Ketika berangkat menuju Yayasan Pantau di Jakarta, kondisi kesehatan istri saya sedang tidak prima. Asmanya kambuh, diiringi dengan demam tinggi. Empat hari sebelumnya, kami menikmati pergantian tahun hanya dengan saling berbagi kisah di atas kasur. Mulanya saya bimbang, apakah harus mengikuti kelas menulis ataukah membiarkan kesempatan emas itu berlalu begitu saja. Kata Prit, "Mas Hakim harus ikut kelas menulis jurnalisme sastrawi." Ketika saya tanya kenapa, dia bilang, ada saatnya dimana kita butuh meliput sesuatu secara mendalam.
Begitulah, akhirnya saya memecah celengan, packing, dan memutuskan untuk berangkat, berdua dengan Dieqy.
Akhirnya sampai juga di Jakarta, kereta api setia mengantarkan kami dari Jember hingga Stasiun Pasar Senen. Terima kasih untuk Bagus yang menemani ngopi di pelataran stasiun dan turut mengantarkan menuju khost Arys Aditya di Jalan Gajah Mada, tak jauh dari Harmoni Central Busway, Jakarta Pusat. Ohya, sebelum saya lupa, selamat menikah buat Arys Aditya. Tentunya semalam adalah menit-menit yang indah ya Rys, mengawali tidur sebantal dan saling bicara.
Sehari sebelum kelas menulis dimulai, saya dan Dieqy mengunjungi apartemen Andreas Harsono. Di sana ada pesta pernikahan Imam Shofwan dan Della Syahni. "Hai oreng Jember, dekremmah kaberah?" Itu sapaan Andreas Harsono kepada saya ketika kami berjumpa. Saya senang mendengarnya, serasa ada di rumah.
Esoknya adalah waktu berburu bagi saya dan Dieqy. Kami berusaha keras mencari alamat Yayasan Pantau, Jalan Kebayoran Lama 18 CD Lantai 4. Syukurlah, ketemu. Kata orang di dalam angkot, "Nanti turun bareng saya saja Mas, saya juga berhenti di sana, di perempatan tepekong." Tepekong, kamus baru buat saya. Itu adalah nama lain dari klenteng. Tepat di sisi kiri Gedung Pantau, ada sebuah jalan beraspal, namanya Jalan Seha. Dari sini, Gedung Pantau nampak lebih jelas.
Selama mengikuti kelas menulis jurnalisme sastrawi, di setiap jam makan siang, saya senang menghabiskan waktu di lantai lima, lantai paling atas. Ada beberapa kursi tertata acak di sana. Meli Hadjo, Dieqy Hasbi Widhana, Fransiska Asso, Ancotex, Yely, Jackson Ikomou, Dahlan, adalah beberapa rekan sesama peserta kelas menulis yang sama-sama suka nongkrong di lantai lima. Kami adalah sekumpulan ahli hisap yang senang memanfaatkan waktu berkumpul di jam makan siang sembari saling menceritakan keunikan daerah masing-masing.
Kepada mereka, saya sempatkan untuk bercerita tentang acara CLBK on air. "Ini bukan cinta lama bersemi kembali lho ya." Mereka tersenyum.
"Di Jember ada sebuah band indie, namanya tamasya band. Mereka memiliki agenda di luar musik, salah satunya adalah CLBK, singkatan dari Cangkruk'an Lewat Botol Kosong. Tema yang diusung sederhana, adopsi dari apa yang sudah orang-orang lain lakukan. Mereka mengumpulkan sampah berupa botol kosong, kertas bekas, dan lain-lain, untuk kemudian dijual, dan hasilnya digunakan sebagai support sistem di bidang pendidikan. Suatu hari, seorang penyiar RRI Jember bernama Etty Dharmiyantie menawarkan sesuatu yang sulit untuk ditolak, yaitu mengajak kawan-kawan yang aktif di program CLBK untuk mengisi acara Zona Edukasi di Prosatu RRI Jember. Ini kabar yang menyenangkan. Terlebih, Prosatu RRI Jember bisa diakses melalui streaming. Jadi dimanapun berada, kita memiliki kesempatan untuk mendengarkannya. Pada akhirnya, acara Zona Edukasi itu dikenal dengan CLBK on air. Macam-macam yang kami bicarakan di sana, tidak melulu tentang botol kosong. Kadang kami bicara tentang sejarah, kadang mengangkat tema lingkungan, di lain waktu kami menyuarakan tentang isu-isu terkini."
