrinya. Aku merasakan kerinduannya yang besar untuk bertemu denganku. Ahhh Bapak… aku merasa tersanjung… aku tahu kamu menghormati aku sebagai sensei, tapi aku lebih menghormati bapak bukan sebagai murid. Entah harus kukatakan sebagai apa, sebagai sesepuh yang mengingatkan terus… Hai manusia, Jangan kalah oleh umur!
Mbak Imelda menulis tentang data dirinya di blog, berjudul Who am I, dengan panjang dan runtut. Saya membacanya tuntas tanpa merasa terbebani dan menghujat penulis sebab ia merangkainya dengan panjang sekali.
Tentu saya mengerti, ada baiknya membuat paragraf pendek jika kita sedang menulis di blog. Paragraf yang menggunung hanya akan melelahkan mata saja. Namun saya kira, ada saat-saat tertentu dimana kita butuh menggunakan alenia panjang. Biasanya hal itu akan terjadi ketika antar kalimat masih saling berkaitan erat. Jadi, panjang pendeknya paragraf juga harus dilihat dari berbagai sisi, baik sisi kebutuhan, etika, tingkat keterbacaan, refreshing, informasi dan sentuhan edukasi.
Terlepas dari semuanya, kita berdaulat atas blog yang kita kelola sendiri.
Kembali ke artikel-artikel Mbak Imelda Coutrier. Ia lengkap sekali ketika menuliskan sesuatu, sekaligus terasa sentuhan personalnya. Khas tulisan seorang blogger. Ada unsur haha hihi, kisah-kisah keseharian, kenangan, gagasan-gagasan, perjalanan, kelucuan-kelucuan buah hatinya dan tentang istilah-istilah Jepang. Sebagai pembaca saya merasa fresh, juga mendapat informasi dari yang ia tuliskan.
Mbak Imelda menulis dengan merdeka. Ibaratnya ia adalah seorang pianis yang menghayati permainannya, tak peduli apakah nanti akan mendatangkan banyak visitor atau tidak.
Twilight Express tak pernah sepi pembaca, bahkan ketika penulisnya kerap menggunakan paragraf-paragraf tebal. Mengapa? Sebab ia menulis dengan apa adanya, menjadi diri sendiri dan tak mengekor tulisan orang, mengutip sana sini hanya agar dianggap pintar.
Karena Mbak Imelda menulis apa yang ia mengerti dan seringkali menuliskan apa yang ia alami sendiri, tulisannya terbaca dengan nyaman. Dengan sederhana sekali Mbak Imelda menggambarkan isi blog Twilight Express. My journey from dawn to dusk. Bukankah itu sangat sederhana?
Meski ia lebih senang menggunakan kata-kata keseharian dan menghindari diksi yang genit, kentara sekali jika Mbak Imelda senang melakukan perjalanan dan senang membaca. Seolah ia ingin menyampaikan pesan, "Penulis yang baik tentu juga seorang pembaca yang baik dan mau memandang hidup dengan lebih luas."
Happy Anniversary Twilight Express, terima kasih atas inspirasi dan kisah-kisahnya.
Tamasya Band. Sudah lama sekali tamasya tidak berdendang. Mereka lebih banyak berkegiatan di luar musik. Terakhir manggung adalah tujuh bulan yang lalu, ketika muda-mudi Jember menggelar malam diskusi dan seni bertajuk Save Gumuk.
Pada 11 April kemarin, tamasya kembali tampil di acara tasyakuran 32 tahun SWAPENKA, sebuah organisasi pencinta alam di Fakultas Sastra Universitas Jember.
Kami bermain di lorong, tepat di depan ruang jurusan Sastra Inggris. Menurut Zaenal Chakiki, ketua panitia, tadinya acara tersebut hendak diselenggarakan secara out door, di lapangan futsal Sastra. Namun rintik hujan seharian membasahi bumi Jember. Karpet-karpet yang telah terhampar segera mereka gulung kembali. Lalu mereka memilih untuk memindahkan acara di lorong Sastra.
Berdendang di Lorong Sastra
Mereka hebat, menyelenggarakan acara dengan biaya yang sangat minim. Saking minimnya, mereka bahkan harus memutar otak untuk mendapatkan dana dengan membuat kaos bertuliskan SWAPENKA, suka duka satu kata, dengan logo 32 tahun tepat di bagian dada kanan. "Ini dijual untuk umum," ujar Nendes. Ia adalah salah satu pengurus SWAPENKA.
Saya tidak bertanya lebih lanjut mengenai seretnya dana tersebut. Hanya menebak saja, barangkali ini ada hubungannya dengan kebijakan Dekanat Sastra yang melakukan penahanan dana kegiatan UKM.
Dokumentasi oleh SWAPENKA
Seusai berdendang, saya tidak bersegera pulang melainkan masih cangkruk'an bareng kawan-kawan pencinta alam. Ada saja yang mereka tanyakan. Yang paling populer, "Kenapa tamasya hanya menyanyikan empat lagu?" Bingung juga menjawabnya. Syukurlah, beberapa jam sebelumnya, lewat jejaring sosial facebook, tamasya band sudah mengabarkan itu.
"Ada lagu untukmu. Lagu yang sederhana. Kami tidak menyiapkan daftar lagu yang banyak, mungkin hanya empat atau lima saja. Namun, semoga bisa membuatmu damai. Sampai jumpa nanti malam. Salam Lestari!"
Selama Yakin Semua Mungkin
Kepada Lukman Hakim, ketua umum SWAPENKA, saya melempar sebuah tanya. Tentang suguhan yang disajikan. Ada saya lihat, kawan-kawan menyiapkan aneka orem-orem dan urap-urap. Belum lagi jajanan-jajanan kecilnya. Darimana mereka mendapatkan uang? Apakah dari hasil laba kaos yang dijual?
"Kami memasak sendiri Mas. Gotong royong, dari pagi hingga sore menjelang acara. Kami membuat semacam dapur umum di belakang sekretariat. Beberapa bahan-bahan masakan memang kami membelinya, namun sebagian yang lain adalah hasil iuran kolektif. Ada yang datang membawa beras, sayuran, bumbu-bumbu, hasil kebun mereka sendiri, ada juga yang dengan sengaja mencari beberapa bahan di rumah si Buter. Mereka berburu pepaya, kelapa dan sayur pakis."
Keren. Kolektif. Gotong royong.
Saya jadi ingat tasyakuran dua tahun sebelumnya. Ketika itu saya dan istri juga turut ngramban sayur pakis di dekat rumah si Buter. Kebetulan rumahnya ada di tepian hutan. Sayur-sayur itulah yang kami sajikan untuk para undangan.
Diramu dengan hati, disajikan dengan cinta, itulah urap-urap ala pencinta alam.
"Ohya, ada lagi Mas. Kami anggota aktif SWAPENKA kemarin melakukan iuran wajib, masing-masing 30 ribu rupiah."
Saya diam, takjub dengan apa yang mereka lakukan. Jika bicara tentang dana, Ormawa lain di Sastra tidak kalah ngenesnya dengan yang dirasakan Lukman Hakim dan kawan-kawan. Padahal mereka sedang turut mengharumkan nama fakultas lewat karya. Tak terbayangkan apa jadinya jika mereka semua mogok berproses, tentu nama baik Sastra akan jadi taruhannya.
Tambahan
Lalu saya merenung, memikirkan tamasya band. Kami lahir di antara pelukan pencinta alam, mengadopsi beberapa gaya hidup dan pola pikir mereka, termasuk mengadopsi kalimat, "Selama yakin semua mungkin." Berpikir, berkarya, bersikap dan mencoba menjadi berguna, itu yang coba kami lakukan. Tidak ada kerisauan tentang eksistensi. Sebab kami rasa, menyediakan mental untuk dilupakan itu juga baik.
Untuk menuju 'benar' kami melewati banyak sekali kesalahan-kesalahan. Mereka selalu mengingatkan dengan segala cara, kadang dengan sapaan halus kadang lewat tamparan.
Tentu kami akan terus menerus mencari cara untuk tetap menjadi berguna, baik lewat lirik, lewat tempaan tanggung jawab terhadap lirik, maupun lewat jalur-jalur yang lain, jalur hidup kami sendiri. Doakan semoga kami bisa.
Lima hari yang lalu, iseng saya membuka akun twitter. Haha, saya dibuat tertawa oleh tweet dari Arman Dhani untuk Nuran, "Dulu, everyday is rock n roll. Hair metal is my life. Sekarang "Duh tak nukokne bojoku mangan sik bro." Nuran membalasnya dengan sumpah serapah. Mereka memang dua sahabat yang senang mengasah otak dengan perang argumentasi. Dulu keduanya sama-sama aktif di UKM Pers Mahasiswa Tegalboto, Universitas Jember.
Di twitter, ketika Arman Dhani terlibat debat dengan Zarry Hendrik, saya berpikir, mungkin Dhani hanya sedang merindukan suasana adu argumen yang seperti itu. Atau, entahlah. Saya hanya mengikuti beritanya dengan sepintas lalu. Yang saya tahu, Dhani lelaki yang baik, itu saja.
Di blog personalnya, Nuran pernah beberapa kali menulis tentang Dhani, salah satunya di sini.
"Aku saiki nang Jakarta Mas, kerjo sak kantor karo Dhani."
Nuran mengatakan itu di awal April, ketika ia singgah ke rumah saya mengantar undangan pernikahan. Kabar gembira, Nuran dan Rani hendak menikah pada 19 April 2014 dan itu berarti hari ini. Mereka menikah di Jambi, apa daya saya dan Prit hanya bisa tersenyum dan mendoakan.
"Aku sik pingin berproses nang Jakarta Mas. Yo, rong taon telung taon lah nang kono. Terus mengko aku karo Rani pingin urip nang Jember. Pingin ngajar nang kene, hehe."
Aunurrahman Wibisono a.k.a Nuran, ia memiliki banyak mimpi. Sebagian kecil sudah terengkuh, namun masih ada banyak mimpi yang masih dalam proses. Bersama Rani Basyir, Nuran ingin punya anak-anak yang sehat dan lucu, rumah di pinggir pantai, hingga sepasang anjing Siberian Husky dan Samoyed. Namun itu hanya secuil mimpi mereka. Masih ada banyak mimpi yang hendak mereka terjang.
Jika sedang ingin refresh di depan monitor, saya sering mengunjungi blog personal milik Nuran. Ia menulis dengan renyah. Saya sering dibuat tersenyum oleh kata-kata yang Nuran rangkai. Tapi ia juga pernah membuat saya sentimentil, di catatannya yang berjudul gondrong. Ini adalah dua paragraf yang berbeda, akan saya tempelkan di sini:
Diiringi helaan nafas, maka saya meneguhkan hati untuk memotong rambut. Ketika ambulans yang membawa jenazah ayah saya sampai dirumah, saya berhenti di depan perumahan tempat saya tinggal, lalu pergi ke tukang potong rambut langganan ayah saya.
