Dengan diantar oleh Bapaknya, calon mahasiswi asal Tuban itu meluncur ke kota kecil Jember dengan memanfaatkan jasa bus antar kota. Dikisahkan bahwa dalam perjalanan tersebut dia mabuk kendaraan lebih dari sepuluh kali.
Itu adalah sepenggal kisah perjalanan (Tuban - Jember) dari seorang gadis bernama Zuhana Anibuddin Zuhro, suatu hari di bulan Juli 2004. Namanya kemudian tercatat sebagai mahasiswi Fakultas sastra Universitas jember.
Hana (begitu biasanya dia dipanggil) segera mencuat dipermukaan para mahasiswa baru, hanya karena dia hobi mengkonsumsi bedak. Iya benar, dia senang sekali nyemil bedak. Dan saya adalah satu dari sekian banyak orang yang penasaran dengan sosok Hana.
Akhirnya saya berhasil berkenalan dengannya. Tapi entah bagaimana kisahnya, sungguh saya lupa. Bahkan hari perkenalannya pun saya jga tidak mengingatnya. Mungkin di bulan itu juga, Juli 2004, atau Agustus, atau September.. Ah, entah.
Perempuan mungil ginuk-ginuk berkaca mata bulat (seperti kacamatanya Mahatma) yang bernama Hana ini, ternyata dia jago menulis dan membaca puisi. Dalam setiap puisi ciptaannya, akan kita temukan kata retorika. Saya tidak tahu kenapa dia begitu menyukai pilihan kata retorika.
Hobinya berpuisi membawa langkahnya untuk memasuki sebuah proses kesenian di Dewan Kesenian Kampus FSUJ. Ukuran tubuhnya yang mungil tak bisa mencegahnya untuk lantang menyuarakan bait-bait puisi dalam berbagai pentas seni.
Akhir tahun 2004..
Hana membuat sebuah keputusan berani dalam hidupnya. Dia mendaftarkan diri sebagai calon anggota DIKLATSAR pencinta alam di sastra (SWAPENKA). Tahap demi tahap dia lalui dengan sukses, mulai dari ijin orang tua, tes kesehatan (beserta surat dokter), hingga pendidikan ruang. Sampailah akhirnya Hana lolos di tahap selanjutnya, yaitu DIKLAT LAPANG.
Lokasi DIKLATSAR SWAPENKA berada di zona Taman Nasional Meru Betiri. Kondisi alam yang berbukit-bukit, hutan lebat, belum lagi waktu itu musim penghujan, tak membuat gadis mungil ini gentar. Posisinya yang selalu siap setiap saat dengan baju lapang, jauh dari bedak, tak sempat menggoreskan pena meski sekedar menulis sebuah kata bernama retorika, membuatnya terlihat seperti sosok Zena.
Hana menjalani tahap demi tahap DIKLATSAR dengan tabah. Segala pressing alam dan skorsing kesalahan, dia lakoni dengan hati yang mantab tanpa sifat manja dan air mata. Salut!
Dalam prosesi DIKLATSAR tersebut, Hana dianugerahi nama rimba (budaya masyarakat pencinta alam). Saya yang memberinya nama. Singkat dan cukup jelas. Prit. Alasannya, karena sejak hari pertama Hana selalu berkalung dengan peluit sebagai manik-manik kalungnya.
Hari berlalu minggu berganti, tiba-tiba sudah memasuki awal tahun 2006.
Itu adalah tahun dimana untuk pertama kalinya saya mengajak Hana (Prit) bersilaturahmi ke rumah. Memperkenalkannya pada orang tua. Waktu itu Almarhummah Ibu saya bertanya, "Siapa dia?" Saya tidak bisa menjawabnya, karena saya tidak pernah sekalipun mengungkapkan sesuatu (semacam i love you) pada Hana.
Cinta kami Merambat Pelan
Selama ada di Jember, Hana empat kali masuk rumah sakit. Yang pertama karena kecelakaan. Ceritanya, suatu hari dia harus menempuh mata kuliah di rumah dosennya. Namanya Ibu Asri. Sepulangnya, Hana terserempet sepeda motor. Dia berboncengan (sepeda kayuh) dengan temannya, jaraknya lumayan jauh untuk ukuran sepeda kayuh.
Saya masih ingat, betapa saat itu Bu Asri terhakimi oleh banyaknya pertanyaan. "Lho kok kuliahnya di rumah? Kok saya baru tahu? padahal ini sudah berlangsung lama. Kok begini, kok begitu?"
Dan pertanyaan yang rata-rata dimulai dari kata 'kok' itupun hanya tinggal 'kok' saja. Saya malas mengenangnya.
