Hari telah gelap. Hujan menyapa, bersama angin dan blitz alami. Jalanan licin, motor yang kami tunggangi bukan special engine. Saya pandangi Prit, dia kedinginan. Lalu kami turun, misi gagal.
Boleh jadi kemarin saya gagal membawa Prit mengecup Pantai Bandealit. Ya, waktu itu saya terlalu santai hingga lupa memperhitungkan waktu dan kondisi alam. Tiba-tiba senja semakin berwarna jingga pekat, langit terlihat mendung. Bersantai ria sambil menikmati kopi dari termos kecil membuat kami belum lagi melewati portal Taman Nasional Meru Betiri.
Saya memutuskan untuk kembali pulang. Tadinya Prit nampak kecewa, sambil sesekali memandang tas bercover kuning. Saya mengerti, dia sudah bersusah payah packing logistik dan beberapa hal penunjang kenyamanan perjalanan, eh tidak tahunya misi gagal. Kepadanya saya ucapkan kata maaf. Bagaimanapun, saya tidak ingin pengalaman beberapa tahun yang lalu kembali terulang, ketika saya, Prit, Korep, dan Kernet, kami berempat mengalami perjumpaan dengan rombongan banteng liar. Ketika itu, hari telah senja tua, sekitar pukul enam. Kami sudah ada di dalam Taman Nasional Meru Betiri, beberapa orang di kampung terakhir melarang kami untuk terus menerobos menuju pantai. Kalaupun harus ke pantai, lebih baik menunggu sampai pukul tujuh atau delapan malam.
"Akhir-akhir ini banteng banyak yang turun Mas, biasanya jam segini. Alase wes dibabat, panganane kewan melu kebabat."
Saya ngeyel. Yang saya pikirkan hanya satu, lampu motor mati dan kami harus terus bergerak. Mereka benar, kami yang salah. Kami berjumpa dengan hewan bernama latin Bos javanicus ini. Itu adalah detik-detik yang keren, saya tidak mau mengulangnya lagi. Termasuk tak mau mengulang kesalahan melanggar Kode Etik Pencinta Alam Indonesia poin empat, tentang menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar.
Selanjutnya..
Kami pulang, menerobos jalanan hutan produksi. Tak lama kemudian ketika hari benar-benar telah menggelap, hujan turun dengan seksinya. Menguap sudah mimpi untuk menjenguk Diklatsar OPA SWAPENKA. Yang tertinggal hanya dingin, lapar, dan rindu kopi.
Kali ini perjalanan harus benar-benar menarik, batin saya.
Saya, Prit, dan Budi. Kami bertiga menikmati malam, jalan kaki dari rumah menuju alun-alun Jember. Jaraknya hampir delapan kilometer. Sepanjang perjalanan kami nikmati dengan saling bicara, bercanda, kadang terlibat guyonan saling dorong.
Melintasi Jalan Moch. Sroedji, ingatan saya langsung melayang pada kisah pertempuran Karang Kedawung, dimana banyak pejuang yang gugur, termasuk Letkol Moch. Sroedji dan Letkol dr. Soebandi. Itu sudah 65 tahun yang lalu. Kurang dari 100 jam lagi, kita akan memperingati kejadian itu, tragedi 8 Februari 1949. Tiga hari setelahnya juga ada pertempuran antara pihak Belanda dengan Pasukan Mobrig di desa Jumerto, kini kita mengenal monumennya dengan nama Palagan Jumerto.
Setelah Jalan Moch. Sroedji, kami masih harus melewati Jalan PB. Soedirman. Iseng saya merenungkan sesuatu. Hari ini enam puluh lima tahun yang lalu, Pak Dirman ada dimana ya? Apakah beliau masih ada di desa Nogosari Pacitan? Entahlah, saya benar- benar lupa. Dalam hal angka tahun dan pemetaan, sejarah memang tampak sangat menyebalkan.