Cekrik. Suara gunting besi itu terdengar memilukan, lebih dari yang sudah-sudah. Helai demi helai rambut saya berjatuhan, dan hari itu, di akhir bulan Desember yang mendung, saya berambut pendek lagi. Seperti yang sudah-sudah.
Kemarin Nuran membuat posting berjudul; Apa susahnya jadi bujangan. Seperti biasa, Nuran menulis dengan gembira.
"..... Betapa cepat waktu berderap. Tiba-tiba saja, dari kami yang bongak dan sombong berkata bahwa menikah itu menyusahkan, kami sudah akan menikah. Kami dimamah oleh kecongkakan kami sendiri. Tapi ya sudahlah, itulah manusia, orang yang seringkali ditampar oleh kepongahannya sendiri."
Aunurrahman Wibisono dan Rani Basyir, selamat menikah ya. Doa terbaik untuk kalian.
Ruang Auditorium tiba-tiba hening. Adalah seorang siswi sebuah SMA yang menciptakan keheningan itu. Ia bertanya, apakah Air conditioning juga berdampak pada pemanasan global? Pertanyaan yang cerdas. Sudah sepantasnya penghuni Auditorium merayakan keheningan, sebab pertanyaan itu lahir di tengah acara Seminar Lingkungan Hidup yang diadakan oleh kawan-kawan Imapala STIE Mandala Jember.
Saya menjawab singkat. "Ya, benar."
Tepat di belakang saya ada sebuah banner panjang membentang. Di sana tertulis tema acara. Di sisi kanan tersedia sebuah layar putih sebagai peraga. Saya sama sekali tidak memanfaatkan media tersebut. Mas Wahyu Giri aktif menggunakannya. Kami saling mengisi, sebab memang hanya kami berdua yang menjadi pemateri seminar.
Ketika mengarahkan pandangan ke meja di depan kami, ada saya dapati beberapa botol air mineral dalam kemasan. Syukurlah saya membawa botol air sendiri dari rumah, sebab di sana kami berbicara tentang udara, air, tanah dan alam raya.
Akhirnya ada juga yang bertanya tentang air. Mas Giri memberi keterangan panjang lebar tentang betapa pentingnya air. Keren, ia juga menceritakan tentang serapan air yang ia buat di rumahnya sendiri, juga tentang pohon-pohon yang sengaja ditanamnya di pekarangan. Saya menambahkan sedikit tentang hubungan romantis antara manusia dan air, tentang betapa butuhnya kita pada air dan tentang air sebagai Hak Asasi Manusia.
Saat sedang asyik bercerita tentang cara orang-orang Baduy memperlakukan makanan, tiba-tiba perhatian saya tercuri. Di pojok belakang Auditorium, ada seorang perempuan berjilbab yang mengenakan kacamata hitam. Dari kejauhan, ia mirip Shin Eun-kyung ketika memerankan Cha Eun-jin dalam film My Wife is a Gangster. Perempuan berkacamata hitam itu, dia adalah Zuhana a.k.a Prit, istri saya sendiri. Ia sedang sakit mata.
My Wife is a Gangster
Seluruh audiens turut menoleh, mereka mencoba mencari tahu siapa gerangan perempuan berkacamata hitam yang saya maksud. Tentu saja Prit menunduk malu. Hehe, maaf ya.
Seminar berlangsung cukup lama, sedari setengah dua siang hingga pukul lima sore. Ada jeda waktu setengah jam untuk istirahat dan shalat. Sebenarnya, acara sudah usai pukul setengah lima. Tapi panitia masih menyediakan satu acara lagi berupa musik. Saya terhibur oleh aksi kawan-kawan UKM Kesenian STIE Mandala. Mereka keren.
Kami sudah bersiap-siap pulang ketika MC memanggil nama saya. Hah, saya disuruh bernyanyi? Ndandong sudah ada di posisi gitar, Boncel juga sudah siap membetot senar bass. Sulit untuk menolak permintaan mendadak tersebut. Lalu kami pun bernyanyi. Terima kasih kawan-kawan semua.
Selamat merenungkan Hari Bumi di Hari Kartini. Mari kita sama-sama mencari cara untuk senantiasa menjadi manusia yang berguna.
Sedikit Tambahan
"Ayo Mas kita pulang."
Sore yang gerimis, saya menerobosnya. Diantara rintik Prit berkata, "Aku harus cepat-cepat online Mas." Ketika saya tanya kenapa, dia bilang, sedari tadi sedang memikirkan Lomba Review Novel Sang Patriot. Ada link yang belum sempurna. Jadinya saya ikut kepikiran.
Lalu kami menderap pulang menerobos gerimis sambil bernyanyi kecil.
Pagi dan secangkir kopi. Tak ada suara prenjak yang seramai dulu, ketika aku masih kecil. Lalu kau mulai beraksi, membangunkan si Odhol dan Korep. Kau bilang pada Korep, "Ayo bangun Bang, kita nikmati hari bumi. Kasihan si bumi, umurnya sudah tua. Ia sudah berusia 4.570 juta tahun." Aku tertawa saja melihat caramu membangunkan mereka, juga tentang bumi yang menua.
Rumah kita tepat di tepi jalan yang menghubungkan Jember dengan kota di sebelahnya, Bondowoso dan Situbondo. Suara berisik adalah sarapan telinga.Kita turut menyumbang kebisingan dengan canda tawa. Prit usreg, dia tergesa untuk gabung di acara hari bumi.
"Hari Bumi diundur tahun ngarep Nduk."
Hmmm, rupanya kau sedang serius ingin segera merapat. Oke, markipat. Tak lama kemudian kita sudah ada di antara kerumunan mereka. Ada banyak komunitas yang tergabung. Tak hanya pencinta alam. Ada juga persma dan kawan-kawan kesenian. Dari mural juga ada. Si Rizal Ajieb tak mau ketinggalan. Ia dari PA Gema Mahapeta Bondowoso, merapat ke Jember untuk menyemarakkan acara. Ada terlihat juga si Lita Dian, Sispala dari Banyuwangi.
Senyum - Dokumentasi oleh Faisal Korep
Kita berjalan beriringan hanya sekitar dua puluh menit saja. Selebihnya, kau sudah tampak sibuk, turut memegang spanduk warna putih untuk pengumpulan cap tangan. Kulihat dari jauh, wajahmu gembira sekali.
Adalah si Febri Arisandy yang menjadi korlap aksi damai ini. Di dunia PA Jember, Febri Arisandy lebih dikenal dengan nama lapang Banteng. Ia anggota aktif dari Iwena, sebuah pencinta alam yang ada di Universitas Moch. Sroedji Jember. Mulai dari start -di UNMUH Jember- Febri terlihat sangat sibuk. Apalagi ketika kawan-kawan stay di perempatan DPRD Jember. Sementara kawan-kawan melakukan aksi teatrikal cinta lingkungan, Febri menghadapi pertanyaan dari rekan-rekan jurnalis.
Bahagianya dirimu berjumpa dengan sahabat-sahabat jurnalis. Kalian saling bertegur sapa. Entah apa yang kalian perbincangan. Kadang aku turut mendekat, kadang hanya menikmati dari jauh. Aku menebak, kau pasti sedang bercerita tentang Novel Sang Patriot dan tentang rencana diskusi novel tersebut di Jember, pada bulan Juni nanti. Haha, ternyata tebakanku benar.
Ohya, kembali ke aksi damai di hari bumi. Aksi mereka tak hanya teatrikal dan pengumpulan cap tangan saja. Ada juga sosialisasi via sticker, orasi dan menawarkan beberapa macam bibit tanaman pada masyarakat yang tertarik untuk menanamnya. Serasi dengan tema hari bumi yang mereka usung. TOLAK EKSPLOITASI SDA - khususnya di Jember- yang membabi buta.
Dari perempatan DPRD Jember, aksi diteruskan ke titik akhir yaitu di Double Way Universitas Jember. Di sini masih ada aksi teatrikal, meskipun banyak juga yang lebih memilih berteduh. Hari semakin panas, sedangkan mereka telah sepakat untuk mengenakan kostum hitam-hitam.
Dokumentasi Pribadi
Siang yang terik di Double Way. Sebelum Febri Arisandy menutup acara, ia mempersilahkan para pihak untuk menyampaikan aspirasinya. Kemudian acara ditutup dengan doa dan salam lestari.
Kita tak bersegera pulang melainkan masih jalan kaki menuju Sastra. Sampai di tempat yang teduh, di samping kiri Gedung FKIP Universitas Jember, kita istirahat. Sementara Korep asyik hunting foto, si Bangker mengeluarkan beberapa kue dan bekal minuman dari dalam daypack-nya. Wew, serasa tamasya di pantai.
Belum setengah jam kami di sana, ada rombongan mengular yang melintas. Sebentar-sebentar mereka meneriakkan salam lestari. Kata Prit, mereka mahasiswa dari MIPA Biologi. Tapi di depan sendiri ada seorang mahasiswi yang mengenakan kostum reuse dengan slempang bertuliskan 'Lumba-lumba FKIP.' Dia terlihat ramah ketika dipotret dengan hape.
Mereka melakukan aksi di dalam kampus UJ secara mandiri, tidak tergabung dalam acara serempak yang kami ikuti. Namun tentu saja kami saling bersinergi, sebab cita-cita dan cinta yang diusung sama. Seremonial yang keren, semoga setiap hari.
Si Lumba-lumba
Kami melanjutkan jalan kaki menuju Sastra. Dalam perjalanan, Prit masih saja lincah. Ia riang sekali, padahal tak ada kicau burung prenjak. Ah, teringat kembali. Aku merindukan prenjak yang berdaulat atas diri dan kicaunya. Prenjak-prenjak kecil yang liar. Mungkin mereka juga sedang merindukan habitatnya seperti di waktu yang lalu, seperti yang ada di lukisan pemandangan.
Setelah Hari Kartini, ada Hari Bumi. Kemudian kita lupa. Merasa bumi sedang baik-baik saja.
Hai Prit, cerewetlah kepadaku esok pagi. Aku sedang merindukan kicau prenjak.
Seorang kawan Punk memperkenalkan saya pada sebuah media bernama zine. Bentuknya sangat sederhana, hanya berupa beberapa lembar kertas HVS yang dilipat jadi dua. Masing-masing mewakili sebuah halaman bolak balik. Jadi, satu lembar kertas digunakan untuk empat halaman.