Masuk rumah sakit kedua dan ketiga adalah karena Hana sakit dilep (sakit datang bulan yang sebegitunya). Terakhir, Hana masih saja mampir rumah sakit karena kecelakaan. Lagi-lagi dia diserempet sepeda motor, dan tidak sedang bersama saya.
Saat dia tergeletak lunglai di ranjang rumah sakit, saya dan kawan-kawan mapala (juga kesenian) setia menungguinya. Dari sinilah saya mengenal lelaki bijak yang oleh Hana dipanggil Bob. Beliau tidak lain adalah Bapaknya Hana. Waktu itu saya masih memanggil beliau dengan sebutan Om.
Mei 2008..
Ibu saya meninggal dunia di rumah sakit Dr. Soebandi Jember, tepatnya di ruang stroke. Hana turut menunggui. Dia pingsan tepat di sisi kanan ranjang almarhummah. Saya membopongnya, untuk kemudian menempatkannya di ranjang lain yang tak berpenghuni.
Esoknya, Bob sengaja datang jauh-jauh dari Tuban. Saat itulah saya melamar Hana secara resmi. Saya sendiri yang melamarnya, tidak diwakili oleh siapapun. Bob tersenyum tulus. Beliau bilang, "tunggu adekmu selesaikan kuliahnya dulu." Dan saya pun mengangguk pasti.
Begitulah kejadiannya, saya melamar Hana pada saat saya sendiri tak sekalipun pernah mengucapkan 'aku cinta padamu' pada gadis mungil pencinta kata retorika.
Tak lama setelah itu, saya menciptakan sebuah lagu berjudul, Untuk Bunga. Di sana saya menjelaskan banyak hal. Mulai dari penggalan lirik, "Aku butuh teman bicara sampai tua, sampai salah satu dari kita ke surga," hingga pada chorus yang berbunyi seperti di bawah ini;
Jangan tatap aku bunga
Jangan tanya tentang cinta
Sungguh ku tak tahu
Bunga..
Barangkali ada yang ingin mendengar lagunya, bisa dinikmati di sini.
Hingga memasuki bulan September 2011, Hanna masih bergelut dengan skripsi.
Singkat cerita, pada 10 September 2011, saya sekeluarga sowan ke rumah Tuban. Melamar secara kekeluargaan, dan menetapkan tanggal pernikahan. Disepakati, saya dan Hana akan menikah pada 15 November 2011.
10 September 2011 melegenda menjadi hari yang sulit untuk saya lupakan. Sepulang dari Tuban, saya tergugah untuk menciptakan lagu. Jadilah lagu sederhana berjudul, Pada 10 September.
Alhamdulillah, Hana mendapat ijin dari dosen pembimbingnya agar terlebih dahulu melaksanakan pernikahan, baru seminggu kemudian ujian skripsi (pada akhirnya dosen pembimbing tersebut mengkhianati kata-katanya sendiri).
15 November 2011
Akhirnya kami menikah, Alhamdulillah. Akad nikah dilaksanakan di Tuban, dihadiri oleh Pakde Abdul Cholik beserta Bu De.
Seperangkat alat sholat dan lagu berjudul Mahar Hidupku, itu yang saya berikan kepada Hana sebagai mahar.
Penutup
Cinta kami merambat pelan, tidak tergesa, wajar, dan bisa dikatakan bukan jenis 'cinta pada pandangan pertama.' Mungkin itu sebabnya, setiap kali saya bangun tidur, setiap kali saya menatap wajah Hana, saya selalu jatuh cinta, lagi.. lagi.. dan lagi.
Tambahan
Sampai saat ini saya tidak terbiasa memanggilnya Hana, melainkan Prit. Dia sudah tidak lagi hobi menjilat-jilat bedak. Mengenai kaca matanya, suatu hari tak sengaja Hana ngrembuk'i (menduduki) kursi yang di atasnya bertengger si kaca mata bundar.
Lelaki yang oleh Hana dipanggil Bob, beliau adalah Bapak mertua paling gaul sedunia. Saya tak lagi memanggilnya Om, melainkan Bapak. Lebih keren dan lebih terasa Indonesia.
Sekarang Hana kembali kuliah di UNMUH Jember.
Saya paham, bagaimanapun Hana butuh figur Ibu mertua. Syukur Alhamdulillah, saya memiliki banyak Ibu di dunia online. Alhasil, Hana memiliki banyak Ibu mertua, mulai dari Bu De Ipung, Bunda Yati, Bunda Lily Suhana, Bibi Dey, Ami Osar, Bunda Lahfy, dan semua kaum Hawa di dunia blogger.
Begitulah Mbak Naqiyyah Syam, cinta kami merambat pelan..
Happy Wedding Anniversary ke-8 semoga Mbak Naqiyyah Syam sekeluarga selalu dalam lindungan-Nya, di dunia maupun di akherat, Amin Ya Robbal Alamin.