Sesampai di alun-alun Jember, kami berjumpa dengan Edo dan Manda, duo rekan yang kemarin masuk lima besar finalis Eagle Award. Awalnya kami enggan bergabung sebab di sana juga ada orang tua Edo. Tampaknya mereka sedang memperbincangkan sesuatu. Namun ternyata tak lama kemudian Ayah Ibu Edo pulang. Alhasil, kami nongkrong di seberang patung Letkol Moch. Sroedji, bersama Edo dan Manda.
"Mas, lapar."
Prit lapar, forum bubar, hehe. Edo dan Manda bergeser entah kemana. Sementara saya, Prit, dan Budi meneruskan jalan kaki. Kali ini menuju Wetan Pasar dekat Johar Plasa, Prit kangen ngemplok sate usus. Setelah melewati jalan terpendek di Jember -Jalan Sudarman- kami memilih untuk belok kiri, membelah Jalan Kartini, kemudian belok kanan mengikuti Jalan Gatot Subroto, belok kiri menusuri Jalan Diponegoro, kemudian sampai di Johar Plasa. Ketika kami sampai di warung tempat jualan sate usus, toko-toko sudah pada tutup. Banyak gadis penjaga toko yang hendak pulang, mampir dulu di warung untuk beli sate usus.
"Di sini sate usus yang nggak pakai njeroan, harganya cuma 500 rupiah Mas."
Prit tampak senang. Kami kembali menyusuri Jalan Diponegoro, lurus hingga menjumpai Jalan Raya Sultan Agung. Sepi. Ketika saya menendang sampah botol air mineral merk Aqua, suaranya terdengar nyaring. Lalu saya memungutnya, menaruhnya di tepi trotoar, berharap ada pemulung yang membopong botol itu dengan penuh kasih sayang. Atau, barangkali ada petinggi perusahaan yang kebetulan lewat, ia wajib memungutnya.
Melewati pertigaan Jalan Fatahilah dari arah Jalan Sultan Agung, Prit minta istirahat. Rupanya dia kelelahan. Saya menawarinya untuk naik angkutan, dia menggeleng. Prit memang tidak kuat, tapi merasa kuat. Bagi saya, itu saja sudah cukup.
Sambil beristirahat, saya memotret toko es krim domino yang sudah tutup. Dulu sekali ketika masih bocah, saya pernah diajak kemari oleh keluarga Ibu dari Banyuwangi. Kata Tante Yun, sewaktu dia masih kecil juga pernah diajak menikmati es krim domino. Sudah lama sekali.
Tak jauh dari es krim domino, ada toko roti & kue sentral. Tentunya juga sudah tutup. Saya memandangnya. Wew, cat ruko sentral yang masih berupa kayu, kini diperbarui, warnanya kuning dan lebih menyala. Yang punya toko ini adalah adik kandung pemain sepak bola ternama, Tee San Liong. Ia adalah kesukaan Bapak.
Prit rupanya terlalu lelah, dan lapar! Saya segera berinisiatif untuk mengajaknya beli putu di tempat Pak Parno, yang jaraknya hanya beberapa langkah saja. Toko-toko dan warung lain sudah tutup. Warung soto Dahlok di seberang lapak putu juga tutup. Hanya lapak Pak Suparno yang buka. Itupun juga mau tutup. Kami adalah pembeli terakhir.
Ohya, Anda tahu kan apa itu putu? Putu adalah jajanan tradisional, dengan bahan dominasi berupa beras ketan. Bahan-bahan lain adalah parutan kelapa, santan, dan gula merah. Rangkaian bahan ini kemudian diolah jadi satu, lalu ditaruh dalam potongan bambu, dan dipanaskan. Proses memanaskannya bisa dilihat di foto berikut ini.
Foto di atas saya jepret dengan menggunakan kamera hape, maaf jika tidak sangat terang. Kembali ke putu hasil racikan Pak Parno. Entah bagaimana awalnya saya lupa, tiba-tiba kami sudah terlibat pembicaraan akrab.