Meli Hadjo, peserta asal Kupang yang terkapar sakit di awal kelas menulis, dia bersedia membantu mengisi acara CLBK on air.
"Tapi kabari dulu ya, kira-kira tema apa yang bisa diangkat menyangkut Kupang. Jadi saya bisa mempersiapkan catatan pendek untuk itu."
Kawan-kawan dari Papua juga bersedia membantu manakala saya menawarkan mereka untuk menceritakan warna warni kota kelahirannya di CLBK on air. Senang sekali. Kelas Pantau bukan hanya membekali saya dengan sebuah cangkul untuk bisa meliput sesuatu secara detail, mendalam, dan setia kepada fakta. Ia juga memperkenalkan saya pada kawan-kawan baru, dengan latar belakang yang unik.
Hari ini, sedianya saya akan mengangkat tema seputar jurnalisme sastrawi di acara CLBK on air. Tadinya saya sempat berpikir, bagaimana caranya memperbincangkan seputar struktur tulisan di radio? Bukankah sulit jika harus menggambarkan secara detail tentang sebuah engine kepenulisan? Di sisi lain, seperti kata Janet Steele, struktur itu penting. Secara teknis, terasa sulit jika harus menceritakan itu dalam bahasa tutur.
Lagi, kali ini Prit berhasil menenangkan saya. "Mengalir saja Mas, seperti biasanya."
Terima kasih Prit. Ya, mengalir saja. Saya dan Dieqy akan menceritakan pengalaman selama mengikuti kelas menulis jurnalisme sastrawi, semoga akan ada manfaatnya juga pada jurnalisme radio.
Teknologi menciptakan metode-metode penulisan baru. Radio juga lahir dari rahim teknologi, mula ditemukan sinyal gelombang, dan kemudian ditransmisikan melalui gelombang data yang kontinyu. Bisa dikatakan, radio adalah kakak kandung sinyal internet. Namun tetap saja ada perbedaan mendasar antara penyampaian pesan lewat media cetak, audiovisual, dan dengan menggunakan bahasa lisan.
Radio adalah media selintas dengar, selintas didengarkan selintas tidak. Ketika menerima pesan dari sebuah radio, pendengar masih bisa melakukan aktivitas yang lain. Misal, sambil menyapu, makan, ngopi, atau bahkan sambil ngobrol dengan rekan. Ini adalah hal yang sulit dilakukan ketika kita menerima asupan informasi dari koran, blog, atau dari media televisi. Tugas radio adalah memindahkan paket fakta di lapangan dalam kemasan pelaporan verbal. Jadi, yang pertama-tama harus dipersiapkan adalah kesiapan penyiar untuk menjadi sahabat terbaik bagi pendengarnya. Kira-kira itu yang ada dalam benak saya.
Bagaimana caranya agar penyiar tidak gugup? Ini adalah dasar yang harus dipertimbangkan. Saya jadi ingat catatan Andreas Harsono yang berjudul; Wartawan, ee, Radio, ee. Di sana dituliskan tentang ketidaksiapan sejumlah orang-orang di media radio ketika harus memproduksi berita.
"Mereka tak siap. Selama setengah abad, radio di Indonesia hanya jadi alat penguasa atau alat cari makan. Radio di Indonesia, identik dengan propaganda ala RRI, atau bermusik ria ala radio swasta."
Penting bagi seorang penyiar radio untuk tidak gugup dalam menyampaikan sesuatu, agar mampu menyampaikan pesan dengan baik dan bisa meyakinkan pendengar. Dengan tingkat kepercayaan diri yang wajar dan tepat, diharapkan penguasaan pada volume suara juga akan menjadi optimal. Volume berpengaruh pada pengucapan yang benar, dan jelas dalam mengungkapkan ide, menguasai intonasi, irama bahasa dan kata, dan memiliki kekuatan suara yang khas. Saya menemukan istilah yang tepat, di sebuah buku berjudul, Jurnalistik radio: menata profesionalisme reporter dan penyiar. Radiogenik, itu dia istilahnya.
