Quantcast
Channel: acacicu
Viewing all articles
Browse latest Browse all 205

Selama di Jakarta

$
0
0

Selama di Jakarta

Turun dari kereta api, saya langsung membatin. Ini dia Pasar Senen, sebuah tempat di sudut Jakarta yang pernah cukup lekat dengan dunia premanisme. Setidaknya dulu, ketika kelompok Cobra pimpinan Bang Pi'i masih melegenda. Pria kelahiran 1923 ini masyhur karena berhasil mengorganisir preman-preman di kawasan Senen. Sosoknya mengingatkan saya pada Robin Hood. Ya, barangkali serupa itu. Bang Pi'i meninggal dunia karena sakit, di usia 47 tahun.

Lalu apa yang Mas Hakim lakukan selama di Pasar Senen?

Mencari si Bagus, kita sudah janjian. Setelah jumpa, lalu kita bertiga ngopi, menikmati malam di antara lalu lalang kendaraan. Ketika Dieqy bilang, "Sebentar lagi Mas Arys nyusul," kami memilih untuk bergeser ke pojok, di areal parkir motor.

Dan?

Dan, tak lama kemudian yang ditunggu datang. Kami berempat, dua motor, meluncur ke khost Arys di Jalan Gajah Mada, tepatnya di daerah Sawah Besar, tak jauh dari Harmoni Central Busway, Jakarta Pusat.

"Wah, itu kan tempatnya kupu-kupu malam menjajakan cinta?"

Arys tertawa mendengar ucapan spontan dari Bagus. Saya melongo, Arys mengangguk mengiyakan. Esok malamnya, ketika melintas sendirian menuju khost si Arys, barulah saya paham apa yang dimaksud. Wew, dunia malam. Mungkin ini ada hubungannya dengan keberadaan Sociëteit Harmonie di masa yang lalu, tempat berkumpulnya orang Belanda untuk cangkruk'an, berdansa dan berpesta. Gedung yang berdiri di awal-awal abad 19 ini pada akhirnya dirobohkan -tahun 1985- demi perluasan jalan dan tempat parkir kantor Sekretariat Negara.

Esok harinya, Fawaz datang menjemput ke Yayasan Pantau, di perempatan Tepekong, dikenal juga dengan daerah Gang Seha. Tepatnya di Jalan Kebayoran Lama 18 CD. Jadilah hari itu saya dan Dieqy meluncur ke Rawa Belong, di rumah keluarga Fawaz. Di sinilah kami berteduh, di tanah si Pitung. Terima kasih, takkan terlupa.

Di hari yang lain, Bagus membawa saya mengelilingi Jakarta dari ujung ke ujung, dengan menunggangi motor bebek merk Jepang. Lihai sekali dia mengendarai motor, maklum sudah hampir delapan tahun dia tinggal di Jakarta. Asalnya dari Banyuwangi. Dia menetap di Jakarta sebab istrinya, Mulianty Deasy, tinggal di kota ini.

"Ojo usreg ae Mas."

Iya, waktu itu sulit bagi saya untuk duduk manis di jok belakang Bagus. Apalagi ketika melewati samping Ancol. Kadang di samping kanan ada truk gandeng, jaraknya dekat sekali dengan motor kami. Saya pikir, semisal kami bersenggolan sedetik saja, maka ceritanya akan menjadi sangat mengenaskan. Ah, rasanya seperti sedang dilirik oleh malaikat pencabut nyawa. Bagaimana bisa duduk tenang?

Pertama kali melewati Sarinah, saya bergumam, "Gedung ini dulu pernah sangat keren." Ya, Sarinah adalah pusat perbelanjaan dan pencakar langit pertama di Jakarta. Dibangun tahun 1963 di atas tanah yang terlalu lembek hingga butuh tiang beton yang panjang, dan baru diresmikan pada empat tahun berikutnya. Kini, bangunan setinggi 74 meter dengan 15 lantai ini tidak ada apa-apanya dibanding bangunan-bangunan baru yang lebih menjulang.

Kadang saya iri dengan Jakarta yang di setiap sudutnya sarat sejarah masa lalu, tak hanya didominasi dengan Kota Tua saja. Tapi saya heran, kenapa Jakarta Raya baru ditetapkan sebagai Ibukota Negara pada 1964?

Bukankah di sana selalu diintai oleh banjir?

Iya. Parah ya. Sebagai etalase sebuah negeri, idealnya Jakarta bebas dari banjir dan kemacetan. Ini penting, agar kita tak minder di pergaulan bangsa-bangsa. Masih ingat cerita dari Om Willy kan? Dia tinggal di Jepang. Setiap kali ada acara kenegaraan, Om Willy hampir selalu menemani mereka sebagai penerjemah. Siapapun dia temani, mulai orang kedutaan hingga Presiden. Katanya, "Utusan dari Indonesia, kalau sudah ada acara kumpul bersama seperti prasmanan, bisa dipastikan mereka akan ngruntel di pojokan dan berbincang-bincang sendiri."

Sangat disayangkan.

Jember bisa bercermin dari Jakarta, untuk tidak mencontoh Rencana Tata Ruang Wilayah yang eksploitatif tanpa mengindahkan kaidah lingkungan. Jika tidak, 20 tahun lagi kota ini mungkin akan menyerupai Jakarta dalam hal bencana dan keruwetan di bidang transportasi.

Jadi, bagaimana kisah selama mengikuti Kelas Jurnalisme Sastrawi?

Wew, Prit, itu tema yang berbeda. Tapi santai saja, sudah ada rencana menuliskannya di lain waktu. Lagi pula, minggu ini kita akan membicarakan itu -Jurnalisme Sastrawi- di acara CLBK on air. Tunggulah, sepertinya akan menjadi obrolan yang sangat menarik.

Yang menyenangkan ketika di Jakarta kemarin, ada kesempatan kopdar dengan rekan-rekan blogger. Awalnya berjumpa dengan Cacak'e Kiki, kemudian Mas Yoswa, kemudian sowan ke rumah Bunda Lily, dilanjut mampir ke rumah Bu Asita, kemudian kopdar rame-rame di rumah Bunda Lahfy; bersama Ami Osar, Mas Ridwan, dan Taufik. Kepada mereka saya bercerita tentang banyak hal, termasuk keterangan data diri saya di lembar absen. Di sana terpampang nama saya, RZ Hakim, dan di kolom keterangan ada tertulis, blogger dari Jember.

Tidak adakah kejadian konyol selama di Jakarta?

Ahaha, tentu saja ada. Jangan sekarang, ceritanya nanti saja. Butuh persiapan mental khusus untuk menuliskannya.

Hmmm, sudah ya.

Silahkan bertanya apa saja di kolom komentar, akan saya jawab semampu yang saya bisa. Terima kasih.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 205