"Asliku Solo. Teko mrene pas awakmu durung lahir. Kiro-kiro pertengahan tahun 1950an opo awakmu wes lahir? Jaman semono, rego tiket kereto Solo - Jember mung seket rupiah. Kuwi aku sik bujang."
Prit melongo kala mendengar era 1950an harga tiket kereta api Solo - Jember hanya 50 rupiah saja. Dibandingkan dengan harga putu yang persatunya 700 rupiah, tentu saja dia terheran. Tapi itu dulu. Dan lagi menurut Pak Parno, kereta api yang ia naiki bukan yang kereta diesel.
"Sepure sepur kluthuk, lokomotife metu beluk'e."
Tatkala melayani kami menyiapkan sepuluh potong putu, Pak Parno tidak sendirian. Ada seorang perempuan paruh baya yang membantunya. Tadinya saya kira, itu adalah istri Pak Parno. Ketika saya tanyakan itu, beliau terkekeh pelan.
"Aku nduwe anak loro, lha iki anakku sing ragil."
Kata Pak Parno, beliau lahir tahun 1937. Saya tidak percaya sepenuhnya, sebab ia terlihat bugar. Tapi ketika kembali melihat putri bungsunya, saya mengerti Pak Parno tidak sedang berbohong.
Ketika putu sudah mulai dibungkus, datang seorang lelaki mengendarai motor. Dia tidak segera ke lapak Pak Parno, melainkan bercakap-cakap dengan Abang becak di dekat kami. Saya tidak sadar jika si Abang becak sudah terbangun. Tadinya dia sedang tidur melungker di atas becaknya. Sayup-sayup saya turut mendengar apa yang diucapkan lelaki bermotor tersebut. Intinya, telah ditemukan sesosok mayat lelaki di belakang kemudi mobil pick up, di sekitaran Jalan Samanhudi, wilayah Pasar Tanjung.
Innalillahi Wa Innailaihi Roji'un
Entah siapa lelaki tersebut, saya tidak tahu. Hal berikutnya yang kami lakukan adalah membayar putu. Pak Parno tampak kebingungan mencarikan kami uang kembalian. Kemudian saya berkata, "Besok saja saya kesini lagi Pak, susuk'e salap mriki mawon." Pak Parno tersenyum, kami berlalu.
Tepat di Nol Kilometer Jember, kami berhenti. Istirahat. Menyelonjorkan kaki sambil menyantap putu yang masih panas. Benar juga kata Nuran, bagian yang paling menyenangkan dari memakan jajanan tradisional putu adalah lelehan gula merah yang mencair. Nuran pernah menuliskan hal yang sama, tentang putu Pak Suparno. Di tulisannya, putu Pak Parno dimulai sejak 1956. Saya lupa tidak menanyakan itu pada Pak Parno. Jika benar, berarti ia memulai usahanya sejak berusia 19 tahun. Benar-benar patut dicontoh kesetiaannya kepada proses.
Lama sekali kami nongkrong di Nol Kilometer Jember. Suasananya nyaman. Tapi bagaimanapun kami harus pulang. Kami segera berkemas, lalu kembali melangkahkan kaki. Berjarak sekitar dua kilo kemudian, kami berhenti di sebuah warung yang berjualan soto. Waktunya pesta soto. Menyenangkan makan soto di Warung Jambu, tak jauh dari Rumah Sakit DKT.
"Dulu persis di seberang sana kan ada bakso tens ya Mas?"
Saya menjawab pertanyaan Prit dengan mengangguk. Benar kata Prit, di seberang sana dulunya ada bakso tens atau bakso tenes, lalu membuka cabang di seberang, atau tepat di samping Warung Jambu. Bakso ini pernah sangat populer, sayang kini hanya tinggal cerita.
Perjalanan pulang selanjutnya, kami merayap pelan, sebentar-sebentar istirahat. Istirahat terlama di warung kopi Pak Agus, dekat Polsek Patrang. Ini acara ngopi yang tidak direncanakan sama sekali. Dimulai dari Prit yang tiba-tiba ndeprok selonjor di pelataran toko Yok Muda, di seberang warung kopi Pak Agus. Ya sudah, kita ngopi dulu sambil nyamil tempe goreng, hehe.
