Quantcast
Channel: acacicu
Viewing all articles
Browse latest Browse all 205

Marjolein van Pagee: Dulu Kakek Seorang Pejuang

$
0
0

Saya, Marjolein, dan Irma Devita. Dokumentasi oleh Dieqy Hasbi Widhana

Senja kemarin, di sebuah cafe di Jalan Antara, Pasar Baru, saya berkenalan dengan Marjolein van Pagee. Mengenakan kaos merah hati berpadu dengan baju lapisan tipis lengan panjang warna putih, dia terlihat anggun. Celana hitamnya tampak ketat seperti celana rocker, serasi dengan sepatu kets warna hitam. Gadis yang lincah, murah senyum, kidal, dan mancung. Melihat penampilannya yang enerjik, siapapun percaya jika dia bersemangat dalam melakukan perburuan tentang masa lalu kakeknya. Tapi ada satu hal yang membuat saya bertanya-tanya. Kenapa Marjolein van Pagee melakukannya? Apakah dia hanya sekedar iseng, ataukah ini yang dinamakan hasrat alami untuk berkenalan dengan hukum keadaan?

"Cepat atau lambat, kau akan rindu ingin mengerti sejarah kampung halamanmu sendiri, sebab itu adalah hukum keadaan."

Saya pernah menuliskan itu di twitter. Itu sudah setengah tahun yang lalu. Kini, saya mendapati gambaran tersebut pada seorang perempuan berambut pirang. Marjolein van Pagee datang ke Indonesia hanya untuk menelusuri sepak terjang kakeknya di era Agresi Militer - 1948 - ketika sang kakek melakoni hidup sebagai prajurit dari pihak Belanda. Tentu saja Marjolein harus ke Indonesia. Di negeri Belanda, cerita perang di jaman van Mook tak pernah diceritakan, dan tidak diajarkan di sekolah-sekolah. Jika mereka melakukan pengakuan tentang aksi polisional tersebut, tentu bakal merugi. Ya, mereka terbukti sedang menggempur sebuah negara yang sudah merdeka.

"Itulah kenapa, pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda adalah pada 27 Desember 1949, bukan pada saat Proklamasi dikumandangkan. Mereka kan nggak mau rugi." Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang Irma Devita, Notaris dan penulis buku-buku bertema hukum, sekaligus pemerhati sejarah di masa Agresi Militer. Pengakuan kedaulatan Indonesia baru dilakukan pada 16 Agustus 2005, oleh Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot. Di tahun yang sama, Jan van Pagee, kakek Marjolein, meninggal dunia.

Pada sang Ayah, Marjolein bertanya tentang kakeknya. Sayang sekali ayahnya hanya tahu bahwa si kakek pernah bekerja di Indonesia tepatnya di Jawa Timur, ketika usia kakek masih 20 tahun. Terlambat, rasa ingin tahu Marjolein van Pagee bertumbuh justru ketika Jan van Pagee telah tiada. Kelak, pada 2010, Marjolein melakukan perjalanan perdana ke Indonesia hanya demi memenuhi panggilan nuraninya. Dua tahun kemudian, dia kembali lagi ke Indonesia. Kunjungan berikutnya adalah saat ini, dimana saya berkesempatan untuk berkenalan dengannya.

Sebenarnya, perkenalan saya dengan seorang Marjolein dimulai pada awal 2011 yang lalu, di sebuah blog milik sahabat dari Jember. Dia biasa dipanggil Ajeng Herliyanti. Dalam catatan berjudul Bangunkan Aku di Bulan September, saya mengenal sosok Marjolein. Saya bahkan sempat berkomentar di sana. Dari situ, saya mulai memahami kenapa dia harus bersusah payah ke Indonesia dan menjadi detektif untuk masa lalu kakeknya sendiri.

Dari Ajeng Herliyanti;

"Saya masih ingat antusiasme Marjolein waktu bercerita tentang proyek ini. Salah satu ceritanya adalah bahwa tentara Belanda dilempari dengan senjata api oleh pribumi dari bukit landai antara Jember - Bondowoso. Yang menarik dari kisah tersebut adalah bahwa setelah kami berjalan pulang pergi melewati Jember - Bondowoso, beberapa bukit atau dataran yang kami jumpai mustahil untuk dijadikan tempat bersembunyi apalagi untuk menembaki Belanda. Tapi tiap ada dataran tinggi dalam perjalanan Jember-Bondowoso, dia tetap mengambil gambar. Kami hanya bisa berdalih, bahwa waktu telah merubah topografi daerah tersebut. Marjolein bersemangat dan terus bercerita kepada saya tentang kakeknya. Dia merasa bahwa kehidupan kakeknya yang belum pernah dia temui adalah juga bagian sejarah dalam hidupnya. Saya kagum dengan cara pandangnya. Kakek saya sendiri bernama Abdul Sukur. Beliau meninggal waktu saya berumur 9 tahun. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang bisa saya ketahui kecuali namanya, dan cerita-cerita tentang falsafah hidupnya dari Ibu saya."

