Hai Net, apa kabar?Kudengar kapan hari Kak Butet Manurung nongkrong di acara Kick Andy. Aku tidak menontonnya, karena di panaongan sudah tidak ada tivi. Ada juga kudengar, kau menonton siaran tersebut berdua dengan orangnya (Kak Butet). Pastilah acara itu bergizi. Kapan-kapan aku pingin nonton rekamannya.
Ohya Net..Di beberapa status jejaring sosialmu sering kubaca kalimat,
"Bagaimana kabar Jember." Hehe.. kota kecil kita masihlah indah Net. Yang membuat Jember tampak tidak sedap mungkin hanya tentang masalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dan mungkin itu adalah RTRW terburuk di Indonesia. Aku sendiri juga malu, mendapati kenyataan bahwa RTRW Jember merupakan hasil dari copy paste, menjiplak perda milik kabupaten lain.
Kabar tentang copas RTRW Jember bisa kau jumpai di dumay hanya dengan cara mudah. Membuka mesin pencari (google) dan mengetikkan kata kunci
'RTRW Jember.'Bupati MZA Djalal ingin sekali mereformasi kota agraris ini menjadi total berwajah industri. Beliau mempersilakan industri masuk ke Jember, walau itu harus mengorbankan lahan pertanian.
Seorang Bupati, pastilah ingin menyejahterakan rakyatnya. Sayang sekali impian tersebut membuat kau dan aku merasa sedih ya Net, haha. Aku sendiri sangat resah jika kota kecil ini berubah wujud menjadi kota berbasis industri (opomaneh pertambangan). Kau sendiri paham Net, betapa busuknya industri pertambangan (terlebih tambang emas) jika dilihat 'selain' dari sisi ekonomi.
Akhirnya kita (tamasya band) kembali bersuara, kembali bernyanyi. Insureksi, keterbangkitan untuk melawan. Ya, meskipun hanya lewat nada, demi menyalurkan keresahan. Link lagu Insureksi aku simpan di
sini Net.
Net..Sebenarnya aku ingin bercerita tentang secuil kesedihan yang dirasakan oleh adek-adekmu di SWAPENKA (Mahasiswa pencinta Kelestarian Alam). Tapi nggak enak mau langsung
jdar-jder nulis. Jadi, anggap saja masalah RTRW dan keresahan akan industri tambang di Jember hanyalah
acacicu semata.
Iya Net, keluarga kita sedang sedih. Anggota SWAPENKA angkatan 2011 (FSUJ Jurusan Ilmu Sejarah 2011) atas nama Rahmat Tunjung Permana, dengan nama rimba Bunglon, meninggal dunia di RS. Bina Sehat, pada 23 April 2013 sekitar pukul 22.30 WIB.
Kabar itu kudengar dari adek Jukok. Dia menelepon sekitar dua jam setelahnya.
Semalam, aku sedang ada di kondisi kesehatan yang tidak prima, Prit habis mengerok'i punggungku. Tapi aku tahu, aku (dan Prit) harus merapat ke rumah sakit. Jenasah Almarhum sudah dua jam di sana, belum ada evakuasi, pastilah ada yang tidak beres. Apalah artinya bahu ini jika tidak digunakan sebagai tempat bersandar adik-adik kita.
Sekitar pukul 01.30 dini hari (masuk 24 April 2013), aku dan Prit tiba di sana. Kami menunggu di ruang lobi. Tepat di sebelah kami ada dua orang lelaki dewasa yang terlihat resah. Rupanya mereka sedang mengurusi biaya administrasi rumah sakit.
Prit mengandalkan sisa pulsa sebesar 320 rupiah untuk menghubungi Bringin, ketua umum SWAPENKA. Menanyakan dimana lokasi jenasah. SMS tak kunjung dibalas, akhirnya tak ada pilihan lain, kami memutuskan untuk bertanya saja pada teller rumah sakit. Pertanyaan Prit dijawab dengan senyuman oleh seorang perawat berjilbab. Ternyata dua lelaki yang duduk di sebelah kami adalah pihak dari keluarga almarhum.