Di sisi kiri warung Pak Agus ada warnet, rupanya Bang Korep lagi online di sana. Lalu dia gabung ngopi, pulangnya jalan kaki bareng menuju panaongan.
Ketika pulang, hari sudah memasuki 5 Februari 2014 dini hari. Berjarak sekitar 300 meter dari warung kopi Pak Agus, mata kami tertuju pada sebuah dompet yang tergeletak di tepi jalan. Warnanya hitam, model dompet perempuan. Dompet itu kami bawa pulang.
Sesampai di rumah, kami masih berbincang beberapa hal, baru kemudian teringat akan nasib dompet warna hitam. Prit membongkar isi dompet, berharap menemukan jejak nomor hape di sana. Sayang, tak ada tanda-tanda nomor hape di sana. Di dalam dompet terdapat sejumlah uang, KTP, ATM BRI, dan beberapa kartu lain. Pemilik dompet atas nama Lidia Kando Alifatun Hasanah. Beralamat di KP. Gudang, RT 003 RW 001, Kel/Desa Pesisir, Kecamatan Besuki. Tidak ada nomor rumah atau sesuatu yang lebih rinci. Ini sedikit membingungkan, sebab kami tak tahu dimana itu KP. Gudang.
Ada yang menarik di dalam dompet, yaitu selembar surat kehilangan dari Polsek Besuki. Isinya seputar pengaduan barang hilang berupa dompet. Itu terjadi pada 9 Maret 2011. Ternyata Lidia Kando gemar sekali kehilangan dompet.
Saya mencoba mencarinya di mesin pencari, dan mencocokkan namanya di jejaring sosial. Nihil, nama pemilik dompet tidak dikenal oleh mesin pencari. Kabar baiknya, di sebuah kwitansi diketahui Lidia Kando adalah mahasiswi Fikes UNMUH Jember angkatan 2010.
"Nanti kalau tidak ada informasi dari sosmed, kita bisa lapor ke BRI Mas. Kita serahkan ATM Lidia Kando, nanti biar pihak BRI yang menghubungi via telepon." Penjelasan Prit cukup menenangkan.
Kami mengumumkan informasi dompet tersebut lewat jejaring sosial facebook, dengan menggunakan akun milik tamasya band. Tak berapa lama, informasi tersebut segera tersebar kemana-mana. Di halaman facebook Komunitas Orang Jember, ada tertulis komentar dari akun bernama Liamsi Kifuat. Dia bilang, "Tanya Jamal Mirdad, mungkin dia kenal."
Syukurlah, beberapa jam kemudian ada sms masuk, dia mengaku bernama Lidia Kando, si empunya dompet. Semoga sebentar lagi kami bisa berjumpa.
Sampai di sini dulu kisah perjalanan semalam. Merdeka!
Sedikit Tambahan
Jika Anda seorang jurnalis, atau sedang mendalami dunia jurnalistik, sangat tidak disarankan menulis dengan gaya bebas seperti di atas. Selain tidak fokus, saya memuat tema yang banyak dalam satu posting. Sebab jika kita fokus, tulisan ini akan bisa dipilah-pilah menjadi lebih dari lima artikel.
Dunia blog adalah dunia menulis dengan kebebasan yang lebih luas, tidak melulu tentang 5w 1h meskipun tetap ada di dasar-dasar etika yang sama. Dibanding tulisan jurnalistik, blog lebih bersifat personal, ibarat buku harian. Tulisan blog, tentu saja tetap bisa dituliskan dengan metode jurnalistik jika si empunya blog merasa butuh menggunakan gaya itu.
Artikel ini diterbitkan sebagai contoh tulisan blog untuk dibicarakan besok, 6 Februari 2014, dalam acara Celoteh Tamu RRI. Sedianya, saya dan istri akan menyemarakkan acara tersebut.