Mampukah media radio tampil lebih memikat dan bisa melakukan liputan yang mendalam? Pasti mampu, dan harus. Jika tidak, dia akan ditinggalkan oleh pendengarnya. Saya adalah penikmat dan pencinta radio, tentu saja saya berharap radio tidak hanya menjadi tinggal cerita.
Baiklah, bincang-bincang ini kita sambung lagi di Zona Edukasi CLBK on air.
Salam saya, RZ Hakim.
Begitulah, akhirnya saya memecah celengan, packing, dan memutuskan untuk berangkat, berdua dengan Dieqy.
Akhirnya sampai juga di Jakarta, kereta api setia mengantarkan kami dari Jember hingga Stasiun Pasar Senen. Terima kasih untuk Bagus yang menemani ngopi di pelataran stasiun dan turut mengantarkan menuju khost Arys Aditya di Jalan Gajah Mada, tak jauh dari Harmoni Central Busway, Jakarta Pusat. Ohya, sebelum saya lupa, selamat menikah buat Arys Aditya. Tentunya semalam adalah menit-menit yang indah ya Rys, mengawali tidur sebantal dan saling bicara.
Sehari sebelum kelas menulis dimulai, saya dan Dieqy mengunjungi apartemen Andreas Harsono. Di sana ada pesta pernikahan Imam Shofwan dan Della Syahni. "Hai oreng Jember, dekremmah kaberah?" Itu sapaan Andreas Harsono kepada saya ketika kami berjumpa. Saya senang mendengarnya, serasa ada di rumah.
Esoknya adalah waktu berburu bagi saya dan Dieqy. Kami berusaha keras mencari alamat Yayasan Pantau, Jalan Kebayoran Lama 18 CD Lantai 4. Syukurlah, ketemu. Kata orang di dalam angkot, "Nanti turun bareng saya saja Mas, saya juga berhenti di sana, di perempatan tepekong." Tepekong, kamus baru buat saya. Itu adalah nama lain dari klenteng. Tepat di sisi kiri Gedung Pantau, ada sebuah jalan beraspal, namanya Jalan Seha. Dari sini, Gedung Pantau nampak lebih jelas.
Selama mengikuti kelas menulis jurnalisme sastrawi, di setiap jam makan siang, saya senang menghabiskan waktu di lantai lima, lantai paling atas. Ada beberapa kursi tertata acak di sana. Meli Hadjo, Dieqy Hasbi Widhana, Fransiska Asso, Ancotex, Yely, Jackson Ikomou, Dahlan, adalah beberapa rekan sesama peserta kelas menulis yang sama-sama suka nongkrong di lantai lima. Kami adalah sekumpulan ahli hisap yang senang memanfaatkan waktu berkumpul di jam makan siang sembari saling menceritakan keunikan daerah masing-masing.
Kepada mereka, saya sempatkan untuk bercerita tentang acara CLBK on air. "Ini bukan cinta lama bersemi kembali lho ya." Mereka tersenyum.
"Di Jember ada sebuah band indie, namanya tamasya band. Mereka memiliki agenda di luar musik, salah satunya adalah CLBK, singkatan dari Cangkruk'an Lewat Botol Kosong. Tema yang diusung sederhana, adopsi dari apa yang sudah orang-orang lain lakukan. Mereka mengumpulkan sampah berupa botol kosong, kertas bekas, dan lain-lain, untuk kemudian dijual, dan hasilnya digunakan sebagai support sistem di bidang pendidikan. Suatu hari, seorang penyiar RRI Jember bernama Etty Dharmiyantie menawarkan sesuatu yang sulit untuk ditolak, yaitu mengajak kawan-kawan yang aktif di program CLBK untuk mengisi acara Zona Edukasi di Prosatu RRI Jember. Ini kabar yang menyenangkan. Terlebih, Prosatu RRI Jember bisa diakses melalui streaming. Jadi dimanapun berada, kita memiliki kesempatan untuk mendengarkannya. Pada akhirnya, acara Zona Edukasi itu dikenal dengan CLBK on air. Macam-macam yang kami bicarakan di sana, tidak melulu tentang botol kosong. Kadang kami bicara tentang sejarah, kadang mengangkat tema lingkungan, di lain waktu kami menyuarakan tentang isu-isu terkini."
Meli Hadjo, peserta asal Kupang yang terkapar sakit di awal kelas menulis, dia bersedia membantu mengisi acara CLBK on air.
