Di seberang jalan tak jauh dari kediaman saya, ada sebuah kios rokok bercat merah. Kios tersebut tak hanya menjual rokok. Di sana ada dijual juga bensin eceran, kopi, dan menawarkan jasa tambal ban. Ada yang unik dari tambal ban di kios ini, bahwa penambalnya bukan laki-laki. Ya, dia seorang perempuan. Saya biasa memanggilnya "Lik Suyat."
Lik Suyat memiliki tiga orang putri (Siti, Neneng, dan Ita), semuanya sudah menikah dan memiliki anak. Dua diantaranya ikut Lik Suyat. Si Kris (laki-laki, umur enam tahun lebih, anak pertama si Neneng, dari suami pertamanya), dan si Cicik (perempuan, umur empat tahun, kalau tidak salah ini anaknya si Ita, dari suami pertama). Ada satu lagi yang dititipkan ke Lik Suyat. Namanya Rama. Laki-laki kecil kelas tiga SD ini bukan cucu Lik Suyat, melainkan anak dari Jeppar, adiknya Lik Suyat.
Begitulah, dalam keterbatasan, Lik Suyat masih harus menghidupi Rama, Kris, dan Cicik. Belum lagi biaya sekolah untuk Rama dan Kris, di dua SD yang berbeda. Rama di SD negeri, Kris di MI.
Syukurlah Lik Suyat tidak sendirian dalam menanggung beban hidup. Suaminya yang biasa saya panggil Om Edi, bekerja sebagai penjaga pangkal pintu kereta api. Gajinya perbulan kurang dari 500 ribu rupiah. Om Edi bukan suami pertama Lik Suyat. Bersama Om Edi, Lik Suyat tidak memiliki keturunan. Mungkin itu sebabnya mereka mengadopsi Rama, Kris, dan Cicik.
Keseharian Rama, Kris, dan Cicik
Mereka masih sangat bocah, tapi sudah terbiasa hidup di jalan. Istilah Jawa-nya, keleleran. Baju yang mereka kenakan lebih sering lusuhnya daripada rapi. Saat malam tiba, mereka akan mencari tempat merebah di sekitar kios (atau umpel-umpelan di dalam kios).
Mereka terbiasa melihat orang dewasa bertengkar. Misal, sesama supir angkot yang bertengkar gara-gara uang, dan masih banyak lagi contohnya. Intinya, mereka menyerap sebanyak-banyaknya denyut jalanan. Apa akibatnya? Segala potensi karakter anak jalanan mulai melekat pada mereka. Yang paling nampak adalah potensi untuk tidak sopan.
Suatu hari, istri saya pernah menulis status di facebook. Meski tokoh-tokoh dalam update status tersebut ditulis secara berbeda, namun saya tahu, itu untuk Rama, Kris, dan Cicik. Berikut akan saya tuliskan kembali di sini:
Waktu menjelang dini hari saat Eka terbangun dari tidurnya. Udara yang masuk lewat celah-celah rombong kios rokok Mak Tin, membuatnya menggeliat dan terjaga. Diambilnya buku tulis usang yang tergeletak di tas kresek di pojok rombong berkukuran 1x0,5 meter. Sambil melihat adiknya yang mulai terlelap, dia menuliskan sesuatu di sampul buku tulisnya yang mulai menguning...
"Aku heran dengan orang-orang dewasa di sekitarku. Mereka sering membentakku, memarahiku dan menghujatku. Kata mereka aku anak yang tak punya sopan santun. Tapi anehnya, mereka tak pernah mengajariku tentang sopan santun. Mereka hanya menghujatku. Apa seperti ini kehidupanku setelah dewasa nanti? Hanya menghujat, memarahi dan membentak tanpa mengajari cara bersopan santun yang benar. Kalau memang seperti itu, aku tak mau menjadi dewasa. Biarlah aku tetap menjadi anak kecil saja, jika harus menjadi sombong ketika dewasa nanti. Hai orang-orang dewasa, mari belajar bersamaku..."