Salam saya, RZ Hakim
Boleh jadi kemarin saya gagal membawa Prit mengecup Pantai Bandealit. Ya, waktu itu saya terlalu santai hingga lupa memperhitungkan waktu dan kondisi alam. Tiba-tiba senja semakin berwarna jingga pekat, langit terlihat mendung. Bersantai ria sambil menikmati kopi dari termos kecil membuat kami belum lagi melewati portal Taman Nasional Meru Betiri.
Saya memutuskan untuk kembali pulang. Tadinya Prit nampak kecewa, sambil sesekali memandang tas bercover kuning. Saya mengerti, dia sudah bersusah payah packing logistik dan beberapa hal penunjang kenyamanan perjalanan, eh tidak tahunya misi gagal. Kepadanya saya ucapkan kata maaf. Bagaimanapun, saya tidak ingin pengalaman beberapa tahun yang lalu kembali terulang, ketika saya, Prit, Korep, dan Kernet, kami berempat mengalami perjumpaan dengan rombongan banteng liar. Ketika itu, hari telah senja tua, sekitar pukul enam. Kami sudah ada di dalam Taman Nasional Meru Betiri, beberapa orang di kampung terakhir melarang kami untuk terus menerobos menuju pantai. Kalaupun harus ke pantai, lebih baik menunggu sampai pukul tujuh atau delapan malam.
"Akhir-akhir ini banteng banyak yang turun Mas, biasanya jam segini. Alase wes dibabat, panganane kewan melu kebabat."
Saya ngeyel. Yang saya pikirkan hanya satu, lampu motor mati dan kami harus terus bergerak. Mereka benar, kami yang salah. Kami berjumpa dengan hewan bernama latin Bos javanicus ini. Itu adalah detik-detik yang keren, saya tidak mau mengulangnya lagi. Termasuk tak mau mengulang kesalahan melanggar Kode Etik Pencinta Alam Indonesia poin empat, tentang menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar.
Selanjutnya..
Kami pulang, menerobos jalanan hutan produksi. Tak lama kemudian ketika hari benar-benar telah menggelap, hujan turun dengan seksinya. Menguap sudah mimpi untuk menjenguk Diklatsar OPA SWAPENKA. Yang tertinggal hanya dingin, lapar, dan rindu kopi.
Kali ini perjalanan harus benar-benar menarik, batin saya.
Saya, Prit, dan Budi. Kami bertiga menikmati malam, jalan kaki dari rumah menuju alun-alun Jember. Jaraknya hampir delapan kilometer. Sepanjang perjalanan kami nikmati dengan saling bicara, bercanda, kadang terlibat guyonan saling dorong.
Melintasi Jalan Moch. Sroedji, ingatan saya langsung melayang pada kisah pertempuran Karang Kedawung, dimana banyak pejuang yang gugur, termasuk Letkol Moch. Sroedji dan Letkol dr. Soebandi. Itu sudah 65 tahun yang lalu. Kurang dari 100 jam lagi, kita akan memperingati kejadian itu, tragedi 8 Februari 1949. Tiga hari setelahnya juga ada pertempuran antara pihak Belanda dengan Pasukan Mobrig di desa Jumerto, kini kita mengenal monumennya dengan nama Palagan Jumerto.
Setelah Jalan Moch. Sroedji, kami masih harus melewati Jalan PB. Soedirman. Iseng saya merenungkan sesuatu. Hari ini enam puluh lima tahun yang lalu, Pak Dirman ada dimana ya? Apakah beliau masih ada di desa Nogosari Pacitan? Entahlah, saya benar- benar lupa. Dalam hal angka tahun dan pemetaan, sejarah memang tampak sangat menyebalkan.
Sesampai di alun-alun Jember, kami berjumpa dengan Edo dan Manda, duo rekan yang kemarin masuk lima besar finalis Eagle Award. Awalnya kami enggan bergabung sebab di sana juga ada orang tua Edo. Tampaknya mereka sedang memperbincangkan sesuatu. Namun ternyata tak lama kemudian Ayah Ibu Edo pulang. Alhasil, kami nongkrong di seberang patung Letkol Moch. Sroedji, bersama Edo dan Manda.