"Tapi kabari dulu ya, kira-kira tema apa yang bisa diangkat menyangkut Kupang. Jadi saya bisa mempersiapkan catatan pendek untuk itu."
Kawan-kawan dari Papua juga bersedia membantu manakala saya menawarkan mereka untuk menceritakan warna warni kota kelahirannya di CLBK on air. Senang sekali. Kelas Pantau bukan hanya membekali saya dengan sebuah cangkul untuk bisa meliput sesuatu secara detail, mendalam, dan setia kepada fakta. Ia juga memperkenalkan saya pada kawan-kawan baru, dengan latar belakang yang unik.
Hari ini, sedianya saya akan mengangkat tema seputar jurnalisme sastrawi di acara CLBK on air. Tadinya saya sempat berpikir, bagaimana caranya memperbincangkan seputar struktur tulisan di radio? Bukankah sulit jika harus menggambarkan secara detail tentang sebuah engine kepenulisan? Di sisi lain, seperti kata Janet Steele, struktur itu penting. Secara teknis, terasa sulit jika harus menceritakan itu dalam bahasa tutur.
Lagi, kali ini Prit berhasil menenangkan saya. "Mengalir saja Mas, seperti biasanya."
Terima kasih Prit. Ya, mengalir saja. Saya dan Dieqy akan menceritakan pengalaman selama mengikuti kelas menulis jurnalisme sastrawi, semoga akan ada manfaatnya juga pada jurnalisme radio.
Teknologi menciptakan metode-metode penulisan baru. Radio juga lahir dari rahim teknologi, mula ditemukan sinyal gelombang, dan kemudian ditransmisikan melalui gelombang data yang kontinyu. Bisa dikatakan, radio adalah kakak kandung sinyal internet. Namun tetap saja ada perbedaan mendasar antara penyampaian pesan lewat media cetak, audiovisual, dan dengan menggunakan bahasa lisan.
Radio adalah media selintas dengar, selintas didengarkan selintas tidak. Ketika menerima pesan dari sebuah radio, pendengar masih bisa melakukan aktivitas yang lain. Misal, sambil menyapu, makan, ngopi, atau bahkan sambil ngobrol dengan rekan. Ini adalah hal yang sulit dilakukan ketika kita menerima asupan informasi dari koran, blog, atau dari media televisi. Tugas radio adalah memindahkan paket fakta di lapangan dalam kemasan pelaporan verbal. Jadi, yang pertama-tama harus dipersiapkan adalah kesiapan penyiar untuk menjadi sahabat terbaik bagi pendengarnya. Kira-kira itu yang ada dalam benak saya.
Bagaimana caranya agar penyiar tidak gugup? Ini adalah dasar yang harus dipertimbangkan. Saya jadi ingat catatan Andreas Harsono yang berjudul; Wartawan, ee, Radio, ee. Di sana dituliskan tentang ketidaksiapan sejumlah orang-orang di media radio ketika harus memproduksi berita.
"Mereka tak siap. Selama setengah abad, radio di Indonesia hanya jadi alat penguasa atau alat cari makan. Radio di Indonesia, identik dengan propaganda ala RRI, atau bermusik ria ala radio swasta."
Penting bagi seorang penyiar radio untuk tidak gugup dalam menyampaikan sesuatu, agar mampu menyampaikan pesan dengan baik dan bisa meyakinkan pendengar. Dengan tingkat kepercayaan diri yang wajar dan tepat, diharapkan penguasaan pada volume suara juga akan menjadi optimal. Volume berpengaruh pada pengucapan yang benar, dan jelas dalam mengungkapkan ide, menguasai intonasi, irama bahasa dan kata, dan memiliki kekuatan suara yang khas. Saya menemukan istilah yang tepat, di sebuah buku berjudul, Jurnalistik radio: menata profesionalisme reporter dan penyiar. Radiogenik, itu dia istilahnya.
Mampukah media radio tampil lebih memikat dan bisa melakukan liputan yang mendalam? Pasti mampu, dan harus. Jika tidak, dia akan ditinggalkan oleh pendengarnya. Saya adalah penikmat dan pencinta radio, tentu saja saya berharap radio tidak hanya menjadi tinggal cerita.
Baiklah, bincang-bincang ini kita sambung lagi di Zona Edukasi CLBK on air.
Salam saya, RZ Hakim.