Sulit mengingatnya apa isi di dalamnya sebab sudah lama sekali, akhir 1990an. Yang saya ingat hanya bentuknya; kertas putih dipenuhi tulisan dan beberapa gambar berwarna hitam -- tak ada warna yang lain selain mungkin abu-abu, digandakan dengan memanfaatkan mesin foto copy, media penghubung antar kertas adalah staples.
Ohya saya ingat sekarang. Salah satu artikel di dalamnya mengusung cerita tentang kebebasan, persamaan dan solidaritas. Ketiganya saling berkaitan. Ia ditulis dan dilayout dengan sentuhan komputer yang sederhana namun dengan komposisi yang pas.
Hanya karena saya pernah bertumbuh lama di kampung Kreongan, dengan beberapa sahabat yang menjalani aktifitas hidup secara punk, tidak serta merta menjadikan saya tergila-gila pada zine. Sekali waktu saya memang membacanya, larut dengan tulisan-tulisan yang tak biasa tentang sebuah komunitas, band-band esoteris, tapi kemudian saya melupakannya.
Waktu itu saya lebih senang blakrak'an dan mendengarkan cerita dibanding membaca. Kalaulah saya membaca, buku yang saya baca adalah buku-buku umum, tidak bersifat melawan sesuatu seperti penindasan, diskriminasi, rasialisme, fasisme dan atau tentang kejahatan perang. Ritme berubah ketika saya mengenal perpustakaan. Ia membuat saya rajin sekali menghilangkan buku dan membayar denda.
Kembali ke zine
Kata zine berasal dari fanzine, singkatan dari fan magazine. Mulanya fanzine adalah untuk membedakan dari magazine atau majalah komersial. Seiring berlalunya waktu, kini kata funzine diperingkas lagi menjadi zine, dibaca zin. Ia tidak bersifat mencari keuntungan. Kalaupun dijual, itu hanyalah bagian dari aktifitas ekonomi kolektif.
Akibat meledaknya punk dan semakin populernya mesin fotokopi di era 1970an, maka zine pun makin menjamur. Namun zine tidak menghilangkan filosofi atas kemunculannya, yaitu sebagai respon terhadap media mainstream. Saat itu zine banyak dilahirkan ditengah-tengah komunitas punk rock.
Begitulah, zine adalah tentang sebuah perlawanan. Ia mengusung semangat do it yourself dan didistribusikan melalui strategi jejaring individu maupun komunitas.
Ada banyak artikel yang mengulas tentang sejarah media yang satu ini, Anda bisa googling jika tertarik. Atau ingin mencoba membuatnya? Silahkan saja. Tentu selain kertas, staples dan fotokopi, hal paling mendasar yang Anda butuhkan adalah sebuah ide yang berguna. Ohya, sediakan juga lem dan gunting serta majalah-majalah umum, kemudian Anda bisa membuat karya seni potong-tempel.
Kata seorang kawan, kini zine semakin berkembang dahsyat. Banyak dari mereka yang melebur dan berubah menjadi webzine dan e-zine, mengikuti perkembangan zaman, namun masih mengusung filosofi dan kultur punk. Kabar buruknya, ada juga zine berpenampilan menor, genit, penuh warna, mengusung tema populer dan tak lagi sama seperti diawal kelahirannya.
Di medio 2004-2007 saya pernah memanfaatkan teknologi fotokopi untuk menggandakan tulisan dan gambar. Saya beri nama NAONG. Syukurlah, saya tidak memberi label zine pada media buatan sendiri tersebut, sebab kadang ia tampil genit.
Kini, ketika menemukan fotokopian NAONG, saya membacanya dan tersenyum. Wew, saya membuat sebuah media dengan artikel-artikel di dalamnya dituturkan dengan tulisan manual, padahal itu sudah zaman Friendster, haha. Ada juga beberapa puisi. Berikut adalah salah satu puisi karya saya sendiri, berjudul; Tuhannya Kawan-kawan, tertanggal 23 Juni 2005.
Puisi :
Tuhannya Kawan-kawan
Kawanku mencari Tuhan di tempat-tempat pelacuran, di dalam botol minuman, di sepanjang jalan, hingga di ujung malam Kasihan.. Kawanku bahkan semakin jauh dengan yang namanya Tuhan Tapi kawanku menemukan sesuatu Sesuatu tentang dirinya sendiri Tentang hati nurani, tentang sebuah kemerdekaan Hingga akhirnya kawanku memutuskan untuk mencari Tuhan pada dirinya sendiri
Kawanku yang lain juga sedang mencari Tuhan dan kawanku yang lain ini menemukan Tuhan pada sosok perempuan Kawanku yang lain ini.. sekarang sudah merasa jauh dengan yang namanya setan Tapi kawanku yang lain ini tidak menemukan kemerdekaan apapun harus seirama dengan keinginan sang perempuan Kawanku yang lain ini menjauh dari kami sebagai kawan
Itulah Tuhannya kawan-kawan.
Biasanya, untuk menyegarkan kembali ingatan pada semangat kemandirian, kawan-kawan punk senang meneriakkan --dalam hati-- kalimat berikut ini.
"Ketika media mainstream berbicara dusta, zine harus membungkamnya."
Saya adalah seorang pencinta alam dan tidak pernah mengklaim diri sebagai seorang punker. Tapi kami memiliki beberapa persamaan ide, terutama di bidang sosial ekologi dan tentang bagaimana cara memandang kebahagiaan. Tentu saya bahagia mengenal zine dan semangatnya.
Ketika kami melewati sebuah kios kaset di pertigaan Pasar Tanjung sisi utara, tiba-tiba si penjaga kios memutar sebuah lagu. Maka berkumandanglah dangdut koplo yang entah dinyanyikan oleh siapa. Tak disangka, tiba-tiba Bebeh sudah berjoget sambil tetap berjalan. Prit dan Korep yang berjalan mengapit Bebeh, mereka berdua tertawa. Seorang Ibu penjual sayuran memandang Bebeh dengan ekspresi heran.
Mereka bilang, orang-orang pasar itu identik dengan gaya pasaran. Saya bilang, pasaran is my style, haha.
Di waktu yang lain, kami terlihat sibuk merubung Bapak penjual sayuran. Kami tidak sedang melakukan tawar menawar, tapi lebih seperti bocah kecil yang memandang mainan baru. Kadang kami para lelaki sibuk memperdebatkan mana yang jeruk nipis mana yang pecel. Ahaha, berburu sayur dan rempah-rempah di Pasar Tradisional memang kegiatan yang keren.
Pasar Tanjung - Dokumentasi oleh Bang Korep
Iya benar, Pasar Tanjung memang tampak kotor, becek bila di musim hujan, kaya aroma, kadang penuh sesak kadang sepi, semburat, tapi ia mengajari kami tentang banyak hal. Tentang hidup dan tantangannya, tentang kenangan dan tentang kemandirian pangan. Semacam swadesi. Ia juga menyuguhkan kenyataan bahwa rempah-rempah dan sayur mayur adalah mata uang yang kuat.
Di sini kami menitipkan kisah, diantara para pelaku ekonomi berskala menengah, kecil dan mikro.
Sebelum pulang, kami masih singgah di stand tambal ban milik Cak To, tepat di seberang Pasar Tanjung. Di sana Mungki dan Nizar Zulkifli tampak sedang menikmati wedang kopi.
Lalu kami meluncur pulang, sambil membawa barang-barang hasil belanja. Yang paling memakan tempat adalah segebog sayur kenikir. Sesampainya di rumah, bahan-bahan itu tidak segera dieksekusi. Sesuai kesepakatan, kami akan menyantapnya sore hari nanti di rel kereta, belakang rumah.
Pukul setengah dua dini hari, Prit membuatkan kami kopi (lagi) aroma kiriman dari Mas Rizal di Bandung. Sementara kami ngobrol, si Odhol terlihat sibuk di depan layar monitor.
Siang harinya, ketika semua gerilyawan dapur sudah siap tempur, ada satu hal vital yang mengganjal. Kami kehilangan tabung gas elpiji 3,5 kg. Duh, palang! Padahal sehari sebelumnya si tabung hijau masih duduk manis di sudut dapur.
"Nang omah enek 2 tabung. Tak selangno siji disek yo nang Ibukku."
Solusi datang dari Bebeh. Syukurlah, misi jalan terus.
Makan bersama - Dokumentasi oleh Bang Jhon R. Tambunan
Dimulai dari belanja rame-rame di Pasar Tanjung, lalu masak bersama-sama. Sore harinya, barulah menikmati hasil karya. Proses panjang yang membahagiakan. Rasa lelah terbayar oleh nikmatnya sambel terong, lalapan kenikir, kemangi, pindang, tempe dan ikan asin.
Selama makan bersama, sebentar-sebentar kepala kami ndangak alias mendongak ke arah langit. Di atas kepala ini penuh dengan layang-layang. Para bocah bolak balik melewati kami, mereka sedang berburu layang-layang yang putus.
Lina senang sekali ketika berhasil menggapai satu layang-layang tak bertuan. Hebat, ia mengejar layang-layang dengan mengenakan rok panjang. Ada juga si Fatin, gadis kecil usia TK yang juga berhasil mendapatkan layang-layang hanya karena tak ada saingan.
Ohya, ada adegan dimana Mungki dan Korep mengejar layang-layang, saingannya si Rini, gadis kelas 6 SD. Ketika layang-layang hampir teraih, ada satu bocah lelaki, ia datang dari arah yang tidak disangka-sangka, membawa sebuah tongkat dan berhasil meraih layang-layang. Haha, Mungki dan Korep kembali dengan tangan kosong.
Sore yang ramai. Banyak yang buruh. Buruh itu kosakata Bahasa Madura, artinya berlari. Jadi, mereka tidak sedang merayakan May Day, melainkan buruh untuk mengejar layang-layang yang putus.
Siapa yang menyangka, ternyata kami cangkruk'an di rel kereta hingga pukul sembilan malam.
Sedikit Tambahan
Ketika berada di sebuah Pasar Tradisional, saya belajar tentang humaniora dan cinta produksi dalam negeri. Ketika sedang di dapur, ketika sedang menyajikan hidangan dan ketika sedang makan, saya belajar tentang rasa, penjiwaan dan syukur. Semuanya tentang kegairahan hidup, ibarat kalimat Ing madyo mbangun karso.
Layang-layang, ia membuat saya berimajinasi, terbang gembira di udara. Prit menjadi benangnya. Ahaha, sudah ah. Selamat menikmati hari ini. Merdeka!