"Mas, lapar."
Prit lapar, forum bubar, hehe. Edo dan Manda bergeser entah kemana. Sementara saya, Prit, dan Budi meneruskan jalan kaki. Kali ini menuju Wetan Pasar dekat Johar Plasa, Prit kangen ngemplok sate usus. Setelah melewati jalan terpendek di Jember -Jalan Sudarman- kami memilih untuk belok kiri, membelah Jalan Kartini, kemudian belok kanan mengikuti Jalan Gatot Subroto, belok kiri menusuri Jalan Diponegoro, kemudian sampai di Johar Plasa. Ketika kami sampai di warung tempat jualan sate usus, toko-toko sudah pada tutup. Banyak gadis penjaga toko yang hendak pulang, mampir dulu di warung untuk beli sate usus.
"Di sini sate usus yang nggak pakai njeroan, harganya cuma 500 rupiah Mas."
Prit tampak senang. Kami kembali menyusuri Jalan Diponegoro, lurus hingga menjumpai Jalan Raya Sultan Agung. Sepi. Ketika saya menendang sampah botol air mineral merk Aqua, suaranya terdengar nyaring. Lalu saya memungutnya, menaruhnya di tepi trotoar, berharap ada pemulung yang membopong botol itu dengan penuh kasih sayang. Atau, barangkali ada petinggi perusahaan yang kebetulan lewat, ia wajib memungutnya.
Melewati pertigaan Jalan Fatahilah dari arah Jalan Sultan Agung, Prit minta istirahat. Rupanya dia kelelahan. Saya menawarinya untuk naik angkutan, dia menggeleng. Prit memang tidak kuat, tapi merasa kuat. Bagi saya, itu saja sudah cukup.
Sambil beristirahat, saya memotret toko es krim domino yang sudah tutup. Dulu sekali ketika masih bocah, saya pernah diajak kemari oleh keluarga Ibu dari Banyuwangi. Kata Tante Yun, sewaktu dia masih kecil juga pernah diajak menikmati es krim domino. Sudah lama sekali.
Tak jauh dari es krim domino, ada toko roti & kue sentral. Tentunya juga sudah tutup. Saya memandangnya. Wew, cat ruko sentral yang masih berupa kayu, kini diperbarui, warnanya kuning dan lebih menyala. Yang punya toko ini adalah adik kandung pemain sepak bola ternama, Tee San Liong. Ia adalah kesukaan Bapak.
Prit rupanya terlalu lelah, dan lapar! Saya segera berinisiatif untuk mengajaknya beli putu di tempat Pak Parno, yang jaraknya hanya beberapa langkah saja. Toko-toko dan warung lain sudah tutup. Warung soto Dahlok di seberang lapak putu juga tutup. Hanya lapak Pak Suparno yang buka. Itupun juga mau tutup. Kami adalah pembeli terakhir.
Ohya, Anda tahu kan apa itu putu? Putu adalah jajanan tradisional, dengan bahan dominasi berupa beras ketan. Bahan-bahan lain adalah parutan kelapa, santan, dan gula merah. Rangkaian bahan ini kemudian diolah jadi satu, lalu ditaruh dalam potongan bambu, dan dipanaskan. Proses memanaskannya bisa dilihat di foto berikut ini.
Jajanan Tradisional Putu - Dokumentasi Pribadi
Foto di atas saya jepret dengan menggunakan kamera hape, maaf jika tidak sangat terang. Kembali ke putu hasil racikan Pak Parno. Entah bagaimana awalnya saya lupa, tiba-tiba kami sudah terlibat pembicaraan akrab.
"Asliku Solo. Teko mrene pas awakmu durung lahir. Kiro-kiro pertengahan tahun 1950an opo awakmu wes lahir? Jaman semono, rego tiket kereto Solo - Jember mung seket rupiah. Kuwi aku sik bujang."