Itu adalah sepenggal kisah perjalanan (Tuban - Jember) dari seorang gadis bernama Zuhana Anibuddin Zuhro, suatu hari di bulan Juli 2004. Namanya kemudian tercatat sebagai mahasiswi Fakultas sastra Universitas jember.
Hana (begitu biasanya dia dipanggil) segera mencuat dipermukaan para mahasiswa baru, hanya karena dia hobi mengkonsumsi bedak. Iya benar, dia senang sekali nyemil bedak. Dan saya adalah satu dari sekian banyak orang yang penasaran dengan sosok Hana.
Akhirnya saya berhasil berkenalan dengannya. Tapi entah bagaimana kisahnya, sungguh saya lupa. Bahkan hari perkenalannya pun saya jga tidak mengingatnya. Mungkin di bulan itu juga, Juli 2004, atau Agustus, atau September.. Ah, entah.
Perempuan mungil ginuk-ginuk berkaca mata bulat (seperti kacamatanya Mahatma) yang bernama Hana ini, ternyata dia jago menulis dan membaca puisi. Dalam setiap puisi ciptaannya, akan kita temukan kata retorika. Saya tidak tahu kenapa dia begitu menyukai pilihan kata retorika.
Hobinya berpuisi membawa langkahnya untuk memasuki sebuah proses kesenian di Dewan Kesenian Kampus FSUJ. Ukuran tubuhnya yang mungil tak bisa mencegahnya untuk lantang menyuarakan bait-bait puisi dalam berbagai pentas seni.
Akhir tahun 2004..
Hana membuat sebuah keputusan berani dalam hidupnya. Dia mendaftarkan diri sebagai calon anggota DIKLATSAR pencinta alam di sastra (SWAPENKA). Tahap demi tahap dia lalui dengan sukses, mulai dari ijin orang tua, tes kesehatan (beserta surat dokter), hingga pendidikan ruang. Sampailah akhirnya Hana lolos di tahap selanjutnya, yaitu DIKLAT LAPANG.
Lokasi DIKLATSAR SWAPENKA berada di zona Taman Nasional Meru Betiri. Kondisi alam yang berbukit-bukit, hutan lebat, belum lagi waktu itu musim penghujan, tak membuat gadis mungil ini gentar. Posisinya yang selalu siap setiap saat dengan baju lapang, jauh dari bedak, tak sempat menggoreskan pena meski sekedar menulis sebuah kata bernama retorika, membuatnya terlihat seperti sosok Zena.
Hana menjalani tahap demi tahap DIKLATSAR dengan tabah. Segala pressing alam dan skorsing kesalahan, dia lakoni dengan hati yang mantab tanpa sifat manja dan air mata. Salut!
Dalam prosesi DIKLATSAR tersebut, Hana dianugerahi nama rimba (budaya masyarakat pencinta alam). Saya yang memberinya nama. Singkat dan cukup jelas. Prit. Alasannya, karena sejak hari pertama Hana selalu berkalung dengan peluit sebagai manik-manik kalungnya.
Hari berlalu minggu berganti, tiba-tiba sudah memasuki awal tahun 2006.
Itu adalah tahun dimana untuk pertama kalinya saya mengajak Hana (Prit) bersilaturahmi ke rumah. Memperkenalkannya pada orang tua. Waktu itu Almarhummah Ibu saya bertanya, "Siapa dia?" Saya tidak bisa menjawabnya, karena saya tidak pernah sekalipun mengungkapkan sesuatu (semacam i love you) pada Hana.
Cinta kami Merambat Pelan
Selama ada di Jember, Hana empat kali masuk rumah sakit. Yang pertama karena kecelakaan. Ceritanya, suatu hari dia harus menempuh mata kuliah di rumah dosennya. Namanya Ibu Asri. Sepulangnya, Hana terserempet sepeda motor. Dia berboncengan (sepeda kayuh) dengan temannya, jaraknya lumayan jauh untuk ukuran sepeda kayuh.
Saya masih ingat, betapa saat itu Bu Asri terhakimi oleh banyaknya pertanyaan. "Lho kok kuliahnya di rumah? Kok saya baru tahu? padahal ini sudah berlangsung lama. Kok begini, kok begitu?"
Dan pertanyaan yang rata-rata dimulai dari kata 'kok' itupun hanya tinggal 'kok' saja. Saya malas mengenangnya.
Masuk rumah sakit kedua dan ketiga adalah karena Hana sakit dilep (sakit datang bulan yang sebegitunya). Terakhir, Hana masih saja mampir rumah sakit karena kecelakaan. Lagi-lagi dia diserempet sepeda motor, dan tidak sedang bersama saya.