"Mas, kenapa di pinggang kiri Patung Letkol Moch. Sroedji ada terselip pedang samurai?"
"Oh, tentang patung yang ada di pelataran Pemkab Jember ya? Itu karena Pak Sroedji pernah mengikuti Pendidikan Perwira Tentara PETA di Bogor, lulus angkatan pertama, akhir tahun 1943."
Lalu kau bertanya tentang apa hubungan antara Pendidikan PETA dengan samurai. Aku katakan padamu tentang sistem beroperasinya penjajahan.
Sebagai penjajah, tentu dituntut untuk paham wilayah atau pemetaan. Penjajahan bersifat memonopoli di segala bidang, baik dari segi budaya, bahasa, sosial, politik, ekonomi, sejarah bahkan hal yang paling dasar yaitu pendidikan. Bagi kaum terjajah, keadilan adalah sesuatu yang seakan utopis. Nah, di situasi seperti inilah munculnya Pendidikan PETA. Jepang membukanya di Jawa melalui pemikiran yang panjang. Yang pertama mereka lakukan adalah membuat propaganda untuk memikat hati rakyat. Pembela Tanah Air dan filosofi samurai adalah salah satu daya pikatnya.
"Bukankah itu terlihat baik?"
"Wew, sebenarnya, mereka sedang butuh banyak sumber daya untuk memenuhi kepentingan peperangan Jepang di Lautan Pasifik. Itu alasan dari dibentuknya Pendidikan PETA. Ohya, semoga kau tidak lupa pada kalimat 'penjajahan di atas dunia harus dihapuskan' sebab tak ada kebaikan dalam kata penjajahan."
"Bukankah Jepang pernah menjanjikan kemerdekaan kepada kita?"
"Sebab mereka sadar energi dan potensi. Tawaran itu menggema hanya di saat posisi Jepang sudah ada di ujung tanduk. Hmmm, apakah kau sedang ingin memaksaku untuk mengamini penjajahan? Jika iya, maka kau sedang membujuk orang yang salah."
"Bukan begitu Mas. Aku hanya menanyakan apa yang sedang terpikirkan."
"Sepertinya kau sedang berpikir bahwa penjajahan itu bersifat baik dan buruk. Maaf, tapi itu pemikiran yang lucu. Jangan pernah terjebak untuk berpikir dan mengamini bahwa penjajahan adalah sesuatu yang wajar. Pembunuhan massal, kerja paksa, ketidakbebasan dan ketidakadilan di segala bidang, ketidakmampuan untuk mandiri, pemerkosaan hak asasi manusia, itu semua menyebalkan. Sangat menyebalkan! Penjajahan adalah sebuah kekejaman, kita harus menolaknya."
"Wow wow wooow... woles meeen. Aku kan cuma takon, kenapa Letkol Moch. Sroedji punya katana atau pedang samurai."
"Hehe, maaf. Para samurai, mereka hidup dengan etika bushido atau tata cara ksatria dan atau jalan kstaria. Itulah kenapa lulusan Pendidikan PETA memberi penghargaan yang tinggi pada pedang samurai. Gagasan yang diusung adalah ingin menghidupkan budaya Jepang di Indonesia. Ingin melahirkan para samurai di Nusantara. Kelak, PETA berubah wujud menjadi lebih bersifat Nasional. Ia dirasa terlalu membahayakan kedudukan Jepang atas wilayah Indonesia. Maka dari itu pada 1944 PETA dibubarkan."
"So, apakah itu semua membuat kita harus membenci Jepang? Haruskah kita menghujat Belanda?"
"Kini kita telah merdeka. Namun bukan berarti kita harus memelihara dendam. Adalah baik jika kita memaafkan segala penderitaan yang terjadi di masa lalu."
Tak lama kemudian kami hanyut dalam perbincangan seputar kemerdekaan, tentang bagaimana cara terbaik untuk mengisinya. Kesimpulannya, cara terbaik mengisi kemerdekaan adalah dengan menjadi pribadi yang berguna. Ah, kesimpulan yang luas, semoga tak ada salah tafsir tentang ini.
Obrolan berlanjut, tiba-tiba kita terjebak menafsirkan tentang paham patriot. Apa itu patriotisme? Apakah harus selalu berdarah-darah, heroik dan melulu tentang mempertahankan tanah tumpah kelahirannya? Apakah semangat patriot harus ditanamkan di sekolah-sekolah agar generasi penerus memiliki mentalisme militarisme?
"Apakah kamu usai membaca pemikiran tokoh-tokoh anti patriotisme seperti Gustava Herve? Atau Leo Tolstoy?"
Kamu menggeleng. Kau bilang, "Aku hanya ingin bertanya."
"Aku sendiri suka membaca pemikiran mereka. Bagiku, mereka kritis dan berani tampil beda dengan selera massa di zamannya. Meski mereka memiliki latar hidup yang berbeda, namun pemikirannya mengantarkanku pada peperangan yang pernah terjadi di masa Muhammad SAW. Kau tahu, di dunia Islam juga dikenal sejarah-sejarah perang. Namun Muhammad SAW tidak pernah memimpin perang dengan --satu-satunya-- alasan teritorial (tanah), tidak pula karena dendam. Muhammad SAW hanya akan berperang jika ada penindasan, terutama penindasan akan menjalani hidup dengan 'kebenaran' yang diyakini."
"Sepertinya kamu memberi contoh kasus yang terlalu jauh Mas. Aku juga mengerti jika Muhammad tidak pernah meminta untuk dihormati. Ia menolak orang lain menundukkan kepala menghormatinya, ketika Muhammad hadir di sebuah majelis. Cobalah untuk kembali pada topik, tentang perjuangan warga Jember saat mempertahankan kemerdekaan di bawah komando Letkol Moch. Sroedji."
"Wew, maaf. Aku sendiri pun hanya berusaha untuk memahami ini. Kau pasti paham, ide Nationalsozialismus juga pernah diusung oleh Adolf Hitler. Sangat mengerikan. Itu adalah contoh nyata ketika semangat nasionalisme disebarkan dengan semangat yang berbeda."
"Menakutkan. Lalu patriotisme yang kita bicarakan ini, tentang Sroedji, tentang semangat mempertahankan kemerdekaan, bagaimana?"
"Tentang Letkol Moch. Sroedji dan orang-orang seperjuangan, mereka lebih menghunjam ke dalam. Mereka menyegarkan ingatan kita tentang kebebasan, serta menyegarkan ingatan pada lagu Bob Marley. Apalagi kalau bukan Redemption Song. Wawasan yang aku kumpulkan tentang tema perang mempertahankan kemerdekaan adalah tentang bagaimana mereka menentang laju penindasan di atas tanah yang merdeka. Tak semata-mata tentang batas-batas teritorial, meski aku tak menutup mata jika itu juga terjadi di kalangan elit pemerintahan kala itu."
"Jadi, patriotisme itu apa? Apakah tentang rasa cinta pada tanah kelahirannya? Apakah demi memelihara kenangan masa kecil?"
"Hehe.. Jika hanya sesempit itu, tentu Sroedji akan berjuang di Madura (atau Kediri) saja! "
"Apakah patriotisme hanyalah sebuah prinsip yang membenarkan pelatihan pembunuh dengan menggunakan alat-alat canggih?"
"Jika hanya tentang itu, tentu Sroedji akan membunuh pasukan Cakra yang ia temui."
"Apakah patriotisme adalah ketika kita dipaksa untuk masuk 'wajib militer' hingga meniadakan HAM?"
"Iya benar, di luar sana, itulah yang terjadi. Adapun Sroedji, ia meleburkan diri pada sistem PETA dengan mengusung semangat solidaritas. Kesimpulannya. Jiwa patriot yang diusung oleh sosok Letkol Moch. Sroedji adalah patriotisme yang bersifat solidaritas. Jiwanya terpanggil karena ia sering melihat penindasan. Solidaritas adalah pembeda."
"Hmmm, aku pusing. Tapi aku mengerti sekarang, kenapa ada yang tidak suka dengan paham patriot. Tentunya mereka melihat dari bencana paska perang, seperti harga-harga yang melambung tinggi, pelecehan harga diri seseorang, hingga daya rusak perang dari berbagai sisi."
"Aku yakin, semisal Sroedji hidup di masa damai, ia akan tetap menjadi manusia yang berguna dengan cara apapun dan tetap memiliki semangat solidaritas."
"Hai hai haiii... Kau tidak sedang melakukan pemujaan kan Mas?"
"Ahaha... Apakah terlihat seperti itu? Maaf. Tentu tidak. Orang-orang hebat seperti Letkol Moch. Sroedji, Mbah Dachnan Kreongan, Mbah Fadli Rasyid dan semuanya, aku kira mereka juga tidak pernah berwasiat untuk dipuja. Adapun patung di halaman Pemkab Jember, itu sengaja dibangun hanya agar kita mengingatnya. Terinspirasilah pada semangatnya agar hidup kita lebih berwarna dan berguna."
"Ingat. Satu kata yang mak jleb ya Mas. Sekarang aku ingat, masa kini dibangun dari puing-puing masa lalu."
Yuk kita melek sejarah agar hidup lebih bergairah, agar sadar energi, agar cerdas lingkungan, agar bisa berdiri di atas kaki sendiri dan agar tetap berpikir merdeka.
Sebelum memulai aktifitas penjurian Lomba Review sebuah novel karya Mbak Irma Devita, sebaiknya saya publish dulu artikel ini. Tentang kabar kepulangan Annisa Rahmawati alias Ica ke tanah air. Terima kasih tak terhingga pada sedulur blogger yang kemarin turut membantu memberikan informasi dan sebagainya.
Baiklah, begini ceritanya.
Annisa Rahmawati diantar oleh Dodon saat pertama kali berkunjung ke rumah. Waktu itu dia masih duduk di bangku SMK Negeri 1 Sukorambi. Kalau tidak salah, itu terjadi di awal tahun 2012. Entahlah, saya tak begitu mengingatnya. Dodon memanggilnya Ica.
"Iki adikku, arek pencinta alam Sisperpena. Karo arek-arek PA biasa diceluk Genyok."
Saya tidak mengenal Sisperpena dengan baik. Tentu saya juga tidak tahu keseharian mereka, bagaimana cara mereka bersosialisasi, bentuk-bentuk guyonannya, bidang apa yang mereka sukai dan sebagainya. Jadi ketika di hari-hari selanjutnya Ica semakin sering singgah ke rumah, dengan atau tanpa Dodon, saya banyak belajar mendengar dan sesekali menanggapi.