Komentar saya di tulisan Ajeng Herliyanti;

"Tentu saja senang baca artikel ini. Mengingatkan kalau aku mbiyen kuliahe nang Sastra Ilmu Sejarah tapi untuk melacak jejak sejarah keluarga masih kalah jauh sama si Marjolein."

Kisah tentang Marjolein van Pagee sangat inspiratif. Dia semakin membuat saya percaya bahwa sejarah adalah bidang ilmu yang bisa dipelajari oleh semua orang. Hanya saja, institusi pendidikan membuatnya terlihat mahal. Ini belum selesai, sedikit lagi. Saya masih ingin bercerita tentang seseorang bernama Irma Devita.

Dulu Kakek kita seorang pejuang..

Irma Devita kecil nampak bangga ketika mengerti bahwa patung di pelataran PEMKAB Jember adalah sosok kakeknya. Rukmini, nenek Irma Devita, senang sekali menceritakan segala hal tentang suaminya, alias kakek Irma. "Dulu kakekmu seorang pejuang. Dia gugur di medan perang pada 8 Februari 1949, bersama dengan dr. Soebandi dan lain-lain."

"Nek, saat besar nanti, Irma janji akan menuliskan kisah tentang Kakek." Itu diucapkannya bertahun-tahun yang lalu, ketika Irma ada dalam gendongan Neneknya. Kini, ketika Irma Devita telah bertumbuh dewasa, menjadi seorang Ibu untuk Khalida Rachmawati, dia telah hampir merampungkan sebuah buku tentang perjalanan Letkol Moch. Sroedji, Kakeknya. Meski Neneknya telah meninggal hampir 14 tahun yang lalu, tapi Irma Devita tetaplah mewujudkan janji kecil dan mimpinya ketika masih bocah.

Hakekatnya, antara Irma Devita dan Marjolein van Pagee adalah sama. Mereka, dua perempuan yang sama-sama hendak memperlakukan masa lalu sang Kakek, dengan sebenar-benarnya. Bedanya, Kakek Irma Devita ada di pihak Indonesia, sedang Kakek Marjolein di pihak yang berseberangan. Dulu Kakek mereka saling bertempur, saling mengacungkan senjata. Senja kemarin, Irma Devita dan Marjolein van Pagee saling bercanda di suasana yang menyenangkan. Ada sebuah adegan dimana tangan kiri Irma Devita tak sengaja nyampluk cangkir berisi minuman hangat. Duduk di samping kirinya si Marjolein yang sedang melahap mie. Air dalam cangkir pun tumpah, mengenai kemeja Marjolein. Irma Devita sibuk meminta maaf, Marjolein sibuk melempar senyum sambil berkata, it's Ok.

Di waktu yang lain, Irma Devita menerjemahkan banyak hal, baik kepada saya maupun kepada si Marjolein. Sepatah dua patah kata, Marjolein van Pagee mulai bisa mengucapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Saya jadi teringat Janet Steele, seorang profesor perempuan berwarga negara AS yang pandai berbahasa Indonesia. Kiranya, saya juga butuh memahami bahasa mereka.

"Marjolein, bisa jadi dulu Kakek kita saling baku tembak dalam sebuah pertempuran di Jawa Timur."

Marjolein van Pagee manggut-manggut, tersenyum. Lalu kami semua tertawa renyah. Max van Der Werff, seorang peneliti masalah War Crime yang duduk di samping saya, dia juga ikut tertawa. Tidak mudah merangkai sejarah dari dua sisi, duduk dalam satu meja, dan hanya disatukan oleh sebuah bross kecil yang melambangkan bendera Indonesia yang bersanding dengan bendera Belanda. Tapi mereka bisa. Salut buat Ady Setyawan ST, dari Komunitas Roode Brug Soerabaia, dan rekan-rekan lain dari Jakarta, Bandung, Bekasi, dari Jakarta Post, serta yang lain lagi, saya lupa tidak mencatat dari komunitas mana saja mereka.

Mereka berkumpul dan saling menyulam sejarah. Indah sekali.

Sekitar pukul setengah delapan, diskusi tersebut usai. Anhar Gonggong urung datang. Namun salah seorang dari peserta diskusi mengingatkan bahwa diskusi kecil ini tetap mendapat dukungan moral sepenuhnya dari Anhar.

Acara yang bergizi. Senang bisa menjadi bagian diantara mereka. Terima kasih Mbak Irma. Kiranya tepat sekali keputusan saya dan Dieqy untuk menunda kepulangan ke Jember. Untuk Marjolein van Pagee, kawan-kawan Jember menanti kehadiranmu. Kabar baik ini juga telah terdengar oleh Ajeng Herliyanti, orang yang pernah menemanimu melakukan riset hingga ke Bondowoso tiga tahun yang lalu.

"Waktu kita tidak banyak, para penutur sejarah semakin sedikit. Adalah tugas kita untuk melakukan pencatatan sebaik mungkin, dan dengan sebenar-benarnya."

Sudah. Saya dan Dieqy hendak packing. Beberapa saat lagi, kami akan meluncur pulang ke Jember, sebuah kota kecil yang sungainya pernah berwarna merah, di suatu masa yang lampau.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 205