Saat dia tergeletak lunglai di ranjang rumah sakit, saya dan kawan-kawan mapala (juga kesenian) setia menungguinya. Dari sinilah saya mengenal lelaki bijak yang oleh Hana dipanggil Bob. Beliau tidak lain adalah Bapaknya Hana. Waktu itu saya masih memanggil beliau dengan sebutan Om.
Mei 2008..
Ibu saya meninggal dunia di rumah sakit Dr. Soebandi Jember, tepatnya di ruang stroke. Hana turut menunggui. Dia pingsan tepat di sisi kanan ranjang almarhummah. Saya membopongnya, untuk kemudian menempatkannya di ranjang lain yang tak berpenghuni.
Esoknya, Bob sengaja datang jauh-jauh dari Tuban. Saat itulah saya melamar Hana secara resmi. Saya sendiri yang melamarnya, tidak diwakili oleh siapapun. Bob tersenyum tulus. Beliau bilang, "tunggu adekmu selesaikan kuliahnya dulu." Dan saya pun mengangguk pasti.
Begitulah kejadiannya, saya melamar Hana pada saat saya sendiri tak sekalipun pernah mengucapkan 'aku cinta padamu' pada gadis mungil pencinta kata retorika.
Tak lama setelah itu, saya menciptakan sebuah lagu berjudul, Untuk Bunga. Di sana saya menjelaskan banyak hal. Mulai dari penggalan lirik, "Aku butuh teman bicara sampai tua, sampai salah satu dari kita ke surga," hingga pada chorus yang berbunyi seperti di bawah ini;
Jangan tatap aku bunga
Jangan tanya tentang cinta
Sungguh ku tak tahu
Bunga..
Barangkali ada yang ingin mendengar lagunya, bisa dinikmati di sini.
Hingga memasuki bulan September 2011, Hanna masih bergelut dengan skripsi.
Singkat cerita, pada 10 September 2011, saya sekeluarga sowan ke rumah Tuban. Melamar secara kekeluargaan, dan menetapkan tanggal pernikahan. Disepakati, saya dan Hana akan menikah pada 15 November 2011.
10 September 2011 melegenda menjadi hari yang sulit untuk saya lupakan. Sepulang dari Tuban, saya tergugah untuk menciptakan lagu. Jadilah lagu sederhana berjudul, Pada 10 September.
Alhamdulillah, Hana mendapat ijin dari dosen pembimbingnya agar terlebih dahulu melaksanakan pernikahan, baru seminggu kemudian ujian skripsi (pada akhirnya dosen pembimbing tersebut mengkhianati kata-katanya sendiri).
15 November 2011
Akhirnya kami menikah, Alhamdulillah. Akad nikah dilaksanakan di Tuban, dihadiri oleh Pakde Abdul Cholik beserta Bu De.
Seperangkat alat sholat dan lagu berjudul Mahar Hidupku, itu yang saya berikan kepada Hana sebagai mahar.
Penutup
Cinta kami merambat pelan, tidak tergesa, wajar, dan bisa dikatakan bukan jenis 'cinta pada pandangan pertama.' Mungkin itu sebabnya, setiap kali saya bangun tidur, setiap kali saya menatap wajah Hana, saya selalu jatuh cinta, lagi.. lagi.. dan lagi.
Tambahan
Sampai saat ini saya tidak terbiasa memanggilnya Hana, melainkan Prit. Dia sudah tidak lagi hobi menjilat-jilat bedak. Mengenai kaca matanya, suatu hari tak sengaja Hana ngrembuk'i (menduduki) kursi yang di atasnya bertengger si kaca mata bundar.
Lelaki yang oleh Hana dipanggil Bob, beliau adalah Bapak mertua paling gaul sedunia. Saya tak lagi memanggilnya Om, melainkan Bapak. Lebih keren dan lebih terasa Indonesia.
Sekarang Hana kembali kuliah di UNMUH Jember.
Saya paham, bagaimanapun Hana butuh figur Ibu mertua. Syukur Alhamdulillah, saya memiliki banyak Ibu di dunia online. Alhasil, Hana memiliki banyak Ibu mertua, mulai dari Bu De Ipung, Bunda Yati, Bunda Lily Suhana, Bibi Dey, Ami Osar, Bunda Lahfy, dan semua kaum Hawa di dunia blogger.
Begitulah Mbak Naqiyyah Syam, cinta kami merambat pelan..
Happy Wedding Anniversary ke-8 semoga Mbak Naqiyyah Syam sekeluarga selalu dalam lindungan-Nya, di dunia maupun di akherat, Amin Ya Robbal Alamin.
![]() |
Tulisan ini diikutsertakan dalam Give Away Ajari Aku Cinta |