Saya sedang ingin menyemarakkan Monilando's First Giveaway. Dan yang hendak saya ceritakan adalah tentang Almarhum Ibu saya. Mohon maaf jika tulisan kali ini panjang. Saya sudah berusaha keras menyingkatnya tapi tidak berhasil.
Antara Saya, Ibu, dan Tamasya Band
Diantara setumpuk kenangan manis antara saya dan Ibu, ada dua hal fenomenal yang ingin saya tuliskan. Pertama, Ibu ingin melihat anak bungsunya perform di atas pentas, dan saya selalu menolaknya. Kedua, ada satu hal dalam hidup ini yang selalu Ibu takuti, tidak lain adalah jarum infus.
Pernah pada suatu siang di tahun 2007, Ibu (berdua dengan Kakak perempuan saya) naik becak menuju GET-Net. Saat itu
Prit masih bekerja sebagai operator di warnet tersebut. Tujuannya hanya satu, membuka youtube dengan kata kunci
tamasya band.
Sampai pada waktu yang sangat lama, saya tidak tahu menahu tentang hal itu. Ibu, Kakak, dan Prit benar-benar menjaga rahasia tersebut layaknya keluarga mafia. Lagipula saya jarang pulang ke rumah. Jadi, potensi saya untuk mengetahui hal tersebut sangat kecil.
Pertengahan tahun 2007 dan seterusnya, kondisi kesehatan Ibu memburuk. Beliau terserang stroke. Kondisi semakin parah manakala Ibu terjatuh di kamar mandi, sekitar akhir tahun 2007.
Di awal tahun 2008, saat di rumah hanya ada saya dan Ibu, dengan gerakan yang sangat lambat dan dipaksakan, Ibu membuatkan saya kopi. Beberapa saat kemudian, saya dan Ibu sudah ada di suasana yang romantis.
Ibu bertanya, kenapa saya selalu menolak saat Ibu ingin melihat saya tampil bernyanyi? Lalu saya menjawabnya. Saya tidak yakin bisa bernyanyi dengan lancar ketika ada terlihat Ibu diantara para penonton. Lha wong ndak ditonton Ibu saja, penampilan saya selalu kacau.
Hal-hal memalukan seperti lupa lirik, mulut yang 'kejadhug' mic, kaki yang terlilit kabel, sebentar-sebentar ke kamar mandi beberapa menit sebelum tamasya band tampil, itu sering saya alami. Bagaimana bila Ibu menonton? Saya takut akan ada hal-hal yang lebih memalukan lagi yang akan saya alami.
Ibu tersenyum ketika mendengar celoteh lelaki kecilnya. Memang, semenjak terserang stroke, Ibu tidak pernah lagi bisa tertawa lepas. Senyum adalah hal terindah yang bisa saya nikmati.
Suasana romantis masih berlanjut, saya masih berkisah seputar tamasya band. Saya katakan pada Ibu, tamasya adalah sebuah band indie. Lebih sering bernyanyi di panggung-panggung kecil, dan ditonton teman sendiri.
Tamasya Band lebih senang bernyanyi di space panggung buatan sendiri. Mandiri. Kadang memanfaatkan ruang kecil seperti sebuah aula. Yang nonton lebih sering merapat ke depan, berbaur bersama para personel tamasya. Di suasana yang seperti itu, bagaimana mungkin Ibu bisa menonton dengan nyaman?
Saat Tamasya Band Bernyanyi
Lagi-lagi Ibu menyunggingkan senyumnya. Sepertinya Ibu tahu, saya hanya sedang berusaha keras mencari-cari alasan. Suasana yang tadinya romantis mendadak berganti sunyi. Ibu terlelap.
Suasana di rumah masihlah sepi. Saya duduk di sampingnya, menyanyikan sebuah lagu milik Tetty Kadi yang berjudul 'teringat slalu'. Itu adalah satu dari beberapa lagu kesayangannya. Dan selama Ibu sakit, hanya sepenggal itu saja kisah romantis antara saya dan Ibu.
Mei 2008
Dimulai pada Rabu malam, 21 Mei 2008. Saya sedang tidak di rumah, melainkan sedang bersenang-senang diantara kawan-kawan. Sebentar-sebentar terkekeh. Sesekali saya meraih gitar bolong dan menyanyikan sebuah lagu. Kawan-kawan turut bernyanyi. Itu berlangsung hingga larut malam.
Kemudian saya terhanyut dalam mimpi.