Adapun Dodon, saya sendiri lupa kapan mengenalnya. Mungkin tahun 2009, ketika ada tragedi Air Terjun Antrokan Slawu. Diantara empat korban meninggal dunia, satu diantaranya adalah tetangga saya sendiri. Faridatul Mutmainnah namanya. Ia masih 15 tahun. Saya pernah menggendongnya ketika ia masih balita. Dibalik tragedi itu, ada tragedi yang lain, tentang meninggalnya salah satu tim SAR bernama Irwan a.k.a Lolop.
Ya, mungkin di waktu itulah saya mengenal Dodon dan bersahabat hingga sekarang.
Ketika Ica semakin sering singgah ke rumah, saya mengajaknya turut serta berproses di beberapa bidang. Tentu saya bermaksud agar Ica pandai membuat inisiatif sendiri. Ia pernah terlibat aktif di pembuatan film dokumenter hingga recording sebuah lagu berjudul Sampai Rimba Merdeka.
Namun Ica tetaplah Ica. Saya sering dikejutkan oleh kabar tentangnya.
Suatu hari istri saya marah-marah sebab Ica tak kembali pulang (ke rumah kami) hingga pukul satu dini hari. Pamitnya malam mingguan, mengayuh sepeda BMX menuju alun-alun kota Jember berdua dengan Indana. Ketika akhirnya istri saya menghubungi via sms, tak lama kemudian mereka pulang sambil cengengesan.
Di hari yang lain, ada terdengar kabar bahwa Ica kecelakaan. Ia sedang mengendarai motor dari rumahnya menuju rumah saya. Di tengah jalan, ada sebuah lubang menganga disebabkan oleh irigasi jalan yang buruk. Jatuhlah Ica. Ia dilarikan ke RSD dr. Soebandi dengan wajah yang lebur.
Pertengahan 2013 yang lalu Ica tamat dari sekolahnya. Ia tidak melanjutkan kuliah, melainkan langsung mempersiapkan diri untuk bekerja di sebuah kilang di Melaka, negeri tetangga. Pada 4 September 2013 Ica berangkat ke Melaka. Urusan paspor dan surat-surat lainnya menjadi tanggung jawab pihak SMK Negeri 1 Sukorambi. Pekerjaan ini memang hasil kerjasama pihak sekolah dengan sebuah PJTKI, yaitu PT Orientasi Mahkota Buduran Sidoarjo.
Mulanya baik-baik saja. Namun memasuki bulan keenam, dikabarkan Ica tidak lagi masuk kerja (sebagai operator di Kilang Koa Denko Melaka), tidak pulang ke penginapan, kawan-kawan dekatnya tidak tahu keberadaannya, nomor ponsel tak bisa dihubungi. Saya sempat menuliskan saat-saat genting itu di sebuah postingan berjudul; Menanti Kabar Ica dari Melaka.
Gayung bersambut. Dari satu artikel sederhana, melahirkan banyak orang yang turut membantu. Mereka adalah Mbak Anazkia, Makcik Ifendayu, Bang Loeky Ardianto hingga Mas Mahfudz Tejani. Masih ada lagi sederet nama-nama. Mereka membuatkan chat room khusus untuk berbagi info.
Pada 6 April 2014, saya menuliskan sesuatu di chat room tersebut. Baiknya, saya tampilkan catatan tersebut dengan spoiler.
Catatan Chat room :
Permisi.
Pada 25 Maret lalu Ica berkirim inbox ke saya. Singkat saja inboxnya, "hbd mas, icha baik sj."
Hari-hari selanjutnya saya hanya menerima kabar sepotong-sepotong tentang Ica. Itulah kenapa saya lama sekali tidak memberi kabar di sini. Terus terang saja, chat room ini pada akhirnya menjadi beban tersendiri, saya merasa tidak nyaman sebab kisah belum tuntas.
Akhir Maret. Ica berstatus ilegal. Saya membantu keluarga Ica untuk membujuknya -semampu yang saya bisa- agar Ica mau melaporkan diri ke KBRI terdekat di Melaka. Ica menolak. Ketika saya berkesempatan untuk bertanya padanya via inbox, dia bilang begini.
"Panjang ceritax mas , iya lari ,paspor d kilang , ª lain2 ada d icha. Kalo diambil kena byar smpai 10.000 ringgit itu polis ª blg , mangkanx icha plg lewat johor itu pakai agent , ilegal. Bukan permit , nnti sj mas kalo sdh sMpai jember cerita."
Rabu, 2 April 2014
Saya terkejut mendengar kabar Ibunya Ica sudah ada di Batam. Ia, melalui tekong, akan membawa Ica pulang ke Indonesia lewat jalur itu. Karena khawatir, saya menghubungi teman dekat di sana untuk bisa bertemu dengan ibunya ica. Nama teman saya Hedex. Kata Hedex, si tekong marah-marah dan melarang ibunya Ica bertemu dengan Hedex. Ia takut Hedex adalah tekong saingan yang hanya akan merebut order. Namun begitu, Hedex berusaha keras untuk tetap bertemu, agar ia bisa meyakinkan saya jika ibunya ica baik-baik saja. Sayang, pada akhirnya mereka tidak sempat bertemu. Hedex hanya sempat menelepon si tekong dan memberi peringatan semisal si tekong berani memeras Ica dan ibunya.
Tadi malam, Ica beserta ibunya diseberangkan dari Johor menuju Batam. Dan sore nanti ia bersama ibunya akan terbang ke Surabaya.
Ah, lega rasanya telah bisa menuliskan apa yang saya tahu tentang Ica, di chat room ini, bahkan meskipun saya tidak mengerti secara detail apa sebenarnya yang terjadi dengan Ica.
Kawan-kawan, terima kasih banyak atas bantuannya. Takkan terlupa. Chat ini hadir dikala kami yang di Jember resah memikirkan keselamatan Ica. Chat pun masih ada dikala saya mulai sempat merasa hampir tidak simpatik dengan Ica, sebab ia sering OL namun jarang sekali membalas inbox. Kini tabir mulai terbuka. Terlepas dari semuanya, saya bahagia sebab Ica baik-baik saja, menyangkal kekhawatiran yang lalu-lalu.
Sepertinya pihak keluarga juga sudah paham dengan resiko yang ditempuh.
Sekali lagi terima kasih.
Kini Ica telah kembali ke tanah air, kembali ke pelukan keluarga tercinta.
Masih ada satu hal yang harus saya paparkan di blog ini. Tapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Ica. Memang, suatu malam di tanggal 9 April 2014, malam setelah coblosan legislatif, saya sempat menjumpainya di Kedai Gubug. Ia bersama kedua adiknya, juga Dodon dan rekan-rekan Sisperpena. Mereka sedang menikmati kopi sambil mendengarkan tamasya band bermain akustik. Malam itu, kami tidak ada waktu berbincang.
Hingga beberapa malam yang lalu --7 Mei 2014-- ketika acara Mata Najwa yang mengangkat tema Pertaruhan Jokowi Ahok baru akan dimulai, di saat itulah Ica datang ke rumah. Ia tidak sendirian melainkan berdua dengan Ibunya.
Tentu kami senang mendapat kunjungan dari mereka berdua. Satu jam lebih terlewatkan dengan mendengar mereka bercerita tentang liku-liku memulangkan Ica dari Melaka melalui Johor menuju Batam. Dari Batam kemudian terbang ke Surabaya dan meneruskan jalur darat 200 kilometer menuju Jember. Beberapa penggal kisahnya mengharu biru. Semisal keluarga tidak keberatan, tentu dengan senang hati saya akan menuliskan kisah kepulangan Ica secara detail.
Tulisan ini sekaligus sebagai ucapan terima kasih kepada para pihak yang kemarin turut membantu nge-SAR. Sekali lagi terima kasih.
Hari sudah sore ketika saya tiba di pelataran Stasiun Kalisat. Tak jauh di depan papan nama ada satu tiang bendera lengkap dengan merah putih yang gagah berkibar. Rasanya janggal melihat bendera berkibar selain di bulan Agustus. Tapi saya mafhum, ini stasiun kecil yang berbeda.
Diceritakan oleh Ady Setyawan dan Marjolein Van Pagee, pada 19 September 2013 mereka mengunjungi kediaman Joop Hueting di sebuah apartemen di Castricum, Belanda bagian utara. Tuan Hueting, ia adalah tokoh dibalik terkuaknya kekejaman Belanda di Indonesia. Saya tercekat oleh pemaparan Tuan Hueting tentang apa yang pernah terjadi di Stasiun Kalisat.
".... Sebuah stasiun kecil di Kalisat, mereka menyiksa seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, sangat gigih. Mereka menggantungnya dalam keadaan terbalik, kaki diatas dan kepala dibawah, disiksa sedemikian rupa, lalu dijatuhkan beberapa kali dari ketinggian hingga kepalanya pecah."
Baiknya saya cantumkan di sini --dalam bentuk spoiler-- tentang catatan Ady Setyawan (bersama Marjolein) ketika mewawancarai Tuan Hueting.
Dari Catatan Ady Setyawan :
No Sir...Im not historian.....Im a treasure hunter *sigh
Joop Hueting, tokoh dibalik terkuaknya kekejaman Belanda di Indonesia
Di akhir tahun 1960,tepatnya 17 januari 1969, beliau berbicara di media Belanda tentang kekejaman tentara Belanda terhadap penduduk Indonesia. Sebelum itu keadaan Belanda tenang tenang saja. Lalu meledaklah negeri itu. Media Belanda, Jerman hingga Amerika ingin mewawancarai Hueting. Dampaknya adalah semua veteran memburu Hueting. Keluarga hingga media yang mewawancarai Hueting menerima ancaman pembunuhan. Dari keributan inilah akhirnya muncul de Exessennota.
19 September 2013
Dari Rotterdam saya dan Marjolein Van Pagee menuju rumah Joop Hueting di sebuah apartemen. Disana kami disambut dengan ramah.
Apa kabarmu tuan? Kawan saya membuka pembicaraan, dan Hueting menjawab, "Tidak begitu baik, istriku baru saja meninggal, dia adalah orang terhebat dalam hidup saya." Dan kami dipersilahkan masuk.
"Kau... siapa namamu? Kau keturunan seorang freedom fighter juga kah?"
"Nama saya Ady Pak. Ya, Kakek saya dulu ikut dalam perang kemerdekaan." Marjo tidak ditanya karena sudah kenal.
"Apakah dia masih hidup?"
"Kakek saya sudah meninggal."
"Kau menang dalam perang itu, kami yang harus angkat kaki dan memang itulah yang seharusnya terjadi."
Tak lama kemudian Meneer Hueting berjalan, langkahnya sangat pelan.
