Quantcast
Channel: acacicu
Viewing all articles
Browse latest Browse all 205

Namanya Romey Daniel

$
0
0
"Dipegang militer aja nggak bener apalagi dipegang sama bukan militer," betul kan Mas? Sambil mengemudi, Romey Daniel tampak bersemangat mengatakan itu. Saya diam, tidak berusaha menimpali argumentasi lelaki Jakarta keturunan Batak ini. Sesekali, saya memandang argo yang terus berjalan.

Sebenarnya saya tidak mengenalnya. Mengetahui namanya saja dari identitas karyawan Taksi Express yang terpampang di sisi kiri depan dekat kaca mobil. Romey Daniel, itu dia namanya. Romey adalah lelaki yang mudah sekali diajak bicara. Ketika saya menanyakan pendapatnya tentang bagaimana kinerja Jokowi, dia bilang, Jokowi orang yang baik, dan dia layak diberi waktu untuk menata Jakarta. Tidak baik untuk menempatkan Jokowi sebagai Presiden di saat warga Jakarta masih membutuhkannya. Apalagi, Jokowi orang sipil. Musuh politiknya banyak yang dari militer.

Romey sempat bercerita tentang sosok Almarhum Ayahnya yang seorang Kapten AL. Kiranya inilah alasan kenapa Romey berkata, dipegang militer aja nggak bener apalagi dipegang sama bukan militer. Saya sangat tidak sependapat dengan Romey, tapi entah kenapa, saya sedang tidak bersemangat untuk membicarakan itu. Satu-satunya yang ingin saya lakukan - kemarin - hanyalah menjadi penumpang taksi yang baik, dari Kemanggisan menuju Cempaka Putih.

Jakarta banjir di beberapa titik. Romey tampak sibuk mencari rute terbaik untuk menghindari luapan air. Dia menghindari jalan ke arah Tanah Abang, dan lebih memilih untuk masuk tol Slipi 2. Saya diam pasrah. Sepertinya Dieqy juga begitu. Dia duduk di belakang, sulit untuk mencari tahu bagaimana ekspresi wajahnya.

Masuk gerbang tol, saya merogoh duit 8000 rupiah. Di atas jalan tol itulah Romey kembali bercerita tentang dirinya.

"Saya baru tiga bulan aja sih pegang taksi ini. Enak Mas, sistemnya kredit. Tiap hari saya harus setor 350 ribu. Ntar kalau dah 6 tahun, mobil ini dah jadi milik saya. Plat diganti yang warna item. Ntar pasti orang Jember pada mau beli mobil ini."

"Ohya, Mbak Niken itu siapa Mas? Tadi yang pesen taksi atas nama Mbak Niken kan?"

Lalu saya bercerita pada Romey Daniel tentang dunia blog. Tentang perjumpaan beberapa blogger sebelum saya naik taksi, tentang keluarga Mbak Niken a.k.a Bunda Lahfy, tentang Ami Osar, tentang Mas Ridwan, tentang Mas Taufiq, dan tentang apa yang biasanya ditulis oleh seorang blogger.

"Cobalah untuk membuat blog."

Romey tertawa renyah, dengan pandangan tetap fokus ke depan. Dia senang membaca tapi tidak tertarik untuk menulis.

"Kalau saya senang menulis, pastilah saya akan menjadi penulis. Pertanyaannya sama dengan begini. Kenapa saya jadi sopir taksi? Karena saya hobi nyetir Mas."

Benar. Apapun yang kita kerjakan dengan senang hati pastilah akan mendatangkan kebahagiaan. Lelaki berusia 40an yang senang mengenakan kacamata dan tampil necis ini mengingatkan saya sambil nyetir.

"Kenapa Mas nggak coba menulis dari sini saja? Jakarta kan lebih menjanjikan. Istri bisa ditinggal di Jember sementara waktu. Nanti kalau Mas sudah sukses kan tiap dua minggu sekali bisa PP Jakarta - Jember. Atau sekalian keluarga diboyong di sini. Mas pernah dengar nama Alberthiene? Dia langganan saya. Kemana-mana naik taksi, saya yang anter. Lumayan, sekali kasih duit bisa 400 sampai 500 ribu. Dia itu penulis yang sukses lho. Dia senang menulis biografi orang-orang terkenal. Kabarnya sekarang dia lagi sibuk menulis buku untuk istrinya SBY. Coba deh Mas."

Saya tidak kasih komentar, hanya tersenyum saja.

Selama perjalanan, saya melihat Romey marah beberapa kali. Contoh, ketika ada taksi beda warna yang mencipratkan air ke arah orang-orang di halte. "Juamput! Kurang ajar tuh. Gimana mau dapat rejeki kalau caranya aja nggak bener." Tentu saja saya kaget. Tadi dia bilang juamput. Kok? Kemudian saya menanyakannya. Dari Romey saya mendapat jawaban, dulunya dia pernah kerja antar mobil. Sering keluar kota. Malang, Jogja, Surabaya, dan lain-lain. Oh, pantes. Juamput!

Lengang. Saya memandang Jakarta dari dalam taksi. Di luar sana hujan belum puas menerpa wajah etalase Indonesia ini. Saya merenung. Kalau nggak banjir bukan Jakarta namanya. Benarkah? Ah, tidak. Saya tidak percaya. Masalah ini pasti bisa diselesaikan.

"Jokowi baru menjabat Gubernur, eh banjirnya sudah datang. Cepet banget. Belum lagi mikirin macet."