Hari masih terlalu pagi ketika ada seseorang yang membangunkan saya (saat itu saya sedang tidur di sekretariat pencinta alam). Manakala kedua mata ini terbuka, Kakak perempuan saya sudah ada tepat di hadapan saya. Kedua matanya sembab. Dia menyampaikan kabar yang sama sekali tidak ingin saya dengar.
Sebuah kata bernama 'sakit' mengantarkan Ibu berbaring di atas sprai putih lantai dua RSUD DR. Soebandi Jember. Tepatnya di ruang stroke. Saya baru sampai di sana pukul 05. 30 pagi.
Ibu sedang koma..
Saya hanya bisa melihatnya dari kaca bening yang tirainya sengaja dibuka oleh pihak rumah sakit, karena pagi itu Ibu memang belum bisa ditengok. Ah, ternyata Ibu sedang berdekapan dengan segala hal yang dibencinya. Jarum, selang infus, monitor, dan semuanya yang berbau rumah sakit.
Saya baru bisa masuk ruang stroke pada siang harinya. Dengan menggunakan baju pasien, saya melangkah mendekati ranjang Ibu. Mata saya terbelalak saat melewati ranjang pertama. Di atas ranjang tersebut, ada seorang pasien laki-laki paruh baya. Kedua tangan dan kakinya diikat oleh semacam tali pramuka. Ternyata ada masalah dengan syarafnya. Ada kalanya dia tidak bisa mengendalikan diri sendiri, itulah alasan kenapa dia diikat.
Langkah saya menuju ranjang Ibu dihentikan oleh seorang dokter muda. Wajahnya manis dan dia terlihat ramah. Sayang sekali, ucapannya menyebalkan.
Dia bertanya apakah saya bisa mengaji? Saya katakan, ya saya bisa. Lalu dituntunnya saya menuju tempat wudhu, kemudian tangannya menunjuk ke sebuah rak dimana sudah disediakan Al Quran di sana. Inilah yang saya maksud dengan menyebalkan. Tapi mau bagaimana lagi? Dibantah seperti apapun, saran Dokter itu tetap benar adanya. Tidak ada yang salah dengan ajakan mengaji. Hanya saja, saya memiliki firasat yang buruk tentang ini.
Tiga hari sudah saya berada di rumah sakit, dan selama itu pula Ibu koma.
Sementara di luar sana, orang-orang sedang diresahkan oleh kenaikan harga BBM. Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan waktu itu) mengatakan bahwa harga BBM bersubsidi rata rata naik 28,7 persen. Satu liter bensin menjadi 6500 rupiah. Saya pernah menuliskannya di
sini.
Ramai, kacau, gerah, tapi saya tidak peduli dengan itu. Ada sesuatu yang lebih saya pedulikan. Ya, tentang Ibu saya. Saya hanya ingin diberi kesempatan untuk mengajak Ibu menonton Tamasya Band.
Sabtu sore, 24 Mei 2008
Terkadang, hidup tak berjalan sesuai yang kita inginkan. Itu adalah kalimat pembuka dari Monilando's First Giveaway, dan memang seperti itulah hidup. Ibu meninggal dunia di saat Indonesia sedang demam. Anggun, tidak sepanas suasana di luar sana. Ibu bahkan tidak sempat melihat jarum, selang infus, dan segala hal yang mengitarinya.
Di waktu yang lain, Prit bercerita tentang perjalanan Ibu. Naik becak dari rumah menuju GET-Net hanya untuk melihat penampilan tamasya band di youtube. Ah..
Tidak ada rasa sesal yang hadir di depan. Ya saya percaya itu. Bapak mertua saya pernah berkata, dibalik satu musibah pasti akan ada dua kemudahan / hikmah. Saya juga sangat percaya.
Semenjak Ibu pergi, saya mulai membenahi banyak hal, terutama tentang hubungan saya dengan Tuhan. Ini memalukan untuk dituliskan di blog, tapi itulah yang terjadi. Hingga hari ini, saya kembali belajar mengaji dengan benar. Sesuatu yang tadinya jauh dari gaya hidup saya.
Penutup
Jika dihitung dari kelahiran nama band, pada 23 September 2012 nanti, tamasya band genap berusia 5 tahun. Akan saya nyanyikan sebuah lagu untuk Ibu. Entah lagu apa, mungkin lagu milik Tetty Kadi, Teringat Slalu.
Kawan, bersegeralah memeluk orang tua kita selagi masih ada waktu..