"Bantu aku mengambil beberapa barang, aku akan ceritakan beberapa hal padamu Nak."
Dan kami pun mengikutinya mengambil beberapa benda, diantaranya sepucuk pistol, sepotong lantai tegel, bayonet arisaka Jepang dan sebuah triplek bertuliskan 50 Th Indonesia Merdeka.
Dan mulailah beliau bercerita.
"Semua ini adalah barang kenanganku dengan leluhurmu. Akhir September 1947 adalah awal kedatangan saya ke Indonesia. Pertama kali saya ditugaskan adalah di Jawa Timur. Pangkat saya saat itu adalah first class soldier. Di tahun 1948 saya ikut menyerbu Jogja dalam gelombang pertama. Saya adalah pasukan STOOTTROEPEN bagian intelijen. Saya ingat ketika pertama kali masuk kota Jogja, ada sebuah poster yang sangat besar dipasang oleh para pejuang, poster itu bertuliskan WILHELMINA LONTE."
"Kawan-kawan prajurit saya menanggapi itu dengan sangat marah, tetapi saya hanya tertawa terbahak-bahak. Sempat-sempatnya mereka membuat poster ejekan seperti ini."
Kemudian beliau menyerahkan pistol itu ditangan saya. Saya tak mengenali jenisnya, pistol itu kecil, saya keluarkan magasen, mengokang untuk memastikan chamber kosong dan juga mencoba tuas penguncinya.
"Pistol ini dalam kondisi sangat bagus tuan."
"Ya, saya selalu merawatnya."
"Bagaimana anda mendapatkan pistol ini?"
"Jogjakarta, 1948, perang kota. Saat itu saya mendadak berhadapan dengan seorang anggota TNI. Masing masing dari kami saling menodongkan pistol, dan.... Kamu bisa melihat, siapa diantara kami yang lebih cepat menarik pelatuk. Dia gugur. Dia seorang Letnan. Namun bagaimana pun dia adalah prajurit dan saya juga prajurit. Tak ada pilihan lain, inilah dunia kami. Dia meninggal dengan terhormat."
"Bagaimana dengan pecahan lantai ini?"
Ketika saya menanyakan pecahan lantai tersebut, Tuan Hueting sejenak terdiam. Ada raut kesedihan yang muncul....
"Itu bukan hanya sekedar pecahan lantai. Itu adalah pecahan hati saya. Sebuah stasiun kecil di Kalisat, mereka menyiksa seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, sangat gigih. Mereka menggantungnya dalam keadaan terbalik, kaki diatas dan kepala dibawah, disiksa sedemikian rupa, lalu dijatuhkan beberapa kali dari ketinggian hingga kepalanya pecah."
Dan kami melihat mata Tuan Hueting yang mulai berkaca-kaca.
"Aku berteriak-teriak, aku menangis memohon agar mereka berhenti melakukannya. Dan detik itu aku menyadari, bahwa leluhurmu berjuang untuk sebuah keinginan mulia. Nyawa sekalipun akan mereka korbankan untuk itu...KEMERDEKAAN..."
Inilah sebagian kecil dari hasil wawancara dengan Tuan Hueting, begitu banyak kisah yang cukup menyentuh yang beliau sampaikan pada kami, mulai kelucuan, tentang kengerian perang, tentang kemanusiaan.
"Terima kasih telah mengunjungiku. Puluhan tahun telah berlalu. Melihatmu dan berbicara denganmu sangat menyenangkan. Kau... Sungguh mengingatkanku pada mereka. Tinggimu, warna kulitmu, gaya bicaramu. Seandainya saja saya bertemu mereka di waktu yang tepat, tentu kita semua bisa menjadi sahabat."
Catatan itulah yang membawa saya kembali ke Kalisat, sebuah wilayah di Jember Utara. Kembali ke stasiun kecil dengan ketinggian +265 M di atas permukaan laut.
Jarak antara rumah saya dengan Stasiun Kalisat hanya setengah jam jika naik motor, itu juga jalannya nyantai. Tentu saya membonceng istri tercinta. Selain kami, masih ada rombongan kecil yang turut serta. Mereka adalah Korep, Buter, Watu dan Lading. Tak perlu heran dengan nama-nama unik itu. Begitulah jika pencinta alam, mereka akrab dipanggil dengan nama rimba.
Belum sepuluh menit kami nongkrong di pelataran stasiun dekat tiang bendera, dari kejauhan sudah ada terlihat si Frans. Rupanya dia sedang asyik menikmati bakso. Sebelum Frans datang menghampiri kami, Ivan datang terlebih dahulu. Dua atau tiga menit sebelumnya saya memang meneleponnya, mengabarkan jika kami sedang ada di Stasiun Kalisat, dekat sekali dengan rumahnya.
Frans dan Ivan, mereka sering menemani saya ketika jalan-jalan di Kalisat.
"Kok sore Mas? Arep munggah Gumuk tah?"
Saya tersenyum mendengar pertanyaan Frans. Iya benar, warna langit mulai ranum ketika kami tiba di stasiun itu. Saya katakan pada Frans bahwa sebelumnya kami singgah dulu di kedai kopi Desa Gumuksari, dekat Stasiun Kotok. Di sana kami berjumpa dengan Har, sahabat yang paling gemar menemani saya mendaki Gumuk atau sekedar melakukan pengamatan capung.
Kepada Frans saya bercerita tentang apa yang sudah dipaparkan oleh Ady dan Marjolein. Tak dinyana, ternyata Frans antusias. Beberapa menit kemudian, ia sudah mengantarkan saya menuju rumah Keluarga Sutrisno. Frans memanggilnya Om Tris. Rumahnya tepat di seberang stasiun, hanya berjarak beberapa langkah saja. Di depan Om Tris, saya kembali menuturkan apa yang sebelumnya sudah saya ceritakan ke Frans. Dia manggut-manggut, tampak sekali jika Om Tris bersemangat mendengarnya.
"Saya lahir tahun 1956 Mas, jadi saya tidak njamani peristiwa penyiksaan itu. Tapi menurut apa yang pernah saya dengar dari para sesepuh di daerah ini, apa yang diceritakan teman Anda --Ady dan Marjolein-- itu benar adanya. Sayang sekali teman Anda tidak menyertakan nama pejuang yang digantung dalam keadaan terbalik, kaki di atas kepala di bawah, lalu dijatuhkan hingga kepalanya pecah."
Dari Om Tris saya mendapatkan info keren. Rumah di samping kanan rumahnya (kini rumah itu tak terawat dan tak berpenghuni) adalah saksi bisu masa perang mempertahankan kemerdekaan. Disanalah ruang penyiksaan bagi para pejuang Indonesia.
Om Tris mengetahui kisah rumah itu dari banyak orang, salah satunya adalah Pak Sukardi.
"Tadinya Pak Sukardi itu guru biasa. Tapi kemudian beliau memilih menjadi tentara dan aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan hingga 1949. Dia pernah berkata, 'sabben e dinnak kenengnah oreng e siksa.' Sayang kini Pak Sukardi telah tiada. Di sini sulit mencari masyarakat yang berusia 70 tahun ke atas. Kalaulah ada, biasanya ceritanya tidak riil."
Meskipun saya belum menemukan dimana lokasi tiang pancang untuk menyiksa pejuang, seperti yang dikisahkan Joop Hueting, tapi saya senang ngobrol dengan Om Tris. Ia bahkan mempersilahkan saya untuk mengabadikan ruang-ruang di dalam rumah itu. Sayangnya, hari sudah menjelang maghrib. Lebih baik jika saya mengabadikannya di lain waktu. Sebelum undur diri, saya berjanji secepatnya kembali lagi ke Om Tris. Masih ada banyak hal yang butuh saya tanyakan.
Saya dan rekan-rekan tidak langsung pulang melainkan masih singgah di rumah Ivan. Di sana saya banyak berbincang dengan Ibu Sulasmini yang tak lain adalah Ibu kandung Ivan. Kepada Ibu Sulasmini, saya banyak bertanya tentang sepak terjang Almarhum Bapak Oesman (suami beliau yang seorang Purnawirawan Angkatan Darat) di masa revolusi.
Mendengarkan dongeng sejarah dari Ibu Sulasmini
"Seandainya dulu di tahun 1947 Bapak tidak melarikan diri, tentu ia akan menjadi salah satu korban Tragedi Gerbong Maut. Pak Oesman lari ke Banyuwangi. Di sana dia turut berperan aktif membangun sebuah jembatan yang tak sempat selesai. Sampai kini kabarnya jembatan itu terbengkalai namun masih ada jejaknya."
Kemudian cerita pun mengalir. Ibu Sulasmini juga tak keberatan menunjukkan berkas-berkas suaminya. Saya bilang ke Ivan untuk menyimpan juga berkas-berkas itu secara digital.
Kami tidak bisa berlama-lama lagi di rumah Keluarga Ibu Sulasmini. Har, rekan saya, ia menelepon untuk memastikan agar kami singgah di rumahnya. "Bojoku kadhung masak sego," begitu katanya. Kami segera berpamitan.
Ternyata perjalanan dari sekitar Stasiun Kalisat menuju Sumber Jeruk (juga wilayah Kalisat) masih tertahan. Kami singgah di rumah Frans. Saya memang ada perlu, mau pinjam gitar untuk menciptakan lagu. Eh, ndilalah di rumah Frans kami diwajibkan untuk mimik teh botol.
Akhirnya, sampai juga kami di rumah Har.
Di sini kami kembali saling bercerita, saling menjahit kain perca sejarah yang berceceran, kembali bertemu kopi hingga perut terasa kembung, kadang terjebak membicarakan nostalgia usang, kadang hanya saling bercerita kebodohan-kebodohan ketika naik gunung atau kemping di hutan, dan tentu saja endingnya adalah masak di dapur.
Untuk bagian makan bersama-sama, kisahnya kita loncati saja ya, hehe.
Kalisat, hmmm... Entah kenapa saya selalu merasa bahagia jika singgah di wilayah ini.
Saya senang mengingat-ingat dongeng dari Bapak. Saat dia masih muda, di tahun-tahun pertama pernikahan Bapak dan Almarhummah Ibu, mereka merayakan gagasan kemandirian di sini. Punya rumah sendiri meskipun kontrak, berkebun di halaman belakang, memelihara ayam dan ikan, bertetangga, saling tolong menolong, merajut mimpi dan memelihara kuda. Ya, Bapak memelihara kuda! Wew, saya bangga menjadi putra seorang Koboi Nusantara.