Selanjutnya..Kami saling tersenyum, berjabat tangan, menyampaikan empati, dan melangkah bersama ke posisi almarhum (masih belum dipindahkan ke kamar jenasah).
Orang pertama yang kutemui di dekat kamar almarhum adalah adek Jukok. Wajahnya kusut. Untuk semalam, dia adalah yang tertua dari semua keluarga SWAPENKA yang berkumpul. Melihat kami datang, kekusutannya sedikit berkurang.
Selain adek Jukok, sudah ada Bringin, Sodung, dan Nendes. Sodung tampak sibuk menemani Bapaknya almarhum Tunjung (Bunglon). Beliau tampak
shock dan menyimpan kemarahan. Di dekat Sodung ada seorang Bapak berkopyah (Kyai) yang sabar menuntun sang Bapak untuk istighfar.
"Beliau marah Mas, sebab sedari tadi tidak ada kunjungan dari dokter dan pihak RS. Selain itu, setengah jam sebelum Tunjung meninggal dunia, selang infusnya lepas, tak ada satupun perawat yang bisa memperbaikinya. Sampai akhirnya, Tunjung menghembuskan napas untuk terakhir kalinya."Itu data yang kudapat dari Sodung.
Aku tak sampai hati menanyakan hal tersebut pada pihak keluarga. Namun akhirnya aku bertanya juga pada Pak Kyai yang berkopyah hitam, saat beliau sedang istirahat di dekat jendela. Menurut beliau, tadinya keluarga sudah bisa menerima kenyataan. Tapi ketidaktanggapan dari pihak rumah sakitlah yang membuatnya Bapak almarhum marah dan ngomel-ngomel, tak peduli dia sedang ada di lokasi penuh orang sakit.
"Terlepas dari semuanya, ini berhubungan erat dengan biaya Mas. Kakaknya Tunjung masih dalam proses menyelesaikan masalah administrasi. Obat-obatannya mahal. Belum lagi biaya kamar ICU, dll. Sekitar 50 atau 60 juta," Kata Pak Kyai dengan logat Maduranya yang kental.
Sudah tiga jam lebih, jenasah masih di rumah sakit.
Satu persatu kawan-kawan mulai berdatangan. Ada Buter kawan seangkatan DIKLAT almarhum. Wajahnya menampakkan ketegaran. Padahal satu jam sebelum Tunjung meninggal dunia, dia meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumahnya di Silo. Baru sampai rumah, ada sms masuk di hapenya, dan dia bersegera kembali lagi ke rumah sakit. Jarak yang lumayan harus ditempuhnya.
Selain Buter, ada juga Bunker, Watu, Adiyatma (saudara almarhum, yang selalu menemani Bapak almarhum, kemanapun beliau melangkah), Bencot Mahadipa, dan Rante.
Ketika Rante datang, dia langsung menuju ke arahku. Bersalaman, untuk kemudian memelukku. Pelukan yang enggan dia lepaskan. Rante menangis. Ah, lelaki perantauan ini, yang selalu kuandalkan daya survive-nya, yang datang ke negeri antah barantah bernama Jember, yang tak malu menjual jajan gorengan di Fakultas Sastra hanya demi menunjang biaya kuliah, yang membuka diri pada orang-orang yang ingin belajar ngaji (bahkan diantaranya adalah Dosen), yang tidurnya di Musholla kampus sebab tak ada uang untuk indekos, yang selalu menyampaikan kepahitan keluarganya dengan cara yang riang, dia menangis di pelukanku. Prit memeluk Rante dari belakang, dia turut terisak.
Dodon datang. Sama seperti Rante, dia menuju ke arahku, menjabat tanganku, dan memelukku. Dia seorang kawan pencinta alam yang baru tujuh jam yang lalu (sebelumnya) sibuk mencari darah B untuk Dmit. Dmit sendiri dirawat di rumah sakit yang sama, bina sehat.