Prit melongo kala mendengar era 1950an harga tiket kereta api Solo - Jember hanya 50 rupiah saja. Dibandingkan dengan harga putu yang persatunya 700 rupiah, tentu saja dia terheran. Tapi itu dulu. Dan lagi menurut Pak Parno, kereta api yang ia naiki bukan yang kereta diesel.
"Sepure sepur kluthuk, lokomotife metu beluk'e."
Tatkala melayani kami menyiapkan sepuluh potong putu, Pak Parno tidak sendirian. Ada seorang perempuan paruh baya yang membantunya. Tadinya saya kira, itu adalah istri Pak Parno. Ketika saya tanyakan itu, beliau terkekeh pelan.
"Aku nduwe anak loro, lha iki anakku sing ragil."
Kata Pak Parno, beliau lahir tahun 1937. Saya tidak percaya sepenuhnya, sebab ia terlihat bugar. Tapi ketika kembali melihat putri bungsunya, saya mengerti Pak Parno tidak sedang berbohong.
Ketika putu sudah mulai dibungkus, datang seorang lelaki mengendarai motor. Dia tidak segera ke lapak Pak Parno, melainkan bercakap-cakap dengan Abang becak di dekat kami. Saya tidak sadar jika si Abang becak sudah terbangun. Tadinya dia sedang tidur melungker di atas becaknya. Sayup-sayup saya turut mendengar apa yang diucapkan lelaki bermotor tersebut. Intinya, telah ditemukan sesosok mayat lelaki di belakang kemudi mobil pick up, di sekitaran Jalan Samanhudi, wilayah Pasar Tanjung.
Innalillahi Wa Innailaihi Roji'un
Entah siapa lelaki tersebut, saya tidak tahu. Hal berikutnya yang kami lakukan adalah membayar putu. Pak Parno tampak kebingungan mencarikan kami uang kembalian. Kemudian saya berkata, "Besok saja saya kesini lagi Pak, susuk'e salap mriki mawon." Pak Parno tersenyum, kami berlalu.
Tepat di Nol Kilometer Jember, kami berhenti. Istirahat. Menyelonjorkan kaki sambil menyantap putu yang masih panas. Benar juga kata Nuran, bagian yang paling menyenangkan dari memakan jajanan tradisional putu adalah lelehan gula merah yang mencair. Nuran pernah menuliskan hal yang sama, tentang putu Pak Suparno. Di tulisannya, putu Pak Parno dimulai sejak 1956. Saya lupa tidak menanyakan itu pada Pak Parno. Jika benar, berarti ia memulai usahanya sejak berusia 19 tahun. Benar-benar patut dicontoh kesetiaannya kepada proses.
Lama sekali kami nongkrong di Nol Kilometer Jember. Suasananya nyaman. Tapi bagaimanapun kami harus pulang. Kami segera berkemas, lalu kembali melangkahkan kaki. Berjarak sekitar dua kilo kemudian, kami berhenti di sebuah warung yang berjualan soto. Waktunya pesta soto. Menyenangkan makan soto di Warung Jambu, tak jauh dari Rumah Sakit DKT.
"Dulu persis di seberang sana kan ada bakso tens ya Mas?"
Saya menjawab pertanyaan Prit dengan mengangguk. Benar kata Prit, di seberang sana dulunya ada bakso tens atau bakso tenes, lalu membuka cabang di seberang, atau tepat di samping Warung Jambu. Bakso ini pernah sangat populer, sayang kini hanya tinggal cerita.
Perjalanan pulang selanjutnya, kami merayap pelan, sebentar-sebentar istirahat. Istirahat terlama di warung kopi Pak Agus, dekat Polsek Patrang. Ini acara ngopi yang tidak direncanakan sama sekali. Dimulai dari Prit yang tiba-tiba ndeprok selonjor di pelataran toko Yok Muda, di seberang warung kopi Pak Agus. Ya sudah, kita ngopi dulu sambil nyamil tempe goreng, hehe.