Sayang sekali, Ibu tidak betah tinggal di sana. Sepi. Kata Bapak, waktu itu Ibu sering menangis. Jadi, Bapak berinisiatif untuk memboyong Ibu di rumah Kreongan, rumah orang tua Bapak. Itu ketika mereka belum memiliki rumah sendiri di Patrang. Jadi, mereka tak sampai setahun tinggal di Sumber Jeruk, Kalisat.
Heran, mereka hanya sebentar hidup di sana, tapi kenapa masih ada saja yang mampu mengingat Bapak dengan detail? Bagaimana dulu ia bersosialisasi? Tetangga Har, dia bahkan menuduh saya dilahirkan di Kalisat. Menurut apa yang saya dengar dari orang-orang terdekat, tentu itu tidak benar. Namun ia masih ngotot jika saya lahir di Kalisat. Katanya, dua hal yang dia ingat tentang keluarga kami, yaitu saya dan kuda. Manis sekali. Sayang itu tidak benar. Saya dilahirkan di Kreongan, di atas tanah milik KA.
"Om, ayo menggambar."
Ah, rupanya Catherine sudah ada di samping saya. Catherine, ia adalah putri Har. Nama lengkapnya Catherine Harum Senja Ramadhani, lahir pada 21 September 2008. Saya mengingatnya sebab turut menyumbang pembuatan nama, atas permintaan Har.
Kami menggambar ramai-ramai. Si Lading, Buter dan Watu, mereka juga turut menggambar dengan crayon. Kalimat 'Kangen Bunda Yati' itu saya yang menulis. Tak terencana, tiba-tiba saja nulisnya. Entahlah, padahal kami tidak pernah berjumpa.
Catherine terlihat senang. Pada akhirnya kami terus menggambar, tak peduli apakah Catherine senang atau tidak. Satu jam kemudian, kami baru sadar jika Catherine sudah nyekukruk di sudut ruang, dia ketiduran, haha..
Seperti itulah Kalisat, selalu menerima kehadiran saya dengan hangat.
Beberapa warga yang saya kenal, mereka sering terheran-heran dengan tingkah saya. Kadang saya datang untuk satu tujuan, mendaki Gumuk Marada. Di lain hari, saya melakukan pengamatan keanekaragaman hayati di titik-titik tertentu. Di kesempatan yang berbeda lagi, saya datang menjadi pendengar setia pada mereka yang sudi cangkruk'an sambil menceritakan folklor yang tumbuh di sana.
Syukurlah mereka mengerti, saya melakukan itu hanya untuk mengikuti kata hati. Sama sekali bukan menjadi bagian dari kucuran hibah atas nama ilmu pengetahuan dan semacamnya. Saya hanya ingin bahagia dan membahagiakan.
Stasiun Kalisat, Gumuk di kejauhan dan sebongkah kisah
Catherine dan teman-teman sebayanya, juga anak-anak saya nanti, mereka tentu butuh mengerti bagaimana wajah Kalisat di masa yang lalu. Mereka berhak tahu atas apa yang pernah terjadi di pelataran Stasiun Kalisat di masa revolusi. Dengan cara sesederhana ini, saya berharap kisah yang dituturkan Hueting, perjuangan yang dilakukan Pasukan Sroedji, pengorbanan logistik dari para petani, itu semua tak menjadi sia-sia.
Melek sejarah melahirkan kecerdasan di bidang lingkungan, sosial, budaya, wisata dan kemanusiaan.
Kalisat: A Place to Remember
Jika harus membayangkan suatu tempat yang penuh kenangan, saya selalu mencoba untuk mencari pilihan lain selain gunung, hutan dan pantai. Jika harus kembali ke sebuah tempat, saya akan mencari alternatif lain selain pulau-pulau kecil baik yang pernah saya singgahi maupun yang masih dalam tahap mimpi. Jika harus mengajak istri tercinta ke sebuah tempat romantis, saya akan membelokkan kemudi ke arah yang tidak disangka-sangka. Itu lebih baik. Akan menjadi sempurna jika tanpa buku panduan. Masih ada banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk kita bertanya tentang arah. Sosial skill, hanya itu yang kita butuhkan.
Kenangan kami berceceran, kami butuh menciptakan kesan di tempat yang berbeda. Kadang destinasi adalah kata yang memenjara. Kami ingin bertamasya setiap hari. Di rumah pun kami berkelana, sebab kami tak kunjung bosan untuk menciptakan kebahagiaan. Everyday dan di mana saja. Namun iya benar, sememenjara-memenjaranya destinasi, pengembaraan adalah wajib. Setidaknya sekali seumur hidup, mari kita lakukan sebuah perjalanan yang gila.
Kini, ketika saya mengikutkan tulisan ini dalam sebuah Giveaway, saya memilih Kalisat dengan segala kisahnya yang meloncat-loncat.
Kalisat memang bukan sebaik-baik tempat untuk berwisata. Di sini tidak ada janji keindahan seperti Pantai Papuma Jember. Apa yang tampak foto, seperti itulah adanya. Jangan berharap menjadi turis di tanah Kalisat. Tapi jika sekali saja kita mau meluaskan definisi tentang apa itu wisata, maka negeri kecil semacam Kalisat akan tampak indah lagi berseri-seri.
Di sini, di tanah Kalisat, pernah ada seorang pejuang kemerdekaan yang tak gentar oleh siksaan penjajah. Mereka menggantungnya dalam keadaan terbalik, kaki diatas dan kepala dibawah. Ia disiksa sedemikian rupa, lalu dijatuhkan beberapa kali dari ketinggian hingga kepalanya pecah.
Jika sekali saja kau mau mencoba bertamasya sejarah di lingkunganmu sendiri, maka suatu hari nanti akan kau dapati gambaran masa lalu kotamu yang aduhai, tak tertahankan indahnya.
Itu bukan hape saya, sumpah. Ia milik Bapak. Sengaja saya potret karena teringat Giveaway Cerita Hape Pertama. Tadinya saya akan bercerita seputar Ericsson tipe T10, ia adalah hape pertama yang saya punya. Tapi lha kok barangnya susah dicari. Waktu googling, saya menemukan gambar yang biasa saja, membuat tidak sreg di hati. Ya sudah, akhirnya hape milik Bapak ini yang jadi korban jepretan selfish.
Tak Ada Rock n Roll di Hape Bapak
Dibanding hape jaman sekarang, tentu Nokia 2010 dengan kode NHE-3DN ini berukuran lebih besar. Bobotnya 275 gram. Saya membacanya di Nokia Museum. Lumayan, sewaktu-waktu bisa dijadikan senjata.
Sebenarnya Bapak saya bukan pengguna hape yang aktif. Ini adalah pemberian temannya, sebagai infrastruktur pekerjaan mereka. Lebih tepatnya, untuk melipat jarak. Ketika pekerjaan rampung, hape masih di tangan Bapak. Selain kontak dengan partner kerjanya, tak ada lagi yang Bapak hubungi via hape.
Kini si raksasa keluaran tahun 1994 tersebut sudah beralih fungsi menjadi mainan si Aldin, keponakan saya.
Iya, Bapak memang gagap teknologi. Tapi ia tidak pernah sekalipun iseng, pura-pura nempelin hape ke telinga kemudian bermonolog. Padahal, waktu itu hal konyol tersebut sempat berpotensi menjadi trend di kota kecil kami.
Semisal hape ini dilengkapi dengan memori penyimpan musik, tentu Bapak akan mengisinya dengan lagu-lagu Tetty Kadi, AKA Band dan mungkin Rock n Roll. Kata Bapak, saat ia beranjak remaja di era 1960an, Rock n Roll adalah musik yang sensitif. Pemerintah melarangnya. Sayangnya, fitur hape ini sederhana sekali.
Tak ada Rock n Roll di hape Bapak.
Saya dan Ericsson T10
Maaf, no photo. Tapi saya tidak sedang berbohong.
Di akhir tahun 1997, Indonesia dihinggapi krisis moneter. Harga-harga melambung tinggi, persediaan barang nasional menipis, perusahaan pun bertumbangan. PHK menjadi trending topic. Sejarah mencatat, puncak dari krisis adalah kerusuhan yang meledak di bulan Mei 1998.
Saya dan kawan-kawan segenerasi di Jember juga kena getahnya. Ketika itu kami sedang semangat-semangatnya belajar -maaf- merokok. Harga eceran rokok Gudang Garam Surya 12 yang tadinya hanya 100 rupiah untuk tiga batang, melejit menjadi seratus rupiah per batang. Ah, abaikan saja bagian ini.
Aneh adalah ketika krismon berlalu, orang-orang menjadi semakin terlihat makmur. Ini terjadi antara tahun 1999 - 2000, ditandai dengan booming album perdana Sheila on 7.
Ketika itu saya bekerja di dua bidang. Yang pertama di Sport Cafe, bertempat di jantung kampus Bumi Tegalboto yang ramai. Pekerjaan berikutnya adalah sebagai penjual CD bajakan. Biasanya, siangnya jualan kaset bajakan, malam di cafe. Kedua aktifitas itu membuat saya bertemu banyak orang dengan beragam karakter. Senang rasanya ketika melihat seseorang yang membawa hape.
Waktu itu saya berpikir, pastilah dia orang yang penting.
Tak disangka, beberapa tahun kemudian Kakak perempuan saya membelikan sebuah hape second, Ericsson T10. Saya lupa kepastian tahunnya. Mungkin 2002 atau 2003.
Tadinya saya bingung, buat apa saya pegang hape? Siapa yang harus saya hubungi? Apakah saya harus menjadi pendengar setia sebuah radio kemudian aktif berkirim salam? Tentu tidak, toh masih ada banyak telepon umum dan wartel. Barulah kemudian saya paham. Kakak sedang berkoalisi dengan Almarhummah Ibu, mereka hanya berharap saya sering memberi kabar. Memang, dulu saya nyaris tidak pernah pulang ke rumah.
Kakak membelinya dari Mas Dian putra keluarga Pak Gandi, tetangga kami yang kerjanya memang jadi makelar barang apapun. Dari Mas Dian pula saya dianjurkan untuk beli kartu perdana XL. Maka belilah saya kartu yang dimaksud. Kartu XL di masa itu kemasannya mewah. Ia terkemas dalam wadah bulat seperti wadah kosmetik. Di bagian atas, warnanya bening transparan, berpadu dengan alasnya yang berwarna kuning.
Bersama Ericsson T10 warna merah, saya bingung mau menghubungi siapa.
Hape jadul milik Bapak dan hape pertama milik saya, mereka sama-sama tak mengenal Rock n Roll. Keduanya juga tak dilengkapi kamera. Tapi ia handal dalam hal menyimpan cerita. Tentu bukan dalam bentuk gambar. Kadang saat tak sengaja meliriknya, saya jadi ingat lagu-lagu slow rock di akhir 1990an.