Lagi, saya hanya diam. Saya berpikir jauh ke belakang, di masa Gubernur Soemarno Sosroatmodjo. Selang sehari dari upacara pelantikan Soemarno sebagai Gubernur Jakarta pada 9 Februari 1960, terjadi banjir besar di Jakarta. Tujuh kelurahan terbenam banjir, dan 40.704 jiwa memerlukan bantuan. Curah hujan tercatat 75 mm dalam dua belas jam. Grogol, daerah perumahan baru, dan tempat tinggal para anggota Parlemen, justru menderita paling parah karena air masuk ke dalam kamar-kamar sampai sepinggang.

Sebelumnya, telah ada rencana pembuatan waduk Pluit sebagai sarana pencegahan banjir, tapi belum terlaksana hingga banjir kembali menerjang. Setelah itu, anggaran dana untuk Pluit mulai ditentukan, bahkan meliputi sarana-sarana lain seperti pengerukan sungai, dimulai dari muara sungai, dari laut naik ke hulu. Kapal keruk pun disediakan. Proyek Pluit sepenuhnya dikerjakan oleh Komando Proyek Pencegahan Banjir Jakarta Raya (Kopro Banjir), sedangkan pemindahan penduduk dilakukan bersama dengan Otorita Pluit. Pengerukan dan pembuatan tanggul Kali Angke pun dikerjakan, begitu pula pembuatan waduk Setiabudi, yang berfungsi sebagai tempat penahan air hujan untuk sementara. Konsekuensinya, waduk yang sedemikian itu secara berkala harus dibersihkan dan dirawat agar kedalamannya tetap, tidak menjadi dangkal. Proyek Pluit meliputi tanah seluas 495 hektar, 105 hektar diantaranya untuk waduk atau danau buatan, yang akan dipergunakan sebagai tempat rekreasi pula, 141 hektar untuk daerah industri, dan 66 hektar untuk tempat kediaman penduduk, terutama untuk penduduk yang tempat pekerjaannya berada di wilayah itu, seperti pabrik, kantor dagang, villa, dan sebagainya.Pembuatan tanggul laut, gedung pompa, saluran Gang Opek, jalan-jalan dan saluran-saluran kecil tercakup pula.

Jika dilihat dari jarak antara pelantikan dan datangnya banjir, tentunya jaman Soemarno lebih parah. Tapi dulu belum ada media online. Tak ada jejaring sosial. Kabar lebih lambat datang ke daerah-daerah. Tidak seperti sekarang, hidup menjadi serba cepat dan sedikit ribet. Bahkan ketika Jokowi jalan-jalan di Monas saja sudah menjadi berita.

Perihal penanganan banjir, barangkali kita bisa mencontoh apa yang dulu pernah dilakukan Soemarno. Tapi saat ini, orang-orang di Jakarta lebih senang membicarakan tentang film Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta setelah Soemarno Sosroatmodjo.

"Jancok!"

Taksi balik arah, menuju pos penjaga. Romey marah-marah pada security yang menjaga pos di Cempaka Putih karena salah memberi informasi tentang JL. Cempaka Putih tengah I, tapi si penjaganya sudah ngacir entah kemana. Saya tak jadi meneruskan perenungan tentang Jakarta tempo dulu. Romey bilang, "Ya begini ini Jakarta Mas, masih ada saja orang yang ngawur memberikan informasi." Dalam hati saya bersyukur, sejak pertama datang, selalu menemukan orang-orang yang ramah dan baik hati, sebaik Romey Daniel.

Saya kirim sms ke Mbak Irma Devita. Saya bilang saya lupa alamat rumahnya. Mbak Irma segera menelepon. Lima menit kemudian, taksi yang dikemudikan Romey berhasil mengantarkan saya dan Dieqy ke tujuan. Kami sedang menuju ke rumah keluarga Ibu Puji, putri bungsu Letkol Moch. Sroedji, orang yang ditokohkan di Jember, yang patungnya ada di pelataran PEMKAB.

Argo sudah saya bayar, tapi Romey tak lekas pergi. Belum ada yang membuka pintu pagar. Bel sudah saya pencet berkali-kali. Romey terlihat khawatir. Sesekali dia melirik kardus yang kami bawa, yang membasah oleh rintik hujan. Ketika saya bilang kami baik-baik saja, barulah Romey melajukan taksinya.

Ternyata mati lampu. Pantas bel tidak berfungsi. Syukurlah tadi saya sudah menghubungi Mbak Irma Devita. Oleh Mbak Irma, kedatangan kami disampaikan ke orang tuanya. Papanya Mbak Irma yang membukakan pintu pagar. Saya jadi sungkan.

"Tadi malam banjir Kim, airnya naik sampai ke lantai," kata Papanya Mbak Irma.

Saya ingat ketika Presiden Soekarno memetakan Cempaka Putih untuk menjadi sebuah kota tersendiri, dimana nanti akan ada villa, warung-warung, serta ruang perbelanjaan di dalam kompleks perumahan. Itu di awal tahun 1960an. Kini Cempaka Putih tampil mentereng. Tapi banjir tetap menyapanya. Setidaknya, akses menuju Cempaka Putih banyak yang terendam banjir. Saya bersyukur pernah menjadi penumpang di taksi yang dikendarai Romey Daniel. Dia handal mencari rute terbaik, dan sama sekali tidak terlihat sedang memolor-molorkan argo. Entahlah, tapi saya mempercayainya.

Semisal Romey punya blog, pastilah menarik. Dia bisa menulis tentang Indonesia dari balik kemudi. Bisa jadi, suatu hari nanti Presiden negeri ini adalah seorang sopir taksi yang berpengalaman, yang paham arah, dan mengerti kemana seharusnya membawa Indonesia.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 205