Di sisi kiri warung Pak Agus ada warnet, rupanya Bang Korep lagi online di sana. Lalu dia gabung ngopi, pulangnya jalan kaki bareng menuju panaongan.
Ketika pulang, hari sudah memasuki 5 Februari 2014 dini hari. Berjarak sekitar 300 meter dari warung kopi Pak Agus, mata kami tertuju pada sebuah dompet yang tergeletak di tepi jalan. Warnanya hitam, model dompet perempuan. Dompet itu kami bawa pulang.
Sesampai di rumah, kami masih berbincang beberapa hal, baru kemudian teringat akan nasib dompet warna hitam. Prit membongkar isi dompet, berharap menemukan jejak nomor hape di sana. Sayang, tak ada tanda-tanda nomor hape di sana. Di dalam dompet terdapat sejumlah uang, KTP, ATM BRI, dan beberapa kartu lain. Pemilik dompet atas nama Lidia Kando Alifatun Hasanah. Beralamat di KP. Gudang, RT 003 RW 001, Kel/Desa Pesisir, Kecamatan Besuki. Tidak ada nomor rumah atau sesuatu yang lebih rinci. Ini sedikit membingungkan, sebab kami tak tahu dimana itu KP. Gudang.
Ada yang menarik di dalam dompet, yaitu selembar surat kehilangan dari Polsek Besuki. Isinya seputar pengaduan barang hilang berupa dompet. Itu terjadi pada 9 Maret 2011. Ternyata Lidia Kando gemar sekali kehilangan dompet.
Saya mencoba mencarinya di mesin pencari, dan mencocokkan namanya di jejaring sosial. Nihil, nama pemilik dompet tidak dikenal oleh mesin pencari. Kabar baiknya, di sebuah kwitansi diketahui Lidia Kando adalah mahasiswi Fikes UNMUH Jember angkatan 2010.
Lidia Kando Alifatun Hasanah - Repro oleh Faisal Korep
"Nanti kalau tidak ada informasi dari sosmed, kita bisa lapor ke BRI Mas. Kita serahkan ATM Lidia Kando, nanti biar pihak BRI yang menghubungi via telepon." Penjelasan Prit cukup menenangkan.
Kami mengumumkan informasi dompet tersebut lewat jejaring sosial facebook, dengan menggunakan akun milik tamasya band. Tak berapa lama, informasi tersebut segera tersebar kemana-mana. Di halaman facebook Komunitas Orang Jember, ada tertulis komentar dari akun bernama Liamsi Kifuat. Dia bilang, "Tanya Jamal Mirdad, mungkin dia kenal."
Syukurlah, beberapa jam kemudian ada sms masuk, dia mengaku bernama Lidia Kando, si empunya dompet. Semoga sebentar lagi kami bisa berjumpa.
Sampai di sini dulu kisah perjalanan semalam. Merdeka!
Sedikit Tambahan
Jika Anda seorang jurnalis, atau sedang mendalami dunia jurnalistik, sangat tidak disarankan menulis dengan gaya bebas seperti di atas. Selain tidak fokus, saya memuat tema yang banyak dalam satu posting. Sebab jika kita fokus, tulisan ini akan bisa dipilah-pilah menjadi lebih dari lima artikel.
Dunia blog adalah dunia menulis dengan kebebasan yang lebih luas, tidak melulu tentang 5w 1h meskipun tetap ada di dasar-dasar etika yang sama. Dibanding tulisan jurnalistik, blog lebih bersifat personal, ibarat buku harian. Tulisan blog, tentu saja tetap bisa dituliskan dengan metode jurnalistik jika si empunya blog merasa butuh menggunakan gaya itu.
Artikel ini diterbitkan sebagai contoh tulisan blog untuk dibicarakan besok, 6 Februari 2014, dalam acara Celoteh Tamu RRI. Sedianya, saya dan istri akan menyemarakkan acara tersebut.
Salam saya, RZ Hakim