Menit sebelumnya, kusempatkan untuk melongok Dmit. Dia belum tidur. Aku tak sampai hati mengabarkan perihal Tunjung. Jadi, kami hanya berhaha-hihi. Lalu kusarankan Dmit untuk istirahat, aku kembali ke ruang almarhum Tunjung.
Sudah hampir empat jam almarhum ada di rumah sakit. Belum ada tanda-tanda evakuasi. Dodon berinisiatif untuk bertanya ke ruang administrasi. Diapun melangkah. Aku memilih untuk tidak jauh-jauh dari dulur-dulur muda SWAPENKA.
Tak jauh dari kami, ada kawan-kawan kuliah almarhum. Ada juga si Lemper (Alifah Zaki Rodliya),anggota Persma Sastra. Tiga jam sebelum Tunjung meninggal dunia, dia sempat kirim inbox. Begini bunyinya.
"Kalau saya bisa mendonorkan jantung saya untuk Tunjung saya mau donorkan jantung saya mas,, gak tega liat tunjung me-ronta kesakitan..."Ketika Dodon datang dari ruang administrasi rumah sakit, dia membisikkan sesuatu pada saya.
"Masalah duit. Mas-e almarhum wes nyetor STNK karo BPKB motor, dulure sing sitok'e pisan. Maringene jenasah sudah bisa dibawa pulang."Hmmm, sama seperti Bank yang hanya mengenal data, rumah sakit juga begitu. Mereka hanya mengenal administrasi yang harus ditaati. Mungkin, karena memang harus begitu.
Benar, tak lama kemudian ada seorang petugas membawa ranjang dorong dengan selimut warna hijau tua. Dia mulai sigap memindahkan almarhum. Tujuannya, hendak dipindahkan ke ambulans. Orang-orang mulai sibuk mengemasi barang-barang.
Saya jadi ingat setengah jam sebelumnya, saat masuk ke kamar almarhum. Tepat di bawah ranjang masih ada muntahan darah almarhum yang sama sekali tidak dibersihkan oleh pihak rumah sakit. Semoga nanti darah itu lekas di-steril-kan.
Satu masalah teratasi, masalah yang lain timbul. Bapaknya Tunjung bersikeras tidak mau pulang. Bagaimanapun, dia ingin bertemu dan berkomunikasi dengan Dokter piket yang memang tak kunjung datang.
"Anak saya dibuat praktek. Dokternya nggak tanggung jawab. Katanya piket, lha kok ndak mencungul blas. Ngono kok yo dadi dokter. Mana hati nuranimu?"Masih banyak lagi kata-kata yang meluncur dari Bapaknya Tunjung. Sampai di lapangan parkir pun beliau masih marah. Ketika ada saudaranya (masih muda, berpakaian satpam namun berjaket hitam) mendekati beliau coba menenangkan, sambil berkata,
"Sabar Pak, rumah sakit sudah maksimal merawat Tunjung. Ini yang terbaik buat Tunjung, kita harus bisa menerimanya," Sang Bapak semakin marah. Dia coba memukul dan menendang lelaki berpakaian satpam tersebut. Padahal menurut Dodon, lelaki itu juga turut menggadaikan surat-surat kendaraannya pada rumah sakit. Ah, sedih menatap kenyataan yang terhampar di depan mata.
Net..Akhirnya kami meluncur ke kediaman almarhum. Bukan yang di daerah Tanggul, melainkan rumah barunya yang di belakang kantor AUTO 2000 Jember. Bapak masih ada di areal parkir rumah sakit, ditemani Adiyatma (pada akhirnya Bapak pulang berjalan kaki, setelah berhasil dibujuk oleh Adiyatma dan beberapa orang lainnya).
Ah, sangat panjang ya Net. Maaf..Intinya begini Net. Pada akhirnya, semua baik-baik saja. Adek-adekmu hebat. Seakan-akan mereka sangat memahami sebuah kalimat,
"Dari satu musibah, akan datang dua hikmah."Kau juga harus baik-baik saja di sana Net. Berdoa untuk almarhum, itu terdengar lebih manis. Sampaikan salamku buat Brade Lunk, kak Butet, dan Orang Rimba di sana ya.
Salam Lestari!