Quantcast
Channel: acacicu
Viewing all articles
Browse latest Browse all 205

Srikandi Itu Bernama Kartini

$
0
0
Jadi ceritanya, saya ingin turut menyemarakkan First GA yang diadakan Mbak Evi Indrawanto. Adapun artikel yang saya pilih adalah tulisan Mbak Evi yang berjudul Selamat Hari Kartini. Baiklah, saya akan segera menuliskan opini seputar Kartini. Semoga ada manfaatnya.

Denting Piano di Masa kecil

Ketika masih SD, saya pernah memiliki mainan berupa piano kecil. Warnanya orange. Itu adalah mainan termewah yang pernah saya punya. Bapak membelikan itu ketika saya sedang sakit (kalau tidak salah, saat itu saya sakit cacar air). Berharap putranya lekas sembuh.

Apa hubungannya piano dengan Kartini? Hehe.. Saya memiliki alasan sederhana. Satu-satunya not lagu yang bisa saya mainkan dengan baik (dengan piano mainan) adalah lagu Ibu Kita Kartini. Masa kecil itu memang sudah berlalu, tapi saya masih bisa mengingatnya dengan baik. Setiap kali ada yang menyebut-nyebut nama Kartini, memori itu muncul secara otomatis.

Foto Kartini ini saya dapat dari KITLV

Kartini Yang Saya Kenal

Kartini lahir pada 21 April 1879, sembilan tahun setelah disahkannya UU Agraria Hindia Belanda. Konon kabarnya, UU ini diberlakukan sebagai reaksi atas kesewenangan pemerintah dalam mengambil alih tanah rakyat. Mereka para Politikus liberal (yang saat itu berkuasa di Belanda) tidak setuju dengan sistem tanam paksa. Meski begitu, mereka tetaplah mengeruk keuntungan ekonomi dari tanah jajahan.

Sejarah mencatat, Kartini mengenyam pendidikan hingga tamat ELS (Europeesche Lagere School). Wow keren. ELS adalah sebuah sekolah yang dikhususkan untuk golongan Eropa, dan Kartini tercatat sebagai salah satu siswa di sana. Sangat nampak jika Kartini lahir di tengah-tengah keluarga priyayi kelas tinggi, dan bisa berbahasa Belanda (bahasa pengantar di ELS)

Kartini mengenyam pendidikan di ELS hingga umur 12 tahun, sebelum kemudian menjalani masa pingitan (penantian panjang sampai tiba saatnya dikawinkan oleh orang tua). Itu berarti, sejak tahun 1891 Kartini sudah memasuki masa pingitan (Tujuh tahun sebelum diterbitkannya tulisan G. Francis berjudul Nyai Dasima). Di rentang waktu inilah Kartini getol membaca dan menulis surat kepada teman-teman Eropanya, dengan bahasa Belanda.

Masa pingitan Kartini berakhir pada usianya yang ke 24, saat dia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang Bupati Rembang. Tahun berikutnya, 17 September 1904, Kartini meninggal dunia, empat hari setelah melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Soesalit.

Kartini Ingin Meruntuhkan Kebodohan

Iya benar, Kartini lahir di tengah-tengah keluarga priyayi, sebuah adat Jawa yang berakulturasi dengan budaya (baca: kepentingan) Eropa. Untuk menjinakkan daerah jajahannya, Belanda selektif dalam memilih Bupati, bahkan hingga ke tingkat Wedana sampai Juru Tulis. Mereka sengaja diarahkan untuk gila kekuasaan, harga diri, dan kepemilikan (status sosial).

Pada jaman ini, tak ada yang mengerti apa itu arti kesetaraan. Mungkin ada yang tahu, tapi tidak banyak. Dan pada umumnya mereka akan pura-pura tidak tahu, sebab takut itu akan menyebabkannya lengser dari jabatan.

Adalah hal yang wajar jika seseorang harus memanggil Ndoro pada orang lain, hanya karena yang satu sudah merasa dirinya 'rakyat biasa' sedangkan yang lain menjuluki dirinya sendiri sebagai priyayi. Hmmm.. sebutan Ndoro adalah hasil ciptaan situasi masa itu, yang artinya mengagungkan orang yang disebut, dan merendahkan diri sendiri juga orang tua, dan bangsanya. Sungguh sejarah kelam yang sangat memprihatinkan, padahal kita satu bangsa.

Jika ada orang yang berani menghadap Bupati (atau jajaran di bawah Bupati seperti Wedono) dengan tidak ngelesot (bersimpuh), maka dia akan mendapat teguran keras atau bahkan hukuman mati. Belanda mengetahui ini, lalu dengan sengaja melakukan 'pembiaran' atas kebutaan budaya tersebut. Mereka justru menjadikannya alat politik. Misal, iming-iming pemberian payung emas pada Bupati terbaik di suatu wilayah. Bupati terbaik biasanya dihitung dari jumlah upetinya.

Namun pada masa itu juga, mulai dikenal kata sudara (tidak mengenal jenis kelamin dan untuk segala usia, diadopsi dari bahasa Melayu, pada akhirnya berubah redaksional menjadi saudara), juga kata Tuan untuk sesama lelaki. Ini adalah sebutan perlawanan pada kata Ndoro, Diajeng, Raden Ajeng, Raden Mas, Raden, dan sebagainya.

Bagaimana nasib perempuan di masa ini? Jika harus dirangkum, kehidupannya hanya sebatas pada masak, macak, manak (memasak, berdandan untuk suami, dan melahirkan).

Itu hanya sekelumit kebodohan yang mengkungkung di masa hidup Kartini. Dia ingin menyudahi ini lewat pemikirannya (perenungan panjang selama masa pingitan), bahwa perempuan Indonesia harus cerdas. Cerdas hati nuraninya, budi pekertinya, cerdas pula pemikirannya. Itu semua tak akan pernah bisa terwujud tanpa sebuah lembaga bernama sekolah dan atau organisasi pendidikan.

Mungkin Kartini pernah bertanya-tanya, kenapa Hindia Belanda memiliki sistem negara yang dualisme? Kenapa tidak Hindia saja? Kenapa harus tunduk pada Sri Ratu Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau? Kenapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Harus Willem Rooseboom? Sangat memalukan, kita dijajah oleh bangsa tanah rendah yang juga pernah dijajah Spanyol lalu Perancis. Tidakkah ada saudara sebangsa yang bisa memimpin bangsanya sendiri?

Di sisi lain, Kartini mencurahkan sebagian besar pemikirannya pada kawan-kawannya Eropa. Sangat unik.

Barangkali dalam proses perjalanan pemikirannya, Kartini juga bertanya-tanya, kenapa Hindia sangat bodoh? Lalu dia menemukan jawaban. Ya ya ya.. Karena perjuangan rakyat tidak berserikat, tidak dilakukan bersama-sama, tak ada yang bisa menggagas konsep organisasi. Kebodohan hanya membuat banyak kaum terjajah (non priyayi) yang mempercayakan harapannya pada datangnya sosok Ratu Adil (yang tak pernah datang).

Cerahlah Hindia

Kartini membuktikan bahwa segala pemikiran yang terdokumentasi (tertulis) adalah senjata ampuh untuk melawan apapun. Setidaknya untuk melawan sebuah kata bernama lupa.

Memang, Kartini tidak hidup di jaman facebook, twitter, blog, dan segala fasilitas menulis yang mudah dan tinggal pencet. Tapi dia memahami sesuatu. Kartini tahu alasan kenapa dulu Deandels memimpin pembuatan proyek jalan Anyer - Panarukan yang dihiasi genosida penuh darah dan air mata.

Ini subyektif menurut saya, Kartini memahami bahwa negeri Belanda sangat menghargai jasa pos (itu sebabnya jalur Deandels juga dikenal dengan nama Jalan Raya Pos). Kartini mengadopsi esensinya, untuk kemudian menjadikan jasa pos (surat menyurat) sebagai senjata menyudahi kebodohan.

Di sisi lain, perkembangan surat menyuratnya diiringi oleh gaung Politik Etis oleh kelompok Liberal Belanda (akhirnya diterapkan sejak 1901, kalau nggak salah). Suasana yang sedikit mendukung untuk bertumbuhnya benih-benih pemikiran Kartini.

Delapan tahun setelah kematiannya, ada keluarga Belanda (Van Deventer, seorang tokoh Politik Balas Budi / etis) yang mendirikan sebuah yayasan bernama Yayasan Kartini. Yayasan inilah yang memelihara mimpi Kartini. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan sekolah wanita. Inspiratif!

"Cerahlah Hindia.. Cerahlah Nusantara.. Cerahlah Indonesia!"

Srikandi Itu Bernama Kartini

Hidupnya seperti Srikandi. Sama-sama lahir di keluarga pemimpin. Srikandi sendiri adalah salah satu puteri Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan panchala. Secara garis besar, digambarkan dalam Mahabharata bahwa Srikandi berjenis kelamin netral (lahir sebagai wanita, dan diasuh secara pria). Bisalah kita menyebut Srikandi secara kiasan sebagai simbol kesetaraan, sama seperti mimpi Kartini. Setara dalam konsumsi pendidikan, dan setara dalam derajat hidup.

Pada akhirnya Kartini kompromis dengan adat Jawa berupa kawin paksa, sebelum kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Kita tahu, pihak penjajah selalu membungkam dan memadamkan mimpi perempuan bangsawan (yang berpotensi melakukan perubahan) dengan cara memaksa orang tua perempuan tersebut untuk segera menikahkannya.

Jadi menurut saya, Kartini meninggal dunia di saat perjuangan dan 'perangnya' belum selesai. Sama seperti Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuda (dalam perang di Kurukshetra).

Penutup

Semoga Kartini tersenyum, ketika melihat virus pemikirannya menyebar pesat dari Sabang sampai Merauke. Perempuan-perempuan masa kini adalah hasil dari mimpinya (dan para pejuang perempuan baik yang namanya tercatat oleh sejarah maupun yang terlupakan), yang setara tanpa harus menafikan qodrat, yang bisa bersekolah setinggi-tingginya, yang tidak lagi terjajah poligami tak jelas (tidak seperti nasib dirinya di jaman gundik masih dianggap wajar-wajar saja, tergantung siapa lelaki yang menggundik).

Semoga Kartini tidak tahu, bahwa di jaman ini semakin banyak saja sosok seperti yang diperankan oleh Nyai Dasima.

Semoga Kartini tidak marah, ketika orang-orang berbondong-bondong merayakan hari lahirnya dengan sangat dangkal, hanya sebatas berkonde, tanpa diiringi pola pikir untuk merubah sesuatu (dari yang tidak baik menjadi baik).

Perempuan yang berani tampil beda dengan selera massa, yang mencuat ke permukaan oleh sebab berani menyuarakan dasar pemikirannya, dia bernama Kartini.

Kartini, Salam Lestari!

Turut Menyemarakkan First Give Away Jurnal Evi Indrawanto

Viewing all articles
Browse latest Browse all 205