Saya paham kenapa Prit menuliskannya. Sebab bocah-bocah kecil itu selalu hadir di setiap sore, dan Prit menemaninya. Kadang belajar mengaji, kadang dongeng. Saya kira, itulah alasan dibalik lahirnya update status bergaya fiksi mini.
Rama, Kris, dan Cicik. Mereka lebih sering membuat saya mengernyitkan dahi ketimbang membuat ujung-ujung bibir ini terangkat ke atas. Iya benar, pertanyaan yang mereka lontarkan tak sama dengan anak-anak 'rumahan' pada umumnya.
Ketika saya berkata, "Kalian harus rajin berdoa agar masuk surga," dengan antusias si Kris menimpali ucapan saya. "Om pernah ke surga? Seperti apa bentuknya? Kris nggak pernah ke surga, nggak tahu bagaimana itu surga, makanya Kris tidak senang berdoa."
Demi Allah, saya kaget mendengarnya. Terkejut dan tidak bisa segera menjawab. Butuh waktu lama untuk menjawab lontaran tanya itu. Sepertinya saya gagal menemukan kata-kata yang pas untuk Kris.
Rama, Kris, dan Cicik. Seolah mereka tak bosan mengingatkan saya bahwa kesabaran itu tiada batas, namun kita sendiri yang membatasinya. Pada merekalah saya belajar, bahwa tema besar tidak harus disampaikan dengan bahasa yang berbelit-belit. Mereka memaksa saya untuk kembali belajar dan kembali menyegarkan kreatifitas.
Rama, Kris, dan Cicik.. Mereka adalah pelangi tapi bukan laskar pelangi.
Sedikit Tambahan
Sebenarnya saya berniat untuk ikutan giveaway yang diadakan Mbak Lyliana Setianingsih. Tapi sepertinya saya gagal menampilkan sisi lucu dari Rama, Kris, dan Cicik, hehe.. Insya Allah, di waktu yang lain akan saya coba lagi.
Sahabat blogger, yuk rame-rame menyemarakkan Vania's May Giveaway, sembari mengucapkan selamat hari lahir yang ke-5 untuk Vania.
![]() |
Lik Suyat. Foto oleh Pakde Bagio |
Lik Suyat memiliki tiga orang putri (Siti, Neneng, dan Ita), semuanya sudah menikah dan memiliki anak. Dua diantaranya ikut Lik Suyat. Si Kris (laki-laki, umur enam tahun lebih, anak pertama si Neneng, dari suami pertamanya), dan si Cicik (perempuan, umur empat tahun, kalau tidak salah ini anaknya si Ita, dari suami pertama). Ada satu lagi yang dititipkan ke Lik Suyat. Namanya Rama. Laki-laki kecil kelas tiga SD ini bukan cucu Lik Suyat, melainkan anak dari Jeppar, adiknya Lik Suyat.
Begitulah, dalam keterbatasan, Lik Suyat masih harus menghidupi Rama, Kris, dan Cicik. Belum lagi biaya sekolah untuk Rama dan Kris, di dua SD yang berbeda. Rama di SD negeri, Kris di MI.
Syukurlah Lik Suyat tidak sendirian dalam menanggung beban hidup. Suaminya yang biasa saya panggil Om Edi, bekerja sebagai penjaga pangkal pintu kereta api. Gajinya perbulan kurang dari 500 ribu rupiah. Om Edi bukan suami pertama Lik Suyat. Bersama Om Edi, Lik Suyat tidak memiliki keturunan. Mungkin itu sebabnya mereka mengadopsi Rama, Kris, dan Cicik.
Keseharian Rama, Kris, dan Cicik
Mereka masih sangat bocah, tapi sudah terbiasa hidup di jalan. Istilah Jawa-nya, keleleran. Baju yang mereka kenakan lebih sering lusuhnya daripada rapi. Saat malam tiba, mereka akan mencari tempat merebah di sekitar kios (atau umpel-umpelan di dalam kios).