Sedikit Tambahan
Ericsson T10 kini hanya tinggal cerita. Saya lupa bagaimana ending hape tersebut. Yang saya ingat, setelah itu saya lumayan lama tidak pegang hape. Hape berikutnya adalah Siemens M35i.
Hape saya saat ini adalah pemberian sahabat. Ia jarang sekali saya gunakan untuk sarana komunikasi. Justru fitur kameranya --dua mega pixel-- yang lebih sering saya gunakan.
Sebagai penutup, akan saya selipkan penampakan hape yang kini setia menemani saya berburu capung.
Salam Rock n Roll!
Hape Rock n Roll:
Nokia 2700 Classic - Di sini juga tak ada Rock n Roll ding, hehe. Hanya ada lagu-lagu ciptaan saya sendiri.
Ini tentang proses penjurian saya di Lomba Review sebuah novel karya Irma Devita. Tadinya saya sedikit kaget mendengar kata review. Yang ada di kepala adalah sebuah jurnal, hehe. Namun setelah dibicarakan bersama, saya menjadi paham. Review dalam hal ini lebih dekat dengan bahasa blog. Ia lebih sederhana, sesederhana resensi tulisan-tulisan yang menjelaskan isi/gambaran sebuah obyek (buku).
Lalu kami menulis salah satu persyaratan seperti ini:
"Gaya bahasa bebas dan jumlah kata tidak dibatasi. Menulis review novel di blog bukan berarti kita sedang mengerjakan skripsi sarjana sastra dengan bahasa yang baku dan berat. Intinya sih, nyantai dan mudah dipahami."
Tentu saya senang diberi kepercayaan sebagai juri di review novel karya Irma Devita. Menjadi juri review sama artinya dengan membaca sebuah karya dari berbagai sudut pandang. Tercatat ada 59 partisipan. Kesemuanya sedang mengikat makna dari apa yang telah dibaca, untuk kemudian disuguhkan dalam bentuk postingan.
Review dari partisipan nomor urut satu segera menghentak dan menyumbangkan pemikirannya --bagi penulis-- untuk meninjau ulang halaman 122. Partisipan nomor dua, tanpa babibu langsung menyodori kita dengan kalimat yang apik, "Bagaimanapun Sroedji bukan Rambo yang bertempur sendirian."
Bang Aswi memulai paragraf pertamanya dengan sebuah tanya, "Apa hubungan penulis novel dengan blogger-blogger Jember?" Lalu ia melanjutkan review dengan kalimat-kalimat anggun. Disusul kemudian oleh review berikutnya yang tak hanya mencermati maju mundurnya alur novel, namun juga tentang perubahan hidup yang disebabkan oleh datangnya pasukan Jepang. Sari Widiarti, ia terlihat senang mencermati romansa antara Sroedji dan Rukmini, dengan sebuah pasar sebagai latarnya.
Adalah Bunda Lily Suhana yang terbiasa menulis genre humaniora, dalam review novel kali ini ia berani mengikat makna. Memang, banyak diantara partisipan yang (menurut pengakuannya) tidak terbiasa me-review novel, seperti; Faisal, Cak Oyong, Melly Feyadin dan Kang Yayat Sudrajat. Tapi saya salut dengan bagaimana cara mereka meracik postingan.
Oke, lanjut.
Setelah Bunda Lily ada partisipan dengan nomor urut tujuh. Tulisannya diawali dengan menyegarkan kembali ingatan kita pada film Merah Putih yang dibintangi Lukman Sardi. Postingan berjudul 'Berjuang Sampai Mati' adalah partisipan berikutnya. Penyuguhannya yang panjang, disertai foto-foto, membuat kita lebih detail mencermati pesan yang hendak disampaikan. Hal senada juga saya jumpai di tulisan partisipan dengan nomor urut sembilan dan sepuluh. Keduanya dipenuhi dengan sharing informasi.
Saya dibuat terbahak oleh tulisan Cheila, Intan Novriza Kamala Sari dan juga Pungky. Ketiganya sama-sama tidak suka bidang sejarah, namun cara mereka 'membaca ulang' isi novel sungguh manis. Pungky bahkan berani menyampaikan ide cerdas tentang kurangnya sentuhan kronologi sejarah Indonesia diluar 'lingkaran Sroedji.'
Lomba review menjadi semakin semarak sebab pemilik BlogCamp juga turut meramaikan. Tentu ini menjadi sangat unik dan menarik, ketika seorang Purnawirawan Jenderal AD mengulas sejarah militer era revolusi.
Riski Fitriasari, ia memulai kisahnya dari cover novel Sang Patriot. Partisipan nomor 13 atas nama Susi Ernawati atau lebih akrab dipanggil Susindra, saya kira ia berhasil memahami novel dari banyak sisi, untuk kemudian mengolah referensi. Setelahnya ada sang pembuat sketsa dari Jogja. Ia mengingatkan penulis tentang slide story yang terasa padat, sedangkan novel ini hanya setebal 266 halaman. Di urutan 15 akan Anda jumpai sebuah review yang runtut dan sangat menarik, bersanding dengan detailnya pembahasan yang disuguhkan oleh partisipan dengan urutan 16, 19, 20, 21 dan seterusnya.
Salut dengan partisipan seperti pemilik blog Rumah Baca Tulis dan Mugniar's Note. Mereka tak pandai memahami Bahasa Jawa namun bukan berarti kering pemahaman. Ulasannya mengalir renyah. Di urutan 24 ada saya temui pemaparan yang lugas namun rinci, baik dari sisi karya sastra maupun muatan sejarahnya. Melly, Fitri, Pak Azzet dan pemilik blog Rumah Nayma melengkapinya dengan pitutur yang manis.
Sayang sekali, untuk partisipan ke-31 terpaksa harus saya diskualifikasi sejak di penjurian gelombang pertama. Maaf.
Di nomor urut 33 akan kita jumpai tulisan dari Armela Praninditya. Dengan santun, ia menambah deretan panjang mengenai ide atau saran tentang pembuatan catatan kaki untuk istilah-istilah asing. Berikutnya, partisipan ke-34. Menjadi menarik ketika membaca paragraf pertama milik Diana Kusumasari. Ia bercerita tentang JL. Sroedji yang bukan di Kabupaten Jember, melainkan di Kelurahan Ditotrunan, Lumajang. Hal menarik saya temukan juga di tulisan milik Yuniari Nukti. Ia seorang blogger kreatif yang menguasai dialog berbahasa Jawa Timuran, tulisannya padat.
Puloeng Raharjo, Sopyan Al- Nendes dan Damae Wardani, tampaknya mereka menaruh minat yang baik pada bidang sejarah. Sama seperti partisipan nomor 39. Selanjutnya, di tangan seorang blogger bernama pena Pendar Bintang, epos ini melebarkan sayap hingga ke Pulau Dewata.
Luckty Giyan Sukarno, ia rapi sekali membuat tulisan dalam bentuk semacam kolom-kolom, lengkap dengan tampilan ulang dua video yang berkaitan. Review selanjutnya dari Phie, padat berisi. Disusul kemudian oleh tulisan Preman Klender dan Adam Alfarisyi, lalu urutan ke-46. Runtut.
Warga Jember yang rumahnya ada di Jalan dr. Soebandi dan dekat sekali dengan Jalan Moch. Sroedji, ada juga yang turut menyemarakkan. Dialah Kang Sofyan. Setelah Kang Sofyan ada Ila Rizky Nidiana yang mengurai tuntas novel Sang Patriot. Hal menarik ditunjukkan oleh Nurul Fauziah yang membuka tulisannya dengan mencermati judul novel, dibandingkan dengan film yang berkisah tentang Prabowo Subianto. Keduanya memang memiliki judul yang sama --Sang Patriot-- namun tentu saja sama sekali tidak saling berkaitan.
Pemilik blog Story of Icoel menjelaskan dalam tulisannya tentang kegelisahannya pada rasa nasionalisme yang terlihat semakin tak sama lagi. Ia merekomendasikan buku ini untuk semua kalangan. Partisipan nomor 52 tulisannya detail. Dari Nurman, berurutan hingga partisipan terakhir, semuanya menampakkan sisi analisis yang detail. Tentu analisis yang baik akan membantu pembaca yang belum sempat (tidak ada waktu) membaca novel karya Irma Devita. Ohya, hampir lupa. Reni, partisipan nomor 56, ia memberikan banyak sentuhan religi pada ulasannya dan ia berhasil mengemasnya dengan gurih.
Semuanya tampil keren dan berkarakter. Bagi saya, semua adalah pemenang.
Namun, sudah menjadi kesepakatan bersama jika saya harus memilih dan memilah tiga sahabat blogger yang beruntung mendapatkan tali asih. Sebab itu, saya harus melakoni peran sebagai penilai.
Penilaian
Secara esensi, ada dua hal yang saya soroti dalam menilai ulasan sebuah novel. Pertama, tentang penggambaran isi novel tersebut. Berikutnya adalah dalam hal penyajian.
Bicara tentang penyajian, tentu juga termasuk pada kesesuaian dengan tema dan tingkat keterbacaan (diksi, alenia, tanda baca dan hal-hal sederhana yang berkaitan) hingga pembaca mudah menerima pesan yang hendak disampaikan. Akan menjadi lebih menarik jika ulasan dilengkapi perbandingan dengan karya lain, serta memberi penilaian yang kritis.
Bahasa Blogger memiliki karakteristik yang tidak sama dengan Bahasa Akademis. Ia lebih humanis, gurih dan terasa sisi personalnya, namun tetap tampil anggun dan menawan. Ini yang membuat saya melakukan penilaian secara bertahap, lebih dari satu kali membaca.
Terima kasih atas kepercayaannya. Saya melakukannya semampu yang saya bisa.
Pengumuman
Sesuai dengan yang dijanjikan, pada 21 Mei 2014 kami akan mengumumkan siapa saja tiga orang yang beruntung mendapat tali asih dari penulis novel, Irma Devita.
Sesuai kesepakatan, pengumuman tersebut akan dipampangkan di blog milik Uncle Lozz Akbar. Silahkan berkunjung di sana, saya sudah setor tiga nama.
Sedikit Tambahan
Para sahabat blogger, mewakili kawan-kawan yang lain, juga penulis novel, saya haturkan terima kasih. Saya mengerti, niatan sedulur semua adalah tidak sedang berkompetisi, melainkan untuk menyemarakkan acara ini. Menukil istilah Hanna, "Giveaway untuk kebahagiaan," maka seperti itulah adanya.
Sekali lagi, terima kasih. Mohon maaf atas segala kekurangan.