Mereka terbiasa melihat orang dewasa bertengkar. Misal, sesama supir angkot yang bertengkar gara-gara uang, dan masih banyak lagi contohnya. Intinya, mereka menyerap sebanyak-banyaknya denyut jalanan. Apa akibatnya? Segala potensi karakter anak jalanan mulai melekat pada mereka. Yang paling nampak adalah potensi untuk tidak sopan.
Suatu hari, istri saya pernah menulis status di facebook. Meski tokoh-tokoh dalam update status tersebut ditulis secara berbeda, namun saya tahu, itu untuk Rama, Kris, dan Cicik. Berikut akan saya tuliskan kembali di sini:
Waktu menjelang dini hari saat Eka terbangun dari tidurnya. Udara yang masuk lewat celah-celah rombong kios rokok Mak Tin, membuatnya menggeliat dan terjaga. Diambilnya buku tulis usang yang tergeletak di tas kresek di pojok rombong berkukuran 1x0,5 meter. Sambil melihat adiknya yang mulai terlelap, dia menuliskan sesuatu di sampul buku tulisnya yang mulai menguning...
"Aku heran dengan orang-orang dewasa di sekitarku. Mereka sering membentakku, memarahiku dan menghujatku. Kata mereka aku anak yang tak punya sopan santun. Tapi anehnya, mereka tak pernah mengajariku tentang sopan santun. Mereka hanya menghujatku. Apa seperti ini kehidupanku setelah dewasa nanti? Hanya menghujat, memarahi dan membentak tanpa mengajari cara bersopan santun yang benar. Kalau memang seperti itu, aku tak mau menjadi dewasa. Biarlah aku tetap menjadi anak kecil saja, jika harus menjadi sombong ketika dewasa nanti. Hai orang-orang dewasa, mari belajar bersamaku..."
Bersama Rama, Kris, dan Cicik |
Saya paham kenapa Prit menuliskannya. Sebab bocah-bocah kecil itu selalu hadir di setiap sore, dan Prit menemaninya. Kadang belajar mengaji, kadang dongeng. Saya kira, itulah alasan dibalik lahirnya update status bergaya fiksi mini.
Rama, Kris, dan Cicik. Mereka lebih sering membuat saya mengernyitkan dahi ketimbang membuat ujung-ujung bibir ini terangkat ke atas. Iya benar, pertanyaan yang mereka lontarkan tak sama dengan anak-anak 'rumahan' pada umumnya.
Ketika saya berkata, "Kalian harus rajin berdoa agar masuk surga," dengan antusias si Kris menimpali ucapan saya. "Om pernah ke surga? Seperti apa bentuknya? Kris nggak pernah ke surga, nggak tahu bagaimana itu surga, makanya Kris tidak senang berdoa."
Demi Allah, saya kaget mendengarnya. Terkejut dan tidak bisa segera menjawab. Butuh waktu lama untuk menjawab lontaran tanya itu. Sepertinya saya gagal menemukan kata-kata yang pas untuk Kris.
Rama, Kris, dan Cicik. Seolah mereka tak bosan mengingatkan saya bahwa kesabaran itu tiada batas, namun kita sendiri yang membatasinya. Pada merekalah saya belajar, bahwa tema besar tidak harus disampaikan dengan bahasa yang berbelit-belit. Mereka memaksa saya untuk kembali belajar dan kembali menyegarkan kreatifitas.
Rama, Kris, dan Cicik.. Mereka adalah pelangi tapi bukan laskar pelangi.
Sedikit Tambahan
Sebenarnya saya berniat untuk ikutan giveaway yang diadakan Mbak Lyliana Setianingsih. Tapi sepertinya saya gagal menampilkan sisi lucu dari Rama, Kris, dan Cicik, hehe.. Insya Allah, di waktu yang lain akan saya coba lagi.
Sahabat blogger, yuk rame-rame menyemarakkan Vania's May Giveaway, sembari mengucapkan selamat hari lahir yang ke-5